Popularitas Jokowi mengalahkan sosok politisi senior seperti Aburizal Bakrie (Ical), Prabowo Subianto, Wiranto, Hatta Rajasa, maupun Megawati Soekarnoputri. Tak pelak, kekhawatiran pun mulai muncul di kalangan partai politik yang tak ingin Jokowi melenggang sebagai calon presiden.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung mengaku mafhum dengan mulai munculnya upaya "penjegalan" Jokowi. "Isu-isu berkaitan calon, baik sudah ditetapkan resmi maupun belum, itu hal yang biasa. Jadi, tak usah terlalu terpengaruh isu yang dilemparkan terkait Jokowi," ujar Akbar dalam pertemuan dengan sejumlah media massa di kediamannya, Selasa (17/9/2013).
Beberapa waktu terakhir, beragam pernyataan bernada "menyerang" Jokowi memang bermunculan. Sebut saja misalnya, pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Amien Rais yang meragukan nasionalisme Jokowi. Lalu, ada juga pelarangan Jokowi maju sebagai capres yang dilontarkan petinggi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Gerindra, yang berkongsi dengan PDI-P untuk kepemimpinan di DKI Jakarta, "menagih" komitmen Jokowi untuk menuntaskan masa jabatannya di Jakarta dan menagih hutang budi Jokowi. Partai ini pun berulang kali menyinggung soal kontrak politik yang dibuat bersama PDI-P pada 2009, yang menurut partai ini menyepakati pengusungan bersama Prabowo sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden 2014.
Politisi Partai Demokrat (PD) Ruhut Sitompul bahkan mencibir wacana pengusungan Jokowi sebagai capres. Menurutnya, Jokowi belum menghasilkan apa pun bagi Jakarta. Dengan gayanya yang khas, Ruhut dengan lugas berpendapat kondisi Jakarta justru lebih kacau saat ditangani Jokowi dibandingkan saat dipimpin Fauzi Bowo pada periode sebelumnya. Ruhut menuding masyarakat hanya terbuai dengan popularitas Jokowi, tanpa melihat realita dari program-programnya.
Politisi PDI-P Eva Kusuma Sundari menilai serangan terhadap Jokowi itu adalah bukti upaya menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama partai politik. "Kami paham Jokowi dihujani serangan dari banyak sisi. Untung kami belum deklarasi. Belum apa-apa saja sudah mulai jadi common enemy," ungkap Eva.
Meski hujan cercaan mulai datang, popularitas Jokowi tetap saja melesat tinggi melewati capres lainnya. Media massa dianggap memegang peran kunci. Jokowi sampai kerap disebut sebagai "media darling" karena nyaris semua media massa tak henti memberitakannya.
Wartawan senior Harian Kompas Budiarto Shambazy mengungkapkan Jokowi diminati media karena tidak ada lagi sosok lain. "Orang sudah bosan melihat, tidak ada figur lain. Mau siapa? SBY? Apalagi 11 peserta konvensi? Sudah bosan. Biarkanlah Jokowi menjadi media darling, jangan dihentikan," ungkap dia dalam sebuah diskusi tentang Komersialisasi Media di Jakarta, Selasa (17/9/2013).
Efek "bubble" Jokowi akan terjadi?
Bukan berarti Jokowi tak harus bersikap waspada. Kondisi yang kini membuat popularitas dan elektabilitasnya melejit bisa saja berubah dan bahkan berbalik 180 derajat. Budiarto merujuk istilah ekonomi "bubble" sebagai analogi ancaman dari besarnya gelombang dukungan yang kini didapat Jokowi.
Budiarto juga menggambarkan situasi Jokowi serupa dengan Presiden Barack Obama. Saat pertama kali mencalonkan diri, dideklarasikan pada 2007, Obama menanggung harapan yang sangat besar dari warga Amerika untuk membawa perubahan. Namun, seiring waktu, sampai saat ini, Obama kerap berhadapan dengan banyak ekspresi kekecewaan karena harapan yang sedemikian besar dari warganya ternyata tak gampang diwujudkan.
"Sekarang ini Jokowi seperti Obama, kurva dukungannya sangat tinggi, tapi nanti di suatu waktu dia akan terjadi 'bubble',” ujar Budiarto. Contoh pecahnya gelembung dukungan Obama, sebut dia, sangat kental terlihat dalam menghadapi krisis Suriah, ketika Obama sangat kesulitan mendapatkan dukungan untuk menggelar aksi militer.
Hal yang kini dihadapi Obama, menurut Budiarto, sangat mungkin juga menimpa Jokowi. "Audiens kita ini 'telenovela', bisa sangat rindu terhadap satu tokoh, tapi bisa saja dia (tokoh itu, red) kemudian dimaki habis-habisan,” imbuh Budiarto.
Psikolog politik Hamdi Muluk mengatakan, di balik popularitas Jokowi, ada kepercayaan publik yang luar biasa besar terhadap pengusaha kayu itu. Dia pun berpendapat persoalan popularitas yang selalu dikait-kaitkan dengan Jokowi dan disebut dengan "fenomena Jokowi" adalah upaya mendeligitimasi kemampuan kepemimpinan Jokowi.
"Padahal, baru kali ini saya lihat ada seseorang yang punya social trust begitu tinggi. Jokowi ini tidak bodoh, dia tidak umbar janji. Tapi, dia menyadarkan masyarakat untuk berdiri di belakangnya," ucap Hamdi. Dia pun melihat Jokowi mampu menggerakkan masyarakat untuk terlibat melakukan perubahan. Tanah Abang, sebut dia, adalah contoh yang dia sebut sebagai contoh kemampuan Jokowi melakukan perubahan dengan melibatkan masyarakat.
Hamdi memuji sosok Jokowi telah mengembalikan prinsip politik kepada hakikatnya, di tengah situasi politik yang kini sudah kental dianggap semata sebagai kongkalikong elite politik. Namun, senada dengan Budiarto, Hamdi juga berpendapat setiap gelagat "bubble Jokowi" harus diwaspadai.
Bila Jokowi maju menjadi calon presiden, Hamdi berkeyakinan tak akan ada yang bisa menjegalnya. Hanya satu hal, sebut dia, yang bisa menjatuhkan Jokowi. "(Yakni) kinerja Jokowi di Ibu Kota," sebut dia.
Sementara tantangan terberat Jokowi di Jakarta adalah masalah transportasi massal. "Kalau dia tidak di-backup, maka kerjaan politik dan kerjaan publik Jokowi ini yang akan bubbling nantinya," tegas Hamdi. Apalagi bila Jokowi sampai terjebak mengumbar janji, imbuh dia, kemerosotan popularitas dan elektabilitas dipastikan akan segera terjadi.
"Dia harus benar-benar punya kecakapan atau skill memimpin, dan juga kecakapan manajerial. Jokowi juga harus menjaga integritas moralnya dengan tetap menjaga sebagai sosok yang bersih. Jika semuanya dipegang, ini akan jadi modalitas Jokowi pada 2014. Jika tidak, maka yang terjadi sebaliknya karena masyarakat punya ekspektasi besar terhadap kinerja Jokowi," papar Hamdi.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar