Para investor pantas ketar-ketir melihat situasi politik yang memanas
antara pemerintahan baru dengan parlemen yang saat ini secara resmi telah dikuasai oleh Prabowo dan kroninya. Investor risau karena program
pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dipastikan akan sulit berjalan
secara efektif akibat terganjal pasukan elite yang dikomandoi oleh Prabowo di parlemen. Beberapa kali, partai dibawah komando Prabowo mendominasi pembahasan kebijakan di
DPR.
Kegusaran ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Chaerul Tanjung. Chairul menilai, jika pemerintahan baru
tidak segera berbenah, maka kepercayaan investor semakin rendah. "Pasar
telah mengetahui, pemerintahan baru tidak bisa leluasa untuk memuluskan
kebijakannya di parlemen," ujar Chairul, Rabu (1/10/2014).
Dalam
jangka pendek, kata Chairul, gejala ini sudah terlihat. Belakangan ini,
kondisi ekonomi cukup tertekan. Nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika Serikat terus melemah dan indeks harga saham gabungan (IHSG)
sempat terdepresiasi. Dalam jangka menengah, jika hal ini terus
dibiarkan oleh Jokowi-JK, maka minat investor terhadap Indonesia akan
terus berkurang.
Padahal, sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar optimistis, pada tahun 2015,
nilai investasi akan tumbuh 15 persen. Pertumbuhan investasi itu akan
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai target pemerintah sebesar
5,8 persen.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo tidak
menampik, gejolak politik di Tanah Air bisa berdampak terhadap laju
investasi dalam jangka panjang. Bahkan, kata dia, jika situasi politik
ini tidak mencapai konsensus, maka dampak yang paling besar adalah
menghambat upaya pemerintah baru melakukan reformasi struktural.
Agus
khawatir langkah BI untuk menekan neraca transaksi berjalan alias
current account deficit (CAD) akan terganggu. Jika neraca dagang terus
tertekan dan nilai tukar mengalami depresiasi, pasar keuangan juga akan
guncang. BI mencatat, depresiasi nilai tukar rupiah sepanjang 2014 sudah
mencapai 0,16 persen. Angka depresiasi ini dinilai tinggi.
Ekonom
Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko menilai, ada langkah yang
bisa diambil pemerintah Jokowi-JK. Salah satunya, menyusun kabinet yang
merepresentasikan kekuatan pemerintah terhadap parlemen. Jika tidak,
bisa menimbulkan isyarat negatif bagi investor.
Selain itu,
kebijakan politik bertujuan untuk memperbaiki fundamental ekonomi
Indonesia . Caranya, menjaga inflasi stabil atau menerapkan kebijakan
reformasi anggaran, yakni menaikkan harga BBM bersubsidi. “Ini bisa
memperkuat bergain pemerintah di DPR,” kata Prasetyantoko.[tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar