Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang tak memasukkan nama Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo, karena dianggap hanya calon presiden wacana, terus menuai kritikan. Kondisi ini dinilai janggal. Bahkan, sebutan 'capres wacana' juga agak menggelikan dan aneh.
"Kebetulan saya baru selesai riset dengan lembaga baru saya. Menurut riset Public Virtue Institute yang baru kami luncurkan Jumat 18 Oktober 2013 lalu, "Jokowi" percakapan paling menarik dan paling banyak di sosial media jika bicara tokoh politik," kata Direktur Eksekutif Public Virtue Institute, Usman Hamid di Jakarta, Senin (21/10/2013).
Karena itu, Usman merasa aneh dan heran ketika LSI tak memasukkan Jokowi dalam surveinya. Apalagi, alasannya karena Jokowi hanya capres wacana.
"Agak susah mengatakan 'capres wacana.' Karena dia itu bukan saja media darling, tapi juga sekaligus people darling karena yang dia buat bukan statement, pidato atau iklan semata, tapi nyata berupa tindakan ke lapangan," tutur Usman.
Di era kepemimpinan Jokowi, meski baru seumuran jagung, kultur kerja Pemda mulai mengalami shock therapy dan selanjutnya memperlihatkan kemajuan. Dari segi itu, Jokowi menjadi harapan baru perubahan Jakarta. Tidak cuma mendominasi wacana diskursus di tingkat elite politik, tapi juga wacana konkursus di tingkat akar rumput, orang miskin pinggiran kota.
"Menariknya, Jokowi itu 'masuk atau cocok' juga ke generasi muda pengguna media sosial. Itu hasil dua penelitian PVI. PVI memprediksikan, Jokowi membawa Jakarta Baru ke Indonesia Baru," ungkap dia.
Memang kata Usman, ada juga berharap Jakarta Baru dulu, baru setelah itu Indonesia Baru. Tapi jelas sekali Jokowi sudah mempunyai modal awal untuk dialog dan membangun semacam 'connectedness' dengan publik yang lebih luas.
"Singkatnya, PVI menemukan fakta, Jokowi adalah jembatan politisasi kesadaran publik media sosial yang mewakili publilk "real" atas persoalan-persoalan publik utama di Jakarta," ujar Usman.
Ia menambahkan, memang ada yang menganggap netizen masih kecil. Tapi justru berpotensi besar karena didominasi orang muda. "Faktanya lebih dari 60 persen yang menjadi influncer handal," pungkas dia.
Bahkan, kata Usman, politisasi sosial media akan jadi berpengaruh besar dalam kontestasi capres 2014. Hal itu terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya pertemuan antara keresahan umum kepada elite lama. Lalu kedua, dengan momentum serta figur yang tepat dan infrastruktur digital memadai, itu bakal menjadi kekuatan besar.
"Pada sisi lain, politisasi sosial media mulai memperlihatkan perkawinan kerja sama antara aktivis sosial media, aksi-aksi kreatif, aktivisme yang current, dan intervensi media mainstream. Dalam kontek ini, Jokowi dibesarkan. Janggal saja bila Jokowi tak dimasukan dalam survei."
Hal senada disampaikan pengamat politik dari UGM Ari Dwipayana. Menurut Ari, survei LSI seperti ini terkesan tendensius, karena memisahkan kandidat potensial dalam "keranjang yang lain" sehingga akan mempengaruhi opini terhadap kandidat tertentu.
"Dengan cara meletakan Jokowi dan Prabowo di keranjang yang lain, maka peta pertarungan dalam pilpres seolah-olah antara Mega vs ARB (Aburizal Bakrie). Ini bisa mempengaruhi penilaian pemilih karena hanya diberi dua pilihan," ujar Ari.
Penyebutan kandidat wacana oleh survei tersebut juga memilki kreteria berbeda. Kalau untuk Jokowi, survei itu melihat posisi Jokowi bukan pengendali partai. Sedangkan untuk Prabowo, lebih karena peluang untuk capai Presidential Threshold.
"Kriteria yang berbeda ini tentu dipertanyakan karena Mega juga belum resmi, begitu pula capres konvesi Demokrat. Yang sudah jelas baru Ical itu pun masih dipersoalkan secara internal," terang dia.
Sankalan dari Pengamat Lain
Pada acara Prime Time News Senin, (21/10/2013) pukul 18:10 WIB, yang dipandu oleh Zelda Savitri, pengamat Tjipta Lesmana, Gungun Heryanto dan Bonie Hargens juga memberikan komentar yang senada terhadap hasil survei besutan LSI ini.
Secara khusus Tjipta Lesmana mengatakan bahwa ilmuwan di LSI telah 'melacurkan diri'.
Sumber :
metrotvnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar