Ternyata mengkritik butuh ketepatan cara. Walaupun benar, kalau niat dan momentumnya kurang tepat justru kontraproduktif.
Seperti
baru baru ini ramai diperbincangkan pro kontra rencana DPRD DKI Jakarta
menggunakan hak interpelasi kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) terkait masalah
Kartu Jakarta Sehat (KJS). Tidak salah sebenarnya DPRD memakai Hak
Interpelasi tersebut.
Namun justru saat ini berbalik, Hak
Interpelasi kepada Jokowi banyak dikecam oleh publik. Bagaimana
sebenarnya relasi hubungan politik kelembagaan antara legislatif dan
eksekutif, dan bagaimana seharusnya publik bersikap ?
Hak
interpelasi diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Hal tersebut adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada
Pemerintah menganai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis
serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Selain interpelasi, DPR juga mempunyai fungsi hak
angket dimana terkait dengan dugaan pelanggaran sistem ketatanegaraan
dan konstitusi oleh Pemerintah. Tingkat teratas yaitu hak menyatakan
pendapat terkait dengan kejadian luar biasa dalam Pemerintahan, misal
kepala pemerintahan terbukti korupsi legislatif bisa menggunakan hak
ini.
Ketiga hak tersebut bisa berkaitan dengan urutan sebagai
fungsi pengawasan yaitu dengan urutan tingkatan proses yaitu hak
interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Rencana DPRD
menggunakan hak interpelasi perlu dilihat dari banyak sisi. Pertama,
dari sisi legislatif sebenarnya sah-sah saja. Secara substansi masalah
KJS juga masih banyak kekurangan dan perlu perbaikan untuk menjamin
jaminan kesehatan oleh masyarakat. Sebelumnya beberapa rumah sakit juga
menyatakan keberatan dan bebeberapa tidak sanggup dengan sistem KJS.
Dari
sisi Pemerintah provinsi DKI Jakarta, langkah DPRD sebenarnya wajar
saja dan sah secara UU. Dalam hubungan pengawasan legislatif dan
eksekutif hal tersebut juga sering terjadi. Apa yang sebenarnya membuat
seolah-olah hak interpelasi dianggap mengada-ada dan hanya dicari-cari
masalahnya oleh DPRD DKI Jakarta?
Pertama,
sempat muncul alasan dan niatan interpalasi bukan untuk mempertanyakan
kebijakan, tetapi justru penggalangan tanda tangan untuk pemakzulan
gubernur Jokowi.
Kedua, publik cenderung tidak percaya
lagi dengan legislatif yang sering bolos rapat paripurna, dekat dengan
korupsi dan tidak pro rakyat.
Ketiga, publik cenderung membela Jokowi karena melihat
aspek kinerjanya yang dinilai pemimpin yang mau turun langsung ke
lapangan dan cekatan dalam mengambil keputusan. Dalam bahasa sederhana,
hingga saat ini Jokowi masih prorakyat, bahkan dalam beberapa survei
calon presiden selalu menduduki peringkat nomor wahid.
Terkait dengan pro dan kontra yang ada, bagaimana seharusnya kedua lembaga DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikap ?
Pertama,
sebaiknya niatan interpelasi oleh DPRD harus didasari oleh niat politik
yang tulus yaitu menanyakan tentang kebijakan KJS kepada Pemerintah DKI
Jakarta. Lebih bagus jika DPRD juga sudah mempunyai recana dan masukan
perbaikan setelah bertemu dengan stakeholder seperti rumah sakit dan
dinas kesehatan. Agar jika terjadi forum interpelasi tidak bersifat
menghakimi.
Kedua, jauhkan dari sikap
intervensi kepada Pemerintah DKI Jakarta melalui Jokowi karena hanya
akan mengganggu pemerintahan. Jika tetap dilakukan, justru akan terjadi
aksi politisasi atas hak interpelasi terhadap kasus KJS.
Ketiga,
sebaiknya pemerintah DKI Jakarta juga tidak risi dengan kritik DPR
tersebut. Anggap saja bahwa hal tersebut wajar dan bagus dijadikan
sebagai forum klarifikasi dan proses meminta masukan dari DPR terkait
dengan rencana perbaikan KJS.
Saya membayangkan jika proses
penggunaan hak interpelasi ini dilakukan, dan kedua pihak bersifat
dewasa dalam penyikapan permasalahan KJS justru akan menjadi contoh yang
baik dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Selama ini kita
kalau melihat DPR, fungsi pengawasan sangat lemah, ketikapun itu
dilakukan lebih bernuansa kepentingan politik. Nah, di Jakarta saya rasa
akan menjadi trend yang menarik jika proses tersebut terjadi dengan
dialektika perbaikan dan orientasi untuk kepentingan rakyat khususnya
jaminan kesehatan.
Peluang akan berakhir dengan happy ending
sepertinya lebih mungkin jika dibandingkan dengan kegagalan dan justru
konflik politik. Tipe kepemimpinan Jokowi yang nampaknya tidak
antikritik, fokus pada penyelesaian masalah, dan dengan metode persuasif
dan tidak sepihak nampaknya menjadi modal yang kuat untuk dapat
menjelaskan permasalahan KJS kepada DPRD.
Sehingga nampaknya
DPRD tidak perlu menarik dan mengurungkan niatan untuk bertanya dan
menanyakan kebijakan KJS yang belum bagus dan efektif untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat DKI Jakarta. DPRD justru harus berani
mengkritik Jokowi plus dengan masukan yang konstruktif untk KJS. Itulah
cara mengkritik dalam politik yang elegan, dan masih jarang ditemukan di
Indonesia. Kepentingan rakyat dikedepankan daripada kepentingan partai
politiknya.
Beberapa konflik antara warga dengan pemerintah DKI sering terjadi, namun bisa diselesaikan dengan win-win solution,
seperti relokasi Waduk Pluit, masalah dengan Komnas HAM, dan beberapa
kasus lain nampaknya menjadi angin segar. Sudah saatnya sekarang DPRD
mempunyai perpektif dengan cara yang benar dan tepat untuk mengkritik
Jokowi secara konstitusional yaitu interpelasi.
Masalah saat ini
justru berbalik, beranikah dan mampukan DPRD Jakarta mengkritik secara
metodologis untuk memwujudkan pengawasan kebijakan yang substansial
untuk kesejahteraan rakyat? Atau sebaliknya tidak siap dan justru tidak
mampu berargumentasi dan memperjuangkan kekurangan pelayanan KJS yang
dirasakan masyarakat.
Akhirnya, hak interpelasi jangan dianggap
alergi oleh Pemerintah DKI Jakarta, namun juga jangan dijadikan alat
politik walaupun konstitusional. Ini adalah ikhtiar politik untuk tujuan
mulia, yaitu menciptakan kesempurnaan kesejahteraan rakyat melalui
jaminan kesehatan. Hal tersebut dapat dicapai dengan syarat adanya tata
dan etika berpolitik yang dewasa antara legislatif dan eksekutif dalam
lingkup demokrasi yang sejuk tentunya.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar