Minggu, 02 Juni 2013

Jokowi Si Kuda Hitam

Beberapa hari terakhir, dunia media Indonesia disibukkan dengan isu yang masih sangat gres: upaya “pendongkelan” Jokowi dari kursi Gubernur. Berita ini cukup seru dan relatif menyaingi kasus pencucian uang yang melibatkan oknum PKS dan sejumlah orang dekatnya. Anehnya, Jokowi malah semakin berkibar.

Di tengah-tengah perhelatan aneka kasus yang sedang menjadi sorotan media, mencuatnya usaha pemakzulan Jokowi sangat menarik untuk dikaji. Apalagi berita paling mutakhir per 29 Mei 2013, Megawati justru memberikan isyarat bahwa Jokowi akan dimajukan sebagai calon presiden RI dari PDI Perjuangan. Sebuah berita yang “cetar membahana”.

Wong Solo lulusan universitas “ndeso” (UGM) Jurusan Kehutanan ini terus menjadi fenomena yang luar biasa. Usahanya untuk mengembalikan fungsi waduk Pluit mengetam sejumlah masalah. Mereka yang enggan direlokasi, meskipun sudah disediakan rumah susun dengan angsuran rendah, menyeret Jokowi ke ranah HAM. Tidak hanya itu, kartu sehatnya di Jakarta membuat sejumlah rumah sakit sempat nyaris mengundurkan diri dari program kesehatan rakyat jelata tersebut. Inilah yang kemudian menyebabkan beberapa pihak menuding Jokowi memang tidak layak dan karenanya bisa dipertanyakan kedudukannya.

Jokowi, diakui atau tidak, merupakan kuda hitam yang berpotensi meramaikan pertarungan RI1 tahun depan. Kepopulerannya sangat berbahaya bagi sejumlah kandidat yang sedang mencoba menjadi populis dalam beberapa waktu belakangan dengan segudang cara pendekatan. Karenanya, banyak pihak yang mulai berhitung tentang sepak terjang Jokowi agar tidak mengganjal keinginan besar mereka dalam merebut kursi paling empuk di republik ini.

Tentu, semua masih ingat bahwa Jokowi memenangkan pertarungan di Jakarta - kota dengan perputaran uang dan evolusi budaya terbesar - hanya didukung oleh dua partai, yakni PDIP dan Gerindra. Kehebatan kandidat dari kota Solo ini tidak bisa disaingi oleh banyak kandidat yang sudah malang melintang dalam dunia politik nasional maupun sebagai ahli dengan predikat segudang. Dan ketika terpilih, Jokowi lagi-lagi menumbangkan popularitas pengusungnya, Megawati dan Prabowo.

Dengan sisa hari yang tidak begitu banyak menjelang Pilpres mendatang, Jokowi harus diperhitungkan oleh banyak kalangan. Kesalahan yang dibuatnya selaku Gubernur Jakarta, apalagi kegagalannya, pasti akan dikapitalisasi oleh lawan dengan segala cara. Aneka masalah yang mulai mengemuka akibat kebijakannya, bisa direkayasa sedemikian rupa, setidaknya untuk menurunkan derajat 'kemasyhuran' wong Solo ini.

Melalui media, yang memiliki power sedemikian dahsyat, banyak pihak mencoba menggerogoti popularitas Jokowi. Meskipun beberapa partai sudah mengatakan mundur dari upaya 'pemakzulan' Jokowi, namun semua ini memberikan makna bahwa kursi Jokowi relatif fragile diguncang-guncang oleh siapa pun dengan alasan apa pun.

Uniknya, kekhawatiran tentang majunya Jokowi tahun depan kemungkinan besar juga dirasakan oleh dua partai pengusungnya. Bagi Gerindra, Jokowi diberikan waktu untuk membenahi Jakarta dulu sebelum nyapres pada pemilu 2018. Prabowo pastilah ingin menjadi yang nomor satu. Tidak mau disalip Jokowi. Sebaliknya, PDIP mencoba untuk realistis dengan melempar wacana Jokowi dalam capres mendatang. Jokowi sendiri, sebagaimana biasanya, dengan santai menyatakan “tidak berpikir” untuk terjun dalam perebutan kursi RI1.

Jokowi, Jokowi dan Jokowi. Sepertinya semua sudah pasang kuda-kuda untuk perhelatan akbar tahun 2014 mendatang. Dan, dari semua calon yang gegap gempita, ternyata dalam beberapa survey menunjukkan bahwa Jokowi berada di peringkat teratas dari sisi popularitas. Jokowi menjadi manusia “aneh” Indonesia yang mampu merangkak dari daerah menuju ibukota lalu (mungkin) ke panggung nasional.

Bayangkan, dalam survey yang dilakukan CSIS sebagaimana dirilis detik.com, 27 Mei 2013, Jokowi masih mengungguli Prabowo dan semua kandidat lainnya. Dengan 1.635 responden di 31 provinsi, survei yang digelar pada 9-16 April 2013 tersebut mendapatkan 28,6 persen responden menyatakan akan memilih Jokowi dalam Pemilu 2014. Dukungan untuk Jokowi melampaui dukungan untuk Prabowo yang mendapatkan 15,6 persen suara responden, bahkan meninggalkan Megawati Soekarnoputri yang dalam survei itu hanya mendapatkan dukungan 5,4 persen.

Lebih lanjut disebutkan, Jokowi paling populer di antara pejabat publik atau pejabat negara lainnya. Popularitas politisi PDI Perjuangan itu sebesar 85,9 persen, mengalahkan Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono di angka 78,5 persen. Pejabat lainnya, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X 59,5 persen, Dahlan Iskan 42,6 persen, Mahfud MD 39,6 persen, Pramono Edhie Wibowo 20,2 persen, Djoko Suyanto 15,2 persen, dan Gita Wirjawan 8,4 persen.

Tentu, survey ini menguatkan survey-survey sebelumnya yang dilakukan oleh lembaga yang dianggap kredibel dan tidak memihak. Namun, yang paling bermakna dari survey CSIS ini adalah, bahwa meskipun digoyang dengan aneka isu, ternyata Jokowi tetap berkibar dan menjadi calon yang sangat kuat.

Kelihatannya PDIP sangat realistis dan cerdas menyikapi kenyataan di atas. Bisa jadi ada sebuah prediksi di kalangan dalam: sebuah kesalahan kalau tetap memasang Megawati yang sudah redup dalam persaingan orang-orang muda yang gegap gempita. Juga mungkin tidak tepat kalau mengandalkan politisi senior tapi tidak populer. Di sisi lain, PDIP memiliki jagoan yang layak dijual kepada rakyat dan telah terbukti dalam berbagai survey. Jokowi layak jual pemilu 2013, dan mungkin akan mulai hilang aura kepresidenannya tahun 2018. Sama dengan momentum yang dimiliki oleh Amien Rais di awal reformasi. Karenanya, PDIP buru-buru mengusung Jokowi sebelum diambil pihak lain.

Sementara itu, bagi yang mencoba menginterpelasi Jokowi, jangan-jangan langkah mereka malah konter produktif. Justru akan membesarkan nama Jokowi. Maklumlah, rakyat secara umum sudah mulai pintar dan membedakan upaya yang genuine dan rekayasa. Dalam pandangan masyarakat kebanyakan, Jokowi memiliki terobosan meskipun belum berhasil sepenuhnya. Upaya interpelasi (sementara ini) malah akan menuai ketidakpopuleran yang bersangkutan karena berseberangan dengan rakyat pada umumnya.

Terlepas dari hebat tidaknya, pinter atau tidaknya, atau aneka pertanyaan lain tentang Jokowi, sesuatu yang paling nyata adalah Jokowi masih sangat populer dan mendapatkan dukungan masyarakat. Merobohkan Jokowi saat ini pasti mendapatkan sambutan negatif dari banyak kalangan, atau nyaris sama dengan upaya menghancurkan kredibilitas KPK. Menurut teori, kalau tidak bisa mengalahkan, lebih baik berkolaborasi saja.


Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar