Sabtu, 15 November 2014

Pidato Jokowi Di G-20, Sebuah Pencapaian Gemilang Sang Wali Kota Solo

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat memberikan intervensi pada sesi pleno para pimpinan negara yang tergabung dalam G-20. Dia menyampaikan pengalamannya saat menjadi Wali Kota Solo hingga DKI, terutama dalam urusan pembenahan reformasi birokrasi.
Pidato ini disampaikan dalam sidang pleno yang tertutup dari media, Sabtu (15/11/2014) siang tadi di Brisbane Convention Exhibition Center (ECBC), Australia. Salinan pidato Jokowi kemudian diterima wartawan dari pemangku kepentingan di sidang tersebut, Mahendra Siregar dan juga Seskab Andi Widjajanto.
Di awal sambutannya, Jokowi sempat memperkenalkan diri. Presiden ketujuh itu lalu menyampaikan langkah-langkah reformasi birokrasi untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Tahun 2005, saya pertama kali memasuki dunia politik ketika terpilih langsung sebagai Walikota Solo di Jawa Tengah yang berpenduduk 560 ribu jiwa. Solo merupakan kota sejarah, namun saat itu kurang tertib, agak kumuh, dan rendah pendapatan daerahnya," cerita Jokowi.
"Untuk menertibkan dan memperbaiki prasarana kota, saya membutuhkan dana yang besar. Karenanya, yang saya lakukan adalah mentargetkan kenaikan penerimaan daerah melalui perbaikan sistem pelayanan dan pembayaran pajak," sambungnya.
Jokowi kemudian mengubah metoda pembayaran pajak dari manual ke sistem online disertai dengan peningkatan pelayanan. Hasilnya, proses yang bersih dan cepat serta dipercaya masyarakat. Dalam kurun waktu empat tahun, pendapatan asli daerah meningkat 80 persen.
"Kemudian untuk menertibkan kota, saya mengundang para pedagang yang sebelumnya kurang tertib berdagang di pasar tumpah. Saya membujuk dan meyakinkan mereka untuk pindah ke tempat baru yang lebih bersih, nyaman, rapih dan manusiawi. Untuk itu, saya melakukan dialog dan sosialisasi hingga lebih dari 50 kali. Hasilnya para pedagang tersebut bukan saja secara sukarela bersedia pindah, bahkan kepindahan mereka dirayakan seperti layaknya suatu pawai atau perayaan," paparnya.
Pendekatan serupa juga dilakukan Jokowi ketika memimpin Jakarta. Dia merevitalisasi sektor-sektor strategis, hingga memberi perbaikan pasar tradisional dan pelayanan kesehatan serta pendidikan.
"Salah satu agenda pertama yang saya lakukan adalah memperkuat kualitas birokrasi. Saya harus mewujudkan pemerintahan yang berorientasi kepada “melayani masyarakat”, bukan “memerintah”. Oleh karenanya, saya memperbaiki sistem promosi pejabat daerah melalui merit-based. Saya terapkan sistem lelang terbuka untuk 311 jabatan lurah dan camat, sehingga hanya mereka yang memiliki kompetensi dan dipercaya oleh masyarakat yang terpilih menduduki posisi-posisi tersebut. Tidak ada lagi lurah yang ditunjuk karena latar belakang agama, etnis, atau suku. Mereka semua dipilih karena kompetensi dan kepercayaan masyarakat," paparnya.
"Kini, pengalaman melakukan reformasi sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta tersebut akan saya bawa dan kembangkan pada tingkat nasional," tegas Jokowi.
Salah satu cara yang dilakukannya di tingkat nasional adalah mulai dari seleksi menteri melalui KPK. Lalu membangun demokrasi yang akuntabel dan dipercaya rakyat, bukan yang ditentukan dan mementingkan kelompok elite politik.
"Sehingga, Indonesia yang saat ini menjadi negara demokrasi langsung terbesar di dunia yang dibuktikan dengan 71 juta pemilih langsung yang mendukung saya dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, akan mampu menghasilkan pertumbuhan dan pembangunan yang didambakan masyarakat," urainya.
Pidato Jokowi disebut Mahendra Siregar, berjalan selama enam menit. Setelah itu, beberapa kepala negara lain juga memberikan intervensinya masing-masing.
Pidato Jokowi berlangsung selama 6 menit dalam rapat pleno yang tertutup untuk media, Sabtu (15/11/2014) di BCEC, Brisbane, Australia. Jokowi didampingi oleh Mahendra Siregar selaku pemangku kepentingan dalam forum tersebut.
Berikut pidato lengkapnya :

Bapak Pimpinan Sidang,
Saya baru memulai tugas menjadi Presiden Indonesia kurang dari satu bulan lalu. Keikutsertaan saya yang pertama dalam forum Leaders G20 ini ingin saya manfaatkan untuk memperkenalkan diri, sekaligus berbagi pengalaman dan visi kami tentang langkah-langkah reformasi untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Tahun 2005, saya pertama kali memasuki dunia politik ketika terpilih langsung sebagai Walikota Solo di Jawa Tengah yang berpenduduk 560 ribu jiwa. Solo merupakan kota sejarah, namun saat itu kurang tertib, agak kumuh, dan rendah pendapatan daerahnya.
Untuk menertibkan dan memperbaiki prasarana kota, saya membutuhkan dana yang besar. Karenanya, yang saya lakukan adalah mentargetkan kenaikan penerimaan daerah melalui perbaikan sistem pelayanan dan pembayaran pajak.
Untuk pajak daerah, saya mengubah metode pembayaran dari cara manual ke sistem online disertai dengan peningkatan pelayanan perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. Hasilnya adalah proses yang bersih, cepat, serta dipercaya masyarakat. Dalam kurun waktu empat tahun, Pendapatan Asli Daerah meningkat hingga 80 persen.
Kemudian untuk menertibkan kota, saya mengundang para pedagang yang sebelumnya kurang tertib berdagang di pasar tumpah. Saya membujuk dan meyakinkan mereka untuk pindah ke tempat baru yang lebih bersih, nyaman, rapi dan manusiawi. Untuk itu, saya melakukan dialog dan sosialisasi hingga lebih dari 50 kali. Hasilnya para pedagang tersebut bukan saja secara sukarela bersedia pindah, bahkan kepindahan mereka dirayakan seperti layaknya suatu pawai atau perayaan.
Reformasi lain yang saya lakukan adalah membangun unit pelayanan perijinan satu pintu untuk ijin mendirikan usaha dan seluruh perijinan yang terkait dengan itu. Saya tetapkan berapa hari seluruh ijin harus diselesaikan oleh unit itu, dan tanpa biaya.
Pendekatan serupa saya lakukan ketika terpilih menjadi Gubernur Ibu Kota Jakarta pada tahun 2012. Sebagai sebuah kota kosmopolitan yang berpenduduk 12 juta jiwa ini, strategi pemerintahan saya adalah me-revitalisasi sektor-sektor strategis yang berdampak luas kepada peningkatan kehidupan kota dan ekonomi masyarakatnya, antara lain sektor transportasi umum, penanggulangan banjir, perbaikan pasar tradisional, pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi masyarakat miskin.
Salah satu agenda pertama yang saya lakukan adalah memperkuat kualitas birokrasi. Saya harus mewujudkan pemerintahan yang berorientasi kepada “melayani masyarakat”, bukan “memerintah”. Oleh karenanya, saya memperbaiki sistem promosi pejabat daerah melalui merit-based. Saya terapkan sistem lelang terbuka untuk 311 jabatan lurah dan camat, sehingga hanya mereka yang memiliki kompetensi dan dipercaya oleh masyarakat yang terpilih menduduki posisi-posisi tersebut. Tidak ada lagi lurah yang ditunjuk karena latar belakang agama, etnis, atau suku. Mereka semua dipilih karena kompetensi dan kepercayaan masyarakat.
Berbekal pengalaman dari Solo, saya juga memperbaiki sistim pembayaran pajak daerah di DKI Jakarta dengan memperkenalkan sistim online. Hasilnya, penerimaan pajak daerah meningkat sebesar 50 persen dalam waktu satu tahun.
Melalui sistem on-line ini, saya juga mengidentifikasi secara cepat sektor-sektor potensial yang dapat saya target penerimaan pajaknya akan lebih tinggi di masa depan.
Saya juga bentuk one-stop-service perijinan daerah, untuk membuat proses berjalan sederhana, murah, dan singkat, serta transparan. Ini upaya pemerintah saya untuk meningkatkan 'ease of doing business' di Jakarta, yang praktis merupakan lebih dari 50 persen perijinan nasional berada.
Keberhasilan yang saya capai saat memimpin kedua kota tersebut, Solo dan Jakarta, bukanlah karena saya membawa sebuah sistem pemerintahan baru. Saya hanya memperkenalkan pendekatan dialog dari hati ke hati langsung kepada masyarakat, yang disebut 'blusukan'. Dengan cara itu, saya memperoleh masukan yang bukan saja sesuai dengan keinginan masyarakat, namun juga menghasilkan sistem dan perbaikan sistem yang lebih efisien, transparan dan akuntabel dengan memaksimalkan potensi yang ada.
Kini, pengalaman melakukan reformasi sebagai Walikota Solo dan Gubernur Jakarta tersebut akan saya bawa dan kembangkan pada tingkat nasional.
Pertama kali yang saya lakukan sebelum membentuk Kabinet Kerja yang baru berusia 3 minggu itu adalah memberikan daftar calon menteri itu kepada Komite Penanggulangan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperoleh klarifikasi bahwa tidak ada di antara mereka yang terindikasi atau memiliki kaitan dengan kasus yang sedang atau akan ditangani KPK. Pendekatan itu saya harapkan dapat menjaga kepercayaan rakyat Indonesia yang sudah begitu baik dan semangatnya memberikan mandat besar kepada saya memimpin mereka 5 tahun ke depan.
Dengan bekal pengalaman refomasi itu, ke depannya, saya ingin membangun demokrasi politik yang akuntabel dan dipercaya rakyat, bukan yang ditentukan dan mementingkan kelompok elit politik. Sehingga, Indonesia yang saat ini menjadi negara demokrasi langsung terbesar di dunia yang dibuktikan dengan 71 juta pemilih langsung yang mendukung saya dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, akan mampu menghasilkan pertumbuhan dan pembangunan yang didambakan masyarakat.
Beberapa agenda prioritas yang akan saya lakukan adalah:
Pertama, peningkatan daya saing nasional melalui proses penyederhanaan perijinan investasi dan membentuk layanan one-stop-service nasional. Enam bulan dari sekarang, Indonesia akan memiliki sistem perijinan investasi yang terintegrasi dan bisa diakses online.
Kedua, di bidang pajak, saya ingin meningkatkan tax ratio terhadap GDP menjadi 16 persen, dari sekarang yang masih di bawah 13 persen. Dengan perbaikan sistem perpajakan, termasuk transparansi dan sistem IT, saya optimis angka ini akan meningkat.
Ketiga, saya ingin mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak dan memindahkan alokasi subsidi tersebut untuk pembiayaan infrastruktur, yaitu pembangunan jalan, pelabuhan laut dan bandara; serta mendukung program kesejahteraan rakyat.
Keempat, saya ingin lebih banyak membangun infrastruktur sosial, yaitu pembangunan kualitas 'manusia'nya. Sebagai tahap awal, saya sudah meluncurkan tiga program kesejahteraan yaitu: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Keluarga Sejahtera, yang akan menjadi jaminan layanan gratis untuk masyarakat miskin di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dengan membangun sumber daya manusia yang baik, maka akan tercipta produktivitas dan daya saing nasional yang lebih tinggi.
Berbagai upaya ini akan kami laksanakan secara simultan. Ini merupakan cara kami untuk mengatasi dan menghindari ‘middle income country trap’, serta pemberantasan korupsi yang menjadi momok pembangunan Indonesia.
Di tengah-tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia beberapa tahun ini, Indonesia selama 8 tahun terakhir tumbuh rata-rata 5,8 persen. Hal itu dicapai dengan mengandalkan pertumbuhan kelompok berpendapatan menengah, yang jumlahnya sekitar 25 persen dari populasi. Agenda prioritas yang saya jalankan bukan saja akan menjaga pertumbuhan kelompok berpendapatan menengah itu, tapi justru menjadikan kelompok lainnya yang lebih besar lagi, yaitu kelompok menengah bawah dan kelompok berpendapatan rendah sebagai pilar pertumbuhan Indonesia yang akan lebih besar lagi ke depan. Pola pertumbuhan yang menyeluruh dan bertumpu kepada kelompok-kelompok yang selama ini belum memiliki akses yang cukup terhadap pembangunan, saya pandang sejalan dengan tujuan kita bersama negara-negara G20, yaitu pertumbuhan yang kuat, berkelanjutatan, seimbang dan inklusif. Itu adalah sumbangan Indonesia 5 tahun ke depan memulihkan perekonomiannya, dan pada gilirannya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi global.
Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar