Dalam politik tak ada yang tak ada, segala kemungkinan bisa terjadi
dan jungkir-balik. Itulah logika politik, apapun bisa terjadi kalau
sudah dihadapkan pada apa yang namanya kekuasaan. Tak terkecuali kalau
kita mencerimati wacana pencapresan Joko Widodo (Jokowi), segalanya bisa terjadi.
Begitu halnya saat mencermati keterpilihan Jokowi membacakan
Dedication of Life di perhelatan Rakernas PDI-Perjuangan 2013 yang
kemudian secara implisit dimaknai sebagai pemberian sinyal bagi Jokowi yang kini menjabat gubernur DKI berpotensi maju dalam laga
pencapresan atas nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Pilpres 2014.
Justru yang kemudian menjadi pertanyaan, di tengah arus gelombang
opini publik mendukung pencapresan gubernur DKI, relakah Megawati
menyerahterimakan sepenuh hati kepada Jokowi, mengingat dari hasil
sejumlah jajak pendapat nama Ketua Umum PDI-P
masih bertengger tercantum dalam deretan bursa capres 2014, meski
elektabilitasnya berada di bawah kader partainya.
Kalkulasi politik menjadi beda ketika partai berlambang kepala
banteng ini dalam pemilihan legislatif berhasil meraup suara di atas
25%, sehingga berpeluang memajukan sendiri capres dan cawapresnya.
Seandainya target ini terpenuhi, tinggal pilihannya jatuh siapa capres
dan cawapresnya, apa Megawati – Jokowi, atau kebalikkannya, atau akan
berpasangan dengan yang lain. Bilamana Megawati mundur dari pencapresan,
berarti peluang terbesar jatuh ke Jokowi.
Bila wacana pencapresan Jokowi makin deras mengalir dalam internal
partai bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi benturan internal yang
bisa menggoyang posisi Megawati seandainya masih bersikukuh berlaga di
Pilpres 2014. Relakah Megawati?
Dalam politik segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk ketika
berandai-andai jangan-jangan eforia pencapresan Jokowi ini masuk ikut
bermain dalam bagian dari skenario politik yang dirancang untuk
menggembosi dan meredam majunya Megawati dalam pencapresan di Pilpres
2014. Yaitu menghadapkan sang ketua umum Megawati dengan Jokowi. Apa ini
juga dipahami Jokowi.
Mengorbitnya Jokowi di pentas politik nasional ini memang fenomenal.
Di tubuh PDI-P, posisi Jokowi hanyalah kader biasa bukan putra
mahkota atau elit partai yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan mengisi
regenerasi estafet kepemimpinan dinasti Megawati Soekarnoputri. Tapi
setidaknya sebagai kader partai, Jokowi telah menunjukkan keberhasilan kepemimpinannya saat menjadi
walikota Solo maupun di DKI Jakarta.
Sebagai kader partai, Jokowi pastinya sadar betul bahwa dirinya
hanyalah anak wayang, apapun lakon yang diperankan semuanya tergantung
kemauan dan skenario politik sang dalang. Begitupun, sebagai kader
partai yang baik, pastinya di sini Jokowi manut wae derek kersane ibu di
balik semua kepentingan politik yang ada. Nggak tahu kalau dalam hal ini
juga punya logika politik sendiri.
Dalam hal ini nampak tersirat, Jokowi sangat berhati-hati dan
mempertimbangkan betul secara dalam menentukan sikap pencapresan
dirinya. Pastinya Jokowi juga punya logika politik sendiri, maju di
Pilpres 2014 atau tetap memilih mengabdi sampai akhir masa jabatan
sebagai gubernur DKI Jakarta guna membuktikan sebagaimana dijanjikan
Jakarta Baru.
Begitu pula ketika menyikapi gelombang euforia opini publik atas
pencapresan dirinya, Jokowi tidak mau salah langkah termakan oleh
euforia citraan opini publik dengan realita politik yang bisa serba
abu-abu dan politik abal-abal.
Sebagai kader partai, pastinya Jokowi sadar betul bahwa dirinya
hanyalah anak wayang, apapun lakon yang diperankan semuanya tergantung
kemauan dan skenario politik sang dalang. Walau dalam hal ini Jokowi
punya logika politik sendiri untuk menentukan sikapnya.
Oleh : Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”
Untuk Tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar