Di tengah sentimen positif publik terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) muncul kabar baru
yang bagi sementara orang mungkin saja cukup mengejutkan.
Jokowi disebutkan sudah bertemu dengan SBY dalam beberapa kesempatan.
Pertemuan yang digelar di Cikeas itu bukan pertemuan biasa, atau sekedar
untuk makan-makan. Pertemuan itu bagian dari upaya dalam menghadapi
Pemilu 2014.
Jembatan pertemuan ini, disebutkan, adalah Soekarwo.
Soekarwo mewakili "garis merah" di tubuh Demokrat. Soekarwo, yang kini
menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), masih dipandang di sementara orang PDI Perjuangan.
Maka tak heran, bila Gubernur Jawa Timur yang juga anggota Dewan Pembina
Demokrat itu menjadi penghubung antara SBY dan Jokowi.
Tentu
saja, ini bukan pertemuan antara PDI Perjuangan dengan Demokrat. Tapi
bisa dikatakan pertemuan antara Jokowi dengan Demokrat. Jokowi bertemu
secara personal dengan SBY, yang merupakan Ketua Umum Demokrat, Ketua
Dewan Pembina Demokrat, Ketua Dewan Kehormatan Demokrat dan juga Ketua
Majelis Tinggi Demokrat.
Citra Jokowi yang sedang naik daun
menjadi sumbu dari komunikasi dalam pertamuan itu. SBY, yang tahu persis
Demokrat sedang benar-benar terpuruk, mau menggunakan Jokowi untuk
menaikkan citranya. Bila proses lancar, Jokowi akan diusung menjadi
calon presiden dari Demokrat.
Bagaimana dengan konvensi Demokrat?
Dalam AD/ART Demokrat disebutkan bahwa pihak yang berwenang menentukan
calon presiden adalah Majelis Tinggi. Cara menjaring capres itu bisa
memakai mekenisme apa saja, termasuk konvensi ataupun berbasis hasil
survei. Namun yang jelas, otoritas ada di tangan SBY.
Artinya, bila pun Jokowi tidak memungkinkan ikut konvensi, ada banyak dasar dan argumen yang bisa dirasionalisasikan. Toh,
beberapa waktu lalu, salah satu dasar mengapa Anas Urbaningrum diminta
mundur dari kursi ketua umum oleh sementara elit Demokrat seperti Syarif
Hasan, Jero Wacik dan Amir Syamsuddin, juga karena alasan elektoral.
Dan hingga kini banyak yang percaya bahwa ketiga elit ini didorong oleh
SBY untuk bicara demikian.
Dengan alasan yang sama, bila Jokowi
mau maju jadi Capres Demokrat, maka konvensi bisa dibatalkan, atau tetap
dilakukan dengan menggunakan silent operation. Hal utama bagi
Demokrat adalah menaikkan citra, dan itu harus dilakukan dan ditempuh
dengan berbagai cara. Cara saat ini yang paling relevan, adalah
mengusung Jokowi jadi capres.
Apakah Jokowi kira-kira akan menerima tawaran itu?
Hal
ini dianggap cukup membebani psikologis Jokowi. Di satu sisi, ini
momentum yang baik untuk menaiki tangga politik yang lebih tinggi, di
tengah ketidakpastian PDI Perjuangan. Apalagi berdasarkan survei,
dukungan kepada Jokowi bukan hanya datang dari kader PDI Perjuangan.
Artinya, elektabilitas Jokowi jauh menggungguli elektabilitas PDI
Perjuangan
Namun bagaimanapun Jokowi masih ewuh pakewuh
dengan Megawati Soekarnoputri. Harus diakui, ia tampil menjadi calon
gubernur Jakarta saat itu karena sokongan dari Megawati, di tengah
situasi politik PDI Perjuangan saat itu yang belum stabil. Misalnya ada
faksi di tubuh PDI Perjuangan, yang disebutkan sebagai faksi almarhum
Taufiq Kiemas, yang menghendaki agar PDI Perjuangan mengusung Fauzi Bowo
berpasangan dengan Adang Ruchiatna.
Ada yang percaya, Jokowi
tidak akan meninggalkan PDI Perjuangan, sebagaimana ada yang percaya
bahwa PDI Perjuangan juga tidak akan membiarkan Jokowi dimanfaatkan oleh
partai lain, terutama oleh Demokrat. Maka disebutkan situasi kebathinan
di PDI Perjuangan juga mulai mengarah untuk mengusung Jokowi sebagai
capres. Banyak politisi PDI Perjuangan yang menghendaki, atau berharap,
atau juga sudah yakin, Megawati akhirnya akan mengajukan Jokowi sebagai
capres.
Selain karena diyakini akan mudah meraih kekuasaan,
langkah PDI Perjuangan mengusung Jokowi juga dinilai untuk menghindari
sentimen negatif dari publik. Kini, publik sangat merindukan Jokowi dan
siapapun yang meminggirkan dia, baik langsung atau tidak langsung,
justru akan mendapat perlawanan yang kuat.
Kembali ke persoalan
utama. Bila kabar pertemuan antara Jokowi dan SBY ini benar, tentu saja
peta politik semakin cair dan dinamis. Politik, yang bukan ilmu
matematika itu, semakin tidak bisa diprediksi karena persoalan juga
menyangkut dengan situasi politik di Demokrat, situasi politik di PDI
Perjungan, dan juga menyangkut arus persepsi publik.
Hal yang bisa dipastikan, Pemilu dan Pilpres 2014 benar-benar akan menarik dan menegangkan.
Sumber :
rmol.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar