Selasa, 20 Agustus 2013

Jokowi dan Pilpres 2014

Tidak semua warga Jakarta tahu di mana itu Blok G Pasar Tanah Abang berlokasi, bagaimana kondisinya dan apa kelelebihan dan kekurangannya sebagai tempat berdagang. Kalau sekarang ternyata lokasi tersebut memenuhi syarat bagi perdagangan dan pedagang bersedia menggunakannya, jelas selama ini masalahnya hanyalah masalah kepemimpinan daerah, manajemen dan tekad untuk ingin menertibkan. Jokowi dan Ahok mungkin karena dikejar tagihan atas janjinya selama kampanye, mati-matian mencoba memecahkannya, dengan menghormati unsur dan faktor-faktor humanisme rakyat Betawi.
Sangat mungkin Jokowi dan Ahok telah belajar dari sejarah, bahwa rakyat Aceh yang sangat patriotis dan religius dalam mempertahankan daerahnya, akhirnya bersedia menerima kehadiran Hindia Belanda di Aceh. Sebuah proses sejarah yang tidak hanya mengandalkan keunggulan senjata tetapi terutama, karena kesadaran Pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi sikap-sikap human dari rakyat Aceh. Jokowi dan Ahok sadar mereka masih harus mentuntaskan beberapa lokasi lain selain Tanah Abang, seperti Pasar Minggu, Jatinegara dan beberapa lokasi lain.
Bukan tidak mungkin dengan pertimbangan positif tetapi mengikuti pola-pola humanis seperti ketika Pemerintah Hindia Belanda berhasil diterima oleh rakyat Aceh, Jokowi dan Ahok juga bukan tidak menggunakan ahli-ahli humanisme Betawi sehingga sekitar 300 PKL di Tanah Abang bersedia menerima ajakan Jokowi-Ahok. Justeru apa yang ingin digarisbawahi adalah sedemikian jauh meskipun penuh tantangan Jokowi dan Ahok telah berhasil melunakkan sikap keras hati kelompok masyarakat Betawi yang telah keliru menggunakan lahan yang memang bukan haknya. Jokowi dan Ahok jelas tidak sepenuhnya menggunakan kekerasan, langkah inilah yang perlu diapresiasi. Jokowi dan Ahok tahu, Jawara adalah figur-figur panutan rakyat Betawi, oleh sebab itu mereka harus diminta peranannya.
Masyarakat juga tidak jelas apa hubungannya Haji Lulung dengan PKL Tanah Abang. Tetapi yang meledak ke permukaan dan ditangkap media massa adalah adu mulut yang keras dan pertentangan antara Wakil Ketua DPRD itu dengan Wagub DKI Ahok. Pertentangan antara kedua tokoh Pemimpin Daerah tersebut alhamdulillah tidak berakhir di pentas tinju atau silat, apalagi pengerahan massa, bahkan secara perlahan pertentangan terasa lenyap, bahkan Haji Lulung terpublikasikan bersikap melunak dan membantu Ahok, di antaranya jaminan bahwa lokasi yang kini banyak digunakan oleh PSK akan juga akhirnya bersih. Apa kuncinya pasti pendekatan yang bersifat humanis, yang hingga kapan kita tidak tahu akan tetap tersimpan serbagai rahasia.
Gaya kepemimpinan Jokowi dan Ahok nampaknya sudah diatur. Jokowi terus menerus menanamkan image sebagai pro rakyat, bersedia berkomunikasi dengan rakyat, dan tidak sedikit pun memberikan indikasi akan memakan uang rakyat, bahkan dituduh mengobral APBD untuk membagikannya sebagai THR dan macam-macam predikat. Bagi rakyat miskin memang telah mengakibatkan pintu serangan kepada Jokowi sebagai semaunya, tetapi tetap sulit untuk dituduhkan sebagai seolah-olah dikorup oleh Jokowi dan Ahok. Ahok nampaknya menggunakan falsafah bahwa orang Betawi takut dan respek kepada Jawara, sehingga tingkah lakunya mencoba mencontoh para Jawara, dan nampaknya ia makin semangat ketika dicoba dipersamakan dengan keberanian Gubernur Ali Sadikin yang dianggap oleh masyarakat Betawi sebagai Gubernur yang berani, keras dan tegas tetapi sangat memikirkan rakyat.
Modal Jokowi dan Ahok dalam menertibkan Waduk Pluit dan PKL di Pasar Minggu, Jatinegara, Tanah Abang dan di tempat lain pada dasarnya adalah kepatuhan pada hukum dan ancaman pidana. Para penghuni liar di Waduk Pluit dan para PKL melanggar hukum, harus ditertibkan dan apabila melawan maka tuntutan hukum akan digunakan. Konsep inilah yang diam-diam dibisikkan oleh Jokowi kepada Ahok sebagai pengalamannya ketika memimpin Solo. Sikap-sikap inilah yang disosialisasikan dengan penuh humanisme kepada masyarakat dan masyarakat memahaminya.
Dalam upaya penertiban PKL, nampaknya unsur kekuatan fisik juga digunakan secara terbatas termasuk aparatur keamanan/TNI, namun dimulai dengan proses psikologi yang populis, yaitu demonstrasi anggota-anggota TNI membersihkan sungai dilakukan, sehingga image TNI akan bersikap keras kepada masyarakat tidak terjadi. Jokowi dan Ahok mendekatkan aparatur keamanan kepada rakyat dengan falsafah gotong royong.
Rakyat Indonesia sudah bosan dengan situasi dan kondisi yang dirasakannya ya begini-begini saja. SBY pada tahun 2004 dan tahun 2009 menjadi populer karena dianggap pemimpin perubahan. Oleh sebab itu nampaknya rakyat menginginkan tokoh yang lebih hebat dari SBY. Dalam konteks inilah meskipun rakyat sadar bahwa memimpin DKI saja belum selesai dan belum tercatat prestasinya, ada bisikan yang belum jelas sebabnya, menganggap Jokowi adalah pemimpin perubahan yang akan melanjutkan kiprah SBY. Ketika terpilih sebagai Presiden, modal SBY hanyalah popularitas, track record SBY juga belum dikenal benar oleh masyarakat pada saat itu. Inilah argumentasi rakyat yang berbondong-bodong mendorong Jokowi menjadi Capres 2014.
Beberapa analis memang menduga seperti juga pengalaman munculnya SBY pada tahun 2004 bukanlah karena track record tentang kesuksesan SBY, tetapi karena popularitas SBY. Nampaknya Jokowi akan mengulangi lelakon SBY, ketika pada tahun 2009 karena keberhasilan program pencitraan atas diri SBY sebagai tokoh perubahan, memungkinkan SBY menjadi tokoh yang amat populer dan dipilih hampir 60% pemilih sebagai Presiden RI.
Modal sedikit yang dikumpulkan Jokowi dari track recordnya ketika memimpin Solo nampaknya juga akan dapat menjadi besar volumenya sehingga citranya sebagai orang yang sederhana, populis dan rajin berkomunikasi dengan rakyat membuat Jokowi sulit menghindar dari tuntutan agar Jokowi ikut menjadi Capres pada tahun 2014.
Kini Jokowi dengan teknik menyamar sebagai orang sederhana melakukan anjang sana menemui langsung rakyat dan dengan APBD yang sudah disetujui DPRD, Jokowi mencoba menyenangkan hati rakyat. Ada yang memprediksi Jokowi sedang membangun popularitasnya untuk menghadapi Pilpres 2014, padahal ia hanya ingin menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sukses.
PDI-P dan Megawati akan sadar sangat berat untuk memperoleh 20 % kursi DPR, sehingga koalisi dengan partai lain menjadi satu-satunya harapan untuk bisa menampilkan seorang Capres. Dan untuk menarik partai lain tertarik untuk berkoalisi dengan PDI-P hanyalah apabila PDI-P mempunyai Capres yang popularitasnya sangat luar bisa. Megawati sadar darah biru yang diwarisi nya dari Bung Karno memang luar biasa, tetapi ia sadar akan keterbatasan kondisinya. Ia mungkin diam-diam merenungkan siapa orang yang bisa meneruskaan cita-citanya, mengingat Puan Maharni masih muda. Banyak orang menduga paling tidak berharap akhirnya Megawati akan memfatwakan restunya bagi Jokowi sebagai Capres PDI-P.
Prinsip pandangan Jokowi-Ahok, bahwa DKI adalah kota metropolitan Ibukota RI tidak ada yang bisa membantah, dan untuk itu semua rencana untuk membangun DKI sebenarnya sudah ada, dan bukan main-main, baik program maupun sumber dananya. Tinggal kemauan untuk melaksanakannya, tinggal keunggulan sebuah leadership dan manajemen sebagai syarat untuk melaksanakan. Inilah nampaknya yang akan ditempuh Jokowi dan wakilnya.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta belum tentu bisa dilakukan didaerah lain. Jakarta adalah RI mini. Dan apabila terjadi, maka Presiden RI hasil Pilpres tahun 2014 adalah mantan Gubernur yang tidak selesai masa kerjanya, politisi kelas tengah, serta tidak pernah menjadi anggota DPR atau DPD.
Peristiwa penertiban PKL Tanah Abang bukan tanpa masalah. Ada berbagai masalah yang terkait dan apabila ditulis pasti akan menjadi sub judul masalah yang panjang dan menarik, diantaranya mengapa Blok G Pasar Tanah Abang selama ini kosong, apa hubungan Haji Lulung dengan PKL Tanah Abang, kepemimpinan Jokowi dan Ahok, apa kemiripan PKL Tanah Abang, Pasar Minggu, Jatinegara dan Waduk Pluit serta aspek politik yang terkait.

Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar