"Jokowi pada tahun 2012 adalah yang pertama kali berhasil memperlihatkan bahwa sosial media memiliki efek besar, lalu hingga saat ini ada yang membantu kerja beliau dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bahkan hingga level sosialisasi sebagai calon presiden," kata Yunarto di Jakarta, Sabtu (22/2/2014).
Yunarto menilai tidak banyak kepala daerah yang mengerti karakter sosial media dalam membangun "personal branding" yang bersangkutan. Menurut dia, selama ini kepala daerah menggunakan sosial media seperti iklan yang sifatnya searah tanpa ada interaksi.
"Kepala daerah itu tidak berinteraksi dalam sosial media yang berujung bisa menjadi bumerang dan itu terjadi pada beberapa kasus," ujarnya.
Ia menilai "personal branding" itu harus memanfaatkan sebuah tim yang bisa bergerak secara bersama. Selain itu, harus ada pihak ketiga yang mengungkapkan sosok kandidat, bukan sang calon sendiri karena bisa dinilai narsis oleh masyarakat.
"Konsep utama sosial media itu bukan iklan, melainkan hubungan masyarakat dan harus banyak melibatkan pihak ketiga. Hal itu yang dilakukan Jokowi ketika Jakarta dilanda banjir," katanya.
Yunarto mengatakan bahwa dirinya tidak heran apabila nama Jokowi selalu teratas dalam beberapa survei, baik elektabilitas di sosial media maupun bukan.
Hal itu, menurut dia, karena calon lain memosisikan dirinya sedang beriklan di sosial media sehingga kalah dibandingkan Jokowi.
Selain itu, lanjut dia, susah membedakan apakah ada tim yang digerakkan khusus untuk membela Jokowi di sosial media. Sebab, dalam iklim demokrasi saat ini, susah membedakan dukungan riil atau politis terhadap salah satu kandidat.
Namun, secara umum Yunarto menilai penggunaan sosial media merupakan tempat kampanye yang hemat biaya karena tidak perlu mengeluarkan dana. Selain itu, sosial media efektif penggunaannya meskipun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu kejelasan identitas sebuah akun.
Sumber :
republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar