Jumat, 27 Desember 2013

Jokowi, Prabowo, Lalu Siapa?

Hampir-hampir Jokowi (Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta - red) tak memiliki lawan tanding. Tingkat elektabilitasnya melampaui para pesaingnya. Yang terdekat cuma Prabowo Subianto. Itu pun memiliki jarak yang cukup jauh. Apakah ini pertanda kontestasi sudah dipastikan selesai sampai di sini? Atau waktu yang menyisakan sekitar tujuh bulan untuk pemilu presiden akan menghadirkan kejutan?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, masih ada sejumlah hal yang harus dipahami bersama. Pertama, hingga kini Jokowi belum mendapat kepastian akan dicalonkan partainya, PDIP. Partai ini masih berpegang pada keputusan kongres bahwa ihwal capres ditentukan oleh Megawati, ketua umumnya. Padahal bisa dipastikan Megawati masih menyisakan keinginan untuk maju lagi. Kekhawatiran bahwa Jokowi tak dicalonkan terindikasi dengan lahirnya PDIP Pro Jokowi. Adapun perolehan PDIP diperkirakan tak jauh dari 20 persen pada pemilu legislatif nanti. Angka itu merupakan batas minimal bagi sebuah partai atau gabungan partai untuk mengajukan kandidat capres-cawapres.
Kedua, perolehan suara Gerindra diperhitungkan relatif jauh dari angka 20 persen pada pemilu legislatif. Karena itu, Prabowo membutuhkan ekstra upaya agar bisa mendapat dukungan dari partai lain untuk berkoalisi. Jika ia gagal menghimpun dukungan maka Prabowo tak bisa maju menjadi capres. Untuk itulah ia terus bergerilya menghimpun dukungan. Di antaranya ia telah bertemu Hatta Rajasa, ketua umum PAN, maupun Susilo Bambang Yudhoyono, ketua umum PD. Ia juga rajin berkomunikasi dengan sejumlah pimpinan partai lain, termasuk PDIP.
Tentu akan sangat menarik jika dua figur yang diunggulkan publik ini kemudian tak mendapat tiket untuk maju dalam kontestasi. Maka akan lahir figur-figur lain. Nama-nama yang berada di bawah mereka akan menyembul, di antaranya, Megawati, Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan sebagainya. Jika hal itu terjadi akan muncul kandidat baru. Para pendukung Jokowi maupun Prabowo yang kecewa, sebagian akan bertahan mengikuti gerak partai sebagian akan bergerak liar mengikuti logikanya masing-masing. Figur-figur yang mengikuti konvensi PD akan memiliki peluang, termasuk Anies Baswedan. Nama Chairul Tanjung, seorang pengusaha, juga bisa ikut menyeruak.
Situasi ketidakpastian ini agak mirip dengan situasi sebelum pemilu 2004. Pada 2003 nama Megawati berkibar sendirian. Sebagai incumbent ia memiliki banyak keuntungan. Nama lain yang muncul di antaranya M Amien Rais. Namun saat itu, suara swing voter masih relatif besar. Pada sisi lain, suara dukungan ke Megawati juga belum meyakinkan. Lalu muncul insiden. Ada pergesekan panas antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Taufiq Kiemas, yang mengapung di media massa. Akhirnya SBY keluar dari kabinet, dan suara dukungan mengalir kepadanya. Dalam waktu singkat, SBY bisa memenangkan persiangan. Memang saat itu aturan pencalonan masih mudah, hanya membutuhkan tiga persen suara. Sehingga SBY mudah meraih tiket. Namun harus diingat, sebelum ada insiden, suara dukungan ke SBY masih di bawah lima persen, sangat kecil. Selain faktor gesekan, Megawati dibebani kemerosotan legitimasi akibat kebijakannya yang menjuali aset-aset BPPN ke asing, terutama Indosat.
Saat ini, para kandidat bukan berhadapan dengan incumbent atau yang didukung partai penguasa. Bahkan dua nama termoncer, Jokowi dan Prabowo, berasal dari partai oposisi. Ada kegairahan publik untuk mengoreksi kebijakan ataupun mencari suasana yang berbeda dengan warna penguasa saat ini. Dua figur ini mewakili antitesis SBY. Jokowi figur ndeso, wong cilik, tak tampan, sederhana, informal, dan semacamnya. Ini berkebalikan dengan SBY yang tampan, perlente, memesona, dan formalistik. Sedangkan Prabowo mewakili pemikiran yang nasionalistik, tegas, dan prorakyat – setidaknya seperti yang dipidatokannya. Hal ini berkebalikan dengan citra SBY yang terlalu mempertimbangkan kepentingan dunia dan investor asing, lebih dekat dengan para elite, dan terlalu hati-hati dalam mengambil keputusan.
Semua ini secara tak langsung menjawab dua pertanyaan di awal. Pilpres 2014 tak sesederhana yang dibayangkan. Apalagi jika memperhatikan persebaran angka elektabilitas dari berbagai polling. Angkanya belum genap benar ke Jokowi. Masih bisa muncul kejutan-kejutan. Pertama, jika MK menganulir syarat pencalonan dari 20 persen ke tiga persen lagi. Kedua, jika ada kekeliruan pada Jokowi selaku gubernur maupun oleh kekeliruan langkah para pendukungnya. Sikap fanatik para pendukungnya, seperti terlihat di dunia sosial media maupun gerakan Pro Jokowi, merupakan satu titik lemah tersendiri. Kedua, jika hadir figur yang bisa merangkum semua harapan para pemilih. 'Para pemilih' Jokowi merupakan orang-orang yang bosan dengan 'polesan' dan 'pencitraan'. Mereka ingin kesejatian dan kerendahhatian. Namun tetap tingginya popularitas SBY juga menunjukkan bahwa sebagian publik Indonesia menghendaki pemimpin yang secara tampilan bisa membanggakan. Kebesaran Bung Karno maupun Pak Harto, di antaranya, karena dua presiden itu ganteng, rapi, dan memesona. Ketiga, publik juga menghendaki adanya perubahan konten yang bisa merepresentasikan kebesaran Indonesia. Bukan figur yang lembek dan penurut. Prabowo yang memiliki sejumlah handicap di masa lalu pun bisa diterima karena dia membawa pesan ini. Harapan ini juga tecermin pada tingginya popularitas Dahlan Iskan maupun Jusuf Kalla. Namun tetap populernya SBY juga menunjukkan bahwa publik menghendaki harmoni, keteraturan, dan kesantunan.
Pada sisi lain, publik juga masih mudah hanyut oleh iklan dan loyalitas tradisional. Warna pragmatisme merupakan realitas yang tetap menghampiri masyarakat manapun.
Rakyat makin cerdas dan makin bisa mengekspresikan apa yang mereka inginkan. Yang belum berubah adalah para pemimpinnya. Mereka belum cukup mampu menangkap sinyal yang diperlihatkan rakyatnya. Rakyat tidak sedang menunggu Ratu Adil, tapi sedang menunggu pemimpin yang bisa menangkap energi mereka.
Memilih pemimpin sejatinya memilih rakyat. Memang rakyat yang datang ke bilik suara. Tapi rakyat akan mencoblos para pemimpin yang bisa menghimpun rakyat dalam visi dan mimpi yang sama. Itulah kesejatian pemilu.

Sumber :
republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar