Gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tak bisa dipungkiri, memunculkan harapan publik yang tinggi terhadap seorang figur baru pemimpin. Namun, fenomena kerinduan masyarakat bertumpu semata pada tokoh justru mengkhawatirkan demokrasi.
Direktur Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jojo Rohi menilai, fenomena itu muncul dari berbagai survei, yang salah satunya mencuatkan bahwa partisipasi pemilih dalam Pemilu Presiden 2014 bakal meningkat (Golput Turun) dengan naiknya Jokowi sebagai capres dan akan turun (Golput Naik) jika tidak.
"Bila Jokowi jadi capres partisipasi akan tinggi. Ini fenomena yang mengkhawatirkan karena kita menggantungkan harapan kepada orang, figur, bukan sistem. Bagaimana kalau tidak maju, maka partisipasi akan rendah," ujar Jojo dalam diskusi di Jakarta, Minggu (17/11/2013).
Menurut Jojo, ketokohan orang atau figur dalam satu masa bersifat temporer. Ketika masanya jaya akan jaya, dan pada masa lainnya akan turun. Uniknya, publik pada umumnya ketika menemukan tokoh atau figur yang sesuai hatinya akan memuja dan memuji, tapi ketika dia buruk akan dicaci maki.
Bedanya, ketika sebuah sistem yang berjalan melahirkan sebuah tokoh lewat proses yang panjang, demokrasi akan lebih sehat. Karena sistem yang baik telah melahirkan tokoh atau pemimpin yang baik. "Maka, demokrasi lebih sehat kalau menggantungkan pilihan pada sistem bukan orang," terangnya.
Menyoal meningkatnya partisipasi pemilih akan meningkat tajam dengan pencalonan tokoh yang disukai masyarakat, menurut Direktur Eksekutif Pol Tracking Institut, Hanta Yudha, secara teoritis bagus.
"Sekarang Jokowii dipuji-puji nanti masyarakat bisa memaki orang yang sama. Maka kualitas dan kecerdasan pemilih kita diperlukan," sambung Hanta sambil menambahkan, maksimalisasi figur secara teoritis tidak sehat karena identitas partai justru luntur.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar