Senin, 29 Juli 2013

Duet Serasi Jokowi-Ahok Bisa Jadi Contoh

Cuaca siang hari pada Kamis, 4 Juli lalu di Serang, Banten, cukup terik. Selesai acara di tempat yang tidak terlalu jauh, Tubagus Dedi Suwandi Gumelar alias Miing langsung menuju kantor rekan separtainya yang menjadi Wakil Gubernur Banten, Rano Karno. Politikus PDI Perjuangan itu berjanji ingin mampir dan ngobrol dengan sahabatnya itu.
Bermaksud ngobrol ingin mengajak Rano untuk ikut mendukung dirinya dalam kampanye calon Wali Kota Tangerang, malah Miing mendapat curhatan hati dari Rano. Ia mengaku terkejut ketika Rano mengaku kurang mendapat tugas proporsional sebagai Wakil Gubernur Banten. Menurut Miing, Rano merasa tidak optimal menjadi Wagub Banten dan terlintas ingin mundur dari jabatannya.
Meski tidak memperlihatkan wajah terpukul, ia tahu perasaan sahabatnya itu. “Saya tanya Ji, bagaimana Banten, kok ente jarang ada beritanya. Dia malah cerita seperti itu. Lha, saya kan mau ngobrol dan ajak dia kampanye soal Wali Kota Tangerang,” kata Miing kepada detikcom pekan lalu.
Anggota Komisi Pendidikan dan Olahraga Dewan Perwakilan Rakyat ini melihat ada yang janggal dengan hubungan orang nomor satu dan nomor dua di Banten itu. Padahal, katanya, pasangan ini baru setahun. Miing menilai tidak ada kekompakan dan pembagian proporsional antara tugas gubernur dan wakilnya. “Seharusnya saling melengkapi, ini malah didominasi satu saja,” ujar bekas komedian ini menyesalkan.
Pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah mewarnai duet kepemimpinan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Wakilnya, Rano Karno. Ketidakharmonisan hubungan semestinya tidak terjadi seperti pada kasus pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra beberapa waktu lalu.
Bagi Miing sendiri seharusnya tugas antara gubernur dan wakilnya itu seperti Joko Widodo (Jokowi) dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memimpin DKI Jakarta. Ia membandingkan duet ini saling melengkapi dan meringankan tugas secara bersama. “Saya enggak ada motif apa-apa. Ini spontanitas dan manusiawi saja. Jangan terlihat adem ayem tapi bermasalah. Kalau seperti ini kan rakyat yang kasihan,” ujar Miing menambahkan.
Adapun Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari menganggap pengakuan Rano yang menyebut tak mendapat pembagian peran dan fungsi, sebagai hal yang lazim terjadi baik pada yang berpasangan dengan artis maupun tidak. “Seingat saya memang tidak ada wakil diberikan wewenang khusus, jadi memang fungsinya dia kalau ketua berhalangan dia yang menggantikan. Jadi enggak bisa dituntut secara hukum karena tidak ada dasar hukum tertulis,” Qodari kepada detikcom pagi tadi.
Berkaca pada pembagian peran antara Gubernur DKI Jokowi dan wakilnya Ahok, Qodari mengatakan hal itu tergantung pada keikhlasan masing-masing kepala daerah. “Jadi kalau artis terjun ke wilayah politik, dia harus sadar bahwa politik itu ada faktor formalnya dan juga nonformal seperti keikhlasan pribadi kepala atau manuver politik yang dia lakukan.”
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menekankan
semestinya sebelum maju sebagai pasangan, kedua calon harus membuat kontrak politik untuk pemisahan tugas, tanggung jawab dan peran sebagai kepala daerah dan wakilnya. Jika pembagian peran tidak jelas, akibatnya di tengah jalan akan terjadi keretakan dan cekcok karena satu pihak merasa tidak diperankan sama sekali, atau sebaliknya perannya dinilai terlalu besar. “Pembagian peran itu mestinya mutlak dilakukan,” kata dia Minggu (28/7/2013). “Kalau sudah ada (pembagian) tapi mereka tetap retak, maka kemungkinan ada masalah lain, seperti persoalan pribadi.”
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sebelumnya sudah mengingatkan bahwa pembagian tugas dan kewenangan antara kepala dan wakil kepala daerah sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bekas Gubernur Sumatera Barat ini menekankan dalam UU tersebut semuanya sudah diatur termasuk soal anggaran operasionalnya.


Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar