Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo, menilai rencana Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo untuk menaikkan premi Kartu Jakarta Sehat menjadi Rp
50 ribu dari sebelumnya Rp 23 ribu tidak tepat dan tidak akan
menyelesaikan masalah.
Pemicu rencana ini adalah mundurnya 16
rumah sakit swasta di Jakarta yang mengaku klaim biaya pelayanan pasien
mereka tidak dibayar penuh.
"Antara premi dengan layanan KJS
tidak ada hubungannya," kata Agus ketika dihubungi pada Senin, 20 Mei
2013. Menurut Agus, dua hal tersebut adalah hal yang berbeda.
Premi
menurut Agus, lebih bersifat komersil. Sedangkan KJS, kata Agus,
sesuatu yang bersifat sosial. "Sehingga seharusnya pemerintah bisa
menanggung biayanya," ujar dia.
Menurut Agus, jika premi dinaikan
tapi sistem yang digunakan masih sama maka rumah sakit akan terus
mengeluh. Rumah sakit, menurut dia, juga membutuhkan biaya operasional.
Apa
lagi saat ini KJS menggunakan sistem Indonesia Case Based Group. Dalam
sistem yang menggantikan mekanisme Paket Pelayanan Esensial ini, setiap
layanan rumah sakit sudah ada platfom harganya.
Jadi, kata Agus,
meskipun premi dinaikkan, platform biaya yang ditetapkan tidak akan
berubah. "Jadi percuma premi naik tetapi platform yang ditetapkan dalam
INA-CBG ini tetap," katanya.
Dalam sistem INA-CBG, misalnya ada
orang sakit demam berdarah. Rumah sakit sesuai ketentuan INA-CBG diberi
patokan boleh melakukan rawat inap selama lima hari dengan tarif Rp 2,2
juta.
Maka jika orang tersebut sembuh pada hari kedelapan, Askes
hanya menutup biaya Rp 2,2 juta tersebut. Tiga hari lebihnya ini yang
dibayar oleh rumah sakit. Jika patokan harga layanan ini tak diubah,
kata Agus, rumah sakit akan selalu mengaku kekurangan biaya.
Sumber :
tempo.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar