Dari sisi teori komunikasi massa, Jokowi (Joko WIdodo, Gubernur DKI Jakarta) merusak reputasi seluruh capres yang sudah dicalonkan oleh partai politik. Dari mulai Prabowo sampai capres deklarasi sendiri semacam Farhad Abbas kelimpungan mencari titik lemah untuk diserang. Namun, makin hari justru semakin menarik kontes menuju calon presiden 2014 bagi Jokowi. Dari segi komunikasi massa sungguh menarik.
Dalam teori komunikasi massa, baik melalui media maupun langsung, selalu hal yang baik yang diekspos terlalu sering dan eksesif akan menimbulkan ‘kebosanan informasi’.
Pemberitaan over-exposed yang setiap hari akan mengakibatkan ‘kepenatan rutin’ dan rasa ‘cuma begitu’.
Contohnya Ical. iklan Aburizal Bakrie di baliho dan poster di seluruh penjuru negeri dari Sabang sampai Papua ternyata tak meningkatkan elektabilitas Aburizal Bakrie. Demikian pula iklan di TV yang sedemikian gencar, tak meningkatkan elektabilitas ARB. Mandeg. Ini jelas menimbulkan pertanyaan pengamat telekomunikasi massa.
Pun Akbar Tandjung sampai terheran-heran dengan elektabilitas ARB yang jeblok. Akbar tahu pasti bahwa ada yang salah dengan ARB. Apa? Bukan teori dan cara komunikasi massanya yang salah, namun ‘pribadi’ ARB yang terkait dengan ‘lumpur Lapindo’ dan perpajakan ‘Bumi Resources’ serta ‘janji kucuran miliaran rupiah untuk cabang Golkar belum terwujud’ menjadikan elektabilitas ARB tetap jeblok..
Contoh lainnya Wiranto. Wiranto digeber dengan iklan dan gambar mirip Aburizal Bakrie. Hasilnya ya tetap jeblok. Demikian pula, Megawati, Suryo Paloh Hatta Rajasa, Prabowo, Suryadharma Ali, Luthfi Hasan Ishaaq, Hidayat Nur Wahid, Rhoma Irama, Farhad Abbas, Pramono Edhie Wibowo, bahkan Dahlan Iskan pun tak mampu naik elektabilitasnya meski berusaha mendapatkan eksposure baik secara umum maupun tak umum. Apakah penyebabnya? Partai? Atau cara komunikasi yang salah? Atau lainnya?
Bagaimana dengan Jokowi? Fenomena Jokowi makin hari makin menimbulkan masaalah bagi berbagai pihak: pendukung dan juga pembenci Jokowi. Pendukung Jokowi semakin hari semakin menikmati rekam jejak Jokowi.
Sementara pembenci Jokowi terus saja mencari jurus agar Jokowi tidak terekspose media. Bahkan saking geramnya, para lembaga survei mulai gerah dengan hasil survei yang mereka lakukan sendiri. Bahkan ada sebuah lembaga survei yang dipesan oleh Gerindra atau Prabowo yang menempatkan Prabowo sebagai tertinggi elektabilitas dan popularitasnya melebih Jokowi. Ini sungguh luar biasa. Namun caranya aneh. Jokowi tidak dihitung dan ‘dikeluarkan’ dari hasil survei.
Lembaga survei dan pejabat pemenangan partai sungguh berkeyakinan bahwa hasil survei membantu (merusak atau memerbaiki) elektabilitas seorang capres dan parpol. Untuk itu mereka akan all out untuk menempatkan capres dan partai mereka tertinggi. Cara dan teknik apapun akan dilakukan: penting nangkring di atas.
Dari semua teori komunikasi yang lembaga survei dan parpol percayai, ada yang mereka lupakan. Lembaga survei dan partai lupa akan pepatah: ‘meski di lumpur diamond tetap diamond’, ‘intan tetap intan di dalam lumpur’, ‘bangkai yang dibungkus tetap saja bangkai’, ‘mayat di dalam peti mahal tetap mayat’, yang harus dipertimbangkan. Siapa dan apa yang mereka jual, mayat atau intan.
Nah, baik pendukung maupun pembenci Jokowi, termasuk capres lawan Jokowi dan juga lembaga survei, sebenarnya mereka tahu apakah upaya memasang baliho, iklan, dan pemberitaan termasuk survei bayaran dan pesanan, akan efektif atau tidak. Kenapa? Mereka adalah pelaku ‘komunikasi massa’ yang tahu bahwa salah satu unsur penjualan adalah ‘siapa dan apa yang dijual’. Pun mereka tahu tentang adagium komunikasi massa: titik kejenuhan. Namun, fenomena Jokowi menjebak banyak pelaku iklan baik pembenci maupun pesuka Jokowi. Namun yang pasti, rakyat lebih tahu parpol menjual mayat atau intan. Rakyat juga tahu siapa mayat dan siapa intan. [/Ninoy N Karundeng]
Sumber :
kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar