Tak salah jika ada yang menyebut Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai “Man in Action”, orang yang bertindak. Kali ini giliran The New York Times yang mengulas khusus tentang Jokowi "yang berumah di jalan”. Sejumlah diplomat dan peneliti asing juga sudah banyak yang mendampingi Jokowi melakukan blusukan.
Kini, di saat banjir tahunan mendera Jakarta, Jokowi makin rajin blusukan. Foto Jokowi yang sedang memanjat pembatas jembatan penyeberangan dipasang menjadi status facebook para pendukungnya. Spontanitas, kegesitan, dan kesungguhannya untuk segera berada di tengah-tengah situasi di lapangan membuat Jokowi tetap melekat di hati rakyat.
Banjir Jakarta saat ini tak membuat dirinya menjadi bulan-bulanan. Publik melihat Jokowi telah bekerja. Selama lebih dari setahun kepemimpinannya sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi giat mengeruk sungai, selokan, dan waduk. Pada aksi ini Jokowi menorehkan 2 kisah. Pertama, soal pembiayaan pengerukan sungai. Ia harus bersitegang dengan Bank Dunia. Lembaga keuangan itu banyak mengajukan persyaratan, termasuk soal konsultan serta hal-hal lain yang menjadi kewenangan gubernur. Bank Dunia ingin banyak intervensi dan mengatur, sebuah kebiasaan yang wajar di Indonesia dan merupakan salah kaprah. Namun Jokowi menolak dan mengancam tak menggunakan dana Bank Dunia. “Sisa APBD tahun sebelumnya saja masih lebih banyak,” kata Jokowi waktu itu.
Kedua, ia harus merelokasi sekitar 7.000 orang di sekitar Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio, Jakarta Utara. Hal ini menimbulkan ketegangan yang relatif panjang. Apalagi menyangkut ribuan orang. Bahkan ditimpali pengakuan hak atas tanah di sebagian kawasan itu oleh keluarga mantan Wakil Presiden, almarhum Adam Malik. Namun Jokowi terus jalan dan berhasil mengatasi semuanya.
Namun kritik tetap saja bermunculan terhadap Jokowi. Salah satunya misalnya, masalah pengerukan sungai, selokan, dan waduk itu cukup diurus bawahannya. Gubernur cukup memberi perintah. Tugas gubernur adalah membuat keputusan dan mengeksekusi hal-hal yang lebih strategis. Harus diakui, dalam satu tahun ini, belum ada ide dan konsep besar yang secara sungguh-sungguh digagas Jokowi dalam mengatasi banjir ini. Yang dilakukan Jokowi hanyalah hal-hal rutin. Ide-ide besar soal ini justru sudah dikemukakan dan atau dilaksanakan gubernur sebelumnya. Sutiyoso untuk Kanal Banjir Timur dan Fauzi Bowo untuk Great Sea Wall. Yang sudah dikemukakan hanyalah lontaran-lontaran ide yang muncul begitu saja, misalnya waduk-waduk kecil di sepanjang Ciliwung ataupun waduk-waduk besar di Bogor. Lalu Sodetan Ciliwung-Cisadane yang jelas-jelas bukan lagi merupakan kewenangan Gubernur DKI Jakarta.
Satu setengah tahun memang bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan masalah banjir Jakarta yang sudah menjadi akut. sebab menyangkut banyak hal, mulai tata ruang hingga sistem drainase. Butuh penyelesaikan menyeluruh. Kewenangan juga tak semua ada di Jakarta tapi ada di pemerintah pusat. Hal-hal yang berada di tangan pusat misalnya soal pengelolaan Sungai Ciliwung ataupun gorong-gorong di jalan nasional. Bahkan sempat ada polemik antara Jakarta dan Kementerian Pekerjaan Umum soal gorong-gorong yang ambles di Jalan TB Simatupang.
Banjir Jakarta tahun ini merupakan ujian buat Jokowi. Apakah dia akan menjadi seorang pemimpin bervisi besar yang dicintai rakyatnya atau dia hanya seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya tanpa visi besar. Namun para lawan politiknya jangan berharap bahwa banjir tahun ini akan membuat Jokowi terhapus dari peta politik nasional, sebab Jokowi telah terpatri di dalam hati setiap orang di negeri ini. Banjir Jakarta tak banyak berpengaruh. Jokowi tetap seorang "man in action" lewat blusukannya. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk memenangkan hati rakyat. Ini karena para pemimpin lainnya hanyalah orang-orang yang elitis yang cuma utak-atik statistik dari balik meja, yang hanya dompleng bencana untuk perpolitikan mereka dan utak-atik duit untuk mendongkrak statistik.
Tak salah jika Jokowi dengan blusukannya menjadi "demokrasi jalanan”, Jokowi datang langsung untuk mengecek kebijakannya di lapangan dan sekaligus menjemput aspirasi rakyatnya. Ia mengubah pengertian awam tentang demokrasi jalanan sebagai aksi demo yang massif dan tak kenal lelah. Demokrasi jalanan adalah blusukan. Dengan demikian, banjir Jakarta tak mengubah apapun untuk persaingan kontestasi presiden pada 2014 ini.
Smber :
New York Times
Tidak ada komentar:
Posting Komentar