Banjir memang telah ditakdirkan tumpah dan menggenang di Jakarta sejak dahulu kala. Bak penyakit menahun, semua gubernur yang memerintah Jakarta nyaris selalu terkena dampaknya.
Bukan hanya Jokowi ataupun Fauzi Bowo, Gubernur Ali Sadikin pun pernah dibuat pusing dengan masalah banjir. Banjir itu terjadi sekitar tahun 1972.
"Dengan mengenakan jas hujan, pakaian agak tebal supaya tidak cepat tembus air, topi penahan air hujan, sepatu bot dari karet saya keluar rumah dan nongkrong di Pintu Air Manggarai, mengawasi dan ikut mengatur kalau Banjir Kanal itu naik," kata Ali Sadikin dalam buku 'Bang Ali' karya Ramadhan KH.
Bang Ali makin was-was sebab dia tahu kondisi geografis Jakarta yang rata-rata cuma 7 meter tingginya dari permukaan laut. Benar saja akhirnya dua per tiga Jakarta tenggelam oleh air. Daerah tersebut mencakup daerah sekitaran Banjir Kanal (sekarang Banjir Kanal Barat), Tanah Abang, Gunung Sahari, Menteng, Pademangan, Sunter.
"Banjir yang tiap tahunnya melanda Jakarta terutama disebabkan sangat rendahnya daerah banjir itu. Bahkan adakalanya daerah itu hanya satu meter di atas permukaan laut. Sungai yang menyebabkan banjir di Ibukota adalah sungai Ciliwung dan Cisadane," pikir Ali saat itu.
Saat itu, Ali sudah sadar dia belum optimal dalam mengatasi banjir. Semua yang Ali usahakan hanya bersifat sementara dan tidak menyeluruh. Seperti mengeruk muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk dan pemasangan instalasi pemompa air.
"Bahaya banjir di Jakarta di masa saya jadi gubernur, tidak bisa dihindarkan sampai kapanpun selama kita tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna," jelas dia.
800 Juta Dollar
"Untuk mengatasi bahaya itu
dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal. Biaya yang diperlukan
waktu itu, 800 juta dolar kalau mau rampung mengatasinya," pesan Ali
kala itu.
Tetapi apa yang terjadi pemerintah pusat hanya
menggelontorkan dana 4,2M dari 500M dana yang diajukan
untuk proyek penanggulangan banjir tahun 1975/1976. Setahun kemudian
pemerintah mulai menyempurnakan banjir kanal, waduk di Cakung, kali
Cideng.
Bahkan 3.000 orang digusur untuk normalisasi lahan di
sepanjang 2,4 km kanal. Tetapi hasilnya tidak optimal, Jakarta tetap
ditenggelamkan banjir karena banyak warga Jakarta yang bandel tetap
bermukim di daerah resapan air. Akibatnya 2 juta orang direndam banjir
di era pemerintahan Ali Sadikin pada tahun 1972.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar