Di jaman Orde Baru, tentang aturan rangkap jabatan boleh diacungi jempol, meskipun banyak yang mengolok-olok rezim ini, tapi sejaha mencatat bahwa di masa itu tak seorang menteripun boleh rangkap jabatan. Rangkap jabatan hanya boleh dilakukan oleh ABRI, itupun dengan alasan yang masuk akal, yaitu stabilitas negeri. Oleh karena itu presiden Soeharto tak punya menteri Ketum Parpol.
Di era
reformasi, khususnya pada pemerintahan SBY KIB-II, Ketum Parpol bukan saja
jadi menteri, tapi juga presiden.
Membaca gelagat tak baik itu, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) berniat memperbaiiki keadaan, tetapi niat tinggallah niat, kenyataan jauh berbeda dari sekedar niat yang ada di kepala Jokowi. Sesaat setelah terpilih, dengan gagah berani Jokowi mensyaratkan menterinya tak boleh rangkap jabatan. Tapi apa yang diperoleh Jokowi dengan kebanggaan semu itu? Jawabnya tidak ada! Partai pendukung goyah, sedangkan partai lain yang mau masuk koalisi ogah! Bukti keogahan partai lain untuk masuk koalisi Jokowi inilah yang menyebabkan akhirnya Jokowi sadar bahwa pembatasan yang dibuatnya ditambah syarat "tanpa syarat" yang menjadi kebangggaannya harus dengan sangat malu dijilatnya sendiri.
Dengan demikian, rupanya Jokowi harus meneruskan tradisi
warisan SBY sebelumnya, Jokowi terpaksa menghapus syarat-syarat yang telah diuatnya sendiri. Buktinya meski melarang menteri dwifungsi (rangkap jabatan),
Muhaimin Iskandar yang ngotot mau rangkap jabatan Ketum PKB, digaransi
Jokowi bakal masuk kabinet.
Dalam KIB-II Pak SBY, Menakertrans Muhaimin Iskandar termasuk 1 dari
10 menteri yang berapor merah. Tapi karena dia berkoalisi dengan PDIP
untuk memenangkan Jokowi-JK, presiden terpilih Jokowi menggaransi bahwa
Muhaimin Iskandar bakal masuk kabinetnya, karena punya kapabilitas.
Rakyat pun bingung, wong rapornya merah kok bisa masuk kabinet, nilainya
dikatrol ngkali ya? Belum lagi secara jelas bahwa Muhaimin melanggar syarat rangkap jabatan yang telah digembar-gemborkan Jokowi.
Samar-samar bisa dirasakan bahwa Muhaimin Iskandar akan terpilih lagi jadi Ketum PKB. Dan
karena garansi Jokowi, bisa dipastikan dia juga benar-benar bakal masuk
kabinet yang kabarnya akan diberi nama Kabinet Trisakti. Tapi posisi
menteri apa yang paling pas bagi mantan menteri KIB-II yang berapor
merah itu?
Kembali jadi Menakertrans kayaknya tidak cocok, sebab faktanya dia
gagal menghapus tenaga outsourcing. Dan soal TKW yang jadi sapi perahan
di Bandara Sutta, dia tak bisa berbuat apa-apa. Lalu apa yang cocok
untuknya? Terserah Jokowi pemegang hak prerogratif. Yang jelas, bila
Muhaimin masih Ketum PKB tapi diangkat menteri juga, berarti Jokowi
menjilat ludah sendiri. [Pos Kota]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar