Ekspektasi masyarakat terhadap kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) untuk menata Ibu Kota
terbilang tinggi. Namun, apa daya, tumpang tindih kebijakan menunjukkan
kewenangannya tak sebesar ekspektasi.
Jokowi-Ahok pun
disangsikan mampu mewujudkan harapan warga Jakarta, yakni menyelesaikan
masalah macet dan banjir di Ibu Kota. Kedua masalah itu tumpang tindih
dengan kebijakan pemerintah pusat.
Program gebrakan lemah
seketika. Di tengah-tengah upaya Jokowi-Ahok meminimalisasi kemacetan
dengan memperbaiki transportasi umum di Jakarta, pemerintah pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi
Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau LCGC.
Soal lain, di tengah
upaya Jokowi-Ahok mengatasi masalah banjir dengan normalisasi sungai
dan waduk di DKI, di mana harus merelokasi warga bantaran terlebih
dahulu, pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. Pembebasan lahan yang
biasanya dilakukan Panitia Pembebasan Tanah di bawah gubernur pun
menjadi dialihkan ke Badan Pertanahan Nasional, di bawah Kementerian
Pekerjaan Umum (PU).
"Ya mau gimana lagi," ujar Jokowi pasrah.
Pemerintah pusat jadi juru kunci
Menanggapi
benturan kebijakan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI, pengamat
komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Profesor Hamdi Moeloek,
melihat dari kacamata yang lebih luas. Hamdi menilai, persoalan di DKI
memang terkait dengan provinsi lain. Namun, kerja sama antar provinsi
dianggap tidak efisien lantaran ego otonomi daerah. Kebuntuan inilah
yang harusnya dimanfaatkan pemerintah pusat untuk masuk serta mengambil
kebijakan "siapa yang mengatur apa".
"Contohnya transportasi.
Pergerakan orang dari provinsi lain tinggi. Harus ada transportasi yang
mengangkut mereka. Kemacetan pun tak bisa diselesaikan kalau pemerintah
pusat tak turun membuat, membagi otoritas transportasi," ujarnya.
"Belum
lagi soal banjir. Itu hanya bisa diatasi kalau penataan dari hulu
sampai hilir dilakukan. Koordinasi antara pimpinan daerah itu hanya bisa
dilakukan kalau presiden yang turun tangan," lanjutnya.
"Presiden jadi kunci. Kalau sudah dapat dilihat yang dikedepankan itu kepentingan publik, mbok Jokowi-Ahok itu dibantu. Jika sudah ada momentum berubah, ya ini saatnya membantu," ujarnya.
Hamdi
menilai, tidak ada kata terlambat meski kepemimpinan kepala negara
telah memasuki garis finis. Namun, berhasil melewati pita finis belum
tentu memenangi perlombaan. Penataan itu secepatnya, setepatnya, menjadi
ajang pembuktian pengabdian pemerintah pusat kepada masyarakat.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar