Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada
(UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan keputusan Presiden Jokowi
memilih Prasetyo sebagai Jaksa Agung, mengangetkannya.
Keputusan Jokowi itu membuat Zainal dan PUKAT UGM harus
mempertanyakan kembali keseriusan Jokowi dan Jusuf Kalla memperbaiki
kualitas penengakan hukum di Indonesia. Bahkan Jokowi dinilai melanggar
janjinya, tidak akan memilih politikus untuk mengisi pos jabatan penting
di institusi hukum.
Atas dasar itu Zainal mengkritik keputusan Presiden Jokowi memilih
Prasetyo yang merupakan politikus Partai NasDem. Politikus menempati
jabatan tertinggi di institusi penegak hukum merupakan sinyal berbahaya.
"Kapasitas politik tampak lebih diunggulkan ketimbang kapasitas di
bidang hukum," kata Zainal kepada media di Kantor PUKAT UGM, Jumat, 21
November 2014.
Menurut Zainal, jabatan Jaksa Agung yang dipegang oleh politkus
membuka peluang terjadinya intervensi politis dalam penuntasan
kasus-kasus besar. Padahal, proses penegakan hukum harus tidak berpihak,
selain terhadap keadilan.
Sebagai orang yang pernah memegang jabatan di Kejaksaan Agung, kata
Zainal, keseriusan Prasetyo mendorong reformasi di institusi kejaksaan,
diragukan, karena masih dipengaruhi oleh semangat korps.
Peneliti PUKAT UGM lainnya, Zainurrohman, menambahkan memang belum
ada catatan yang jelas-jelas menunjukkan Prasetyo pernah tersangkut
kasus hukum atau korupsi. Namun, menurut dia, selama ini publik tidak
pernah mendengar Prasetyo memiliki gagasan besar dalam pemberantasan
korupsi dan perbaikan penegakan hukum di Indonesia. "Di Kejaksaan, dia
juga tidak punya prestasi yang cemerlang," ujarnya. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar