Jumat, 28 Juni 2013

Mungkinkah Jokowi dan Demokrat Bergabung Dalam Pilpres

Di tengah sentimen positif publik terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) muncul kabar baru yang bagi sementara orang mungkin saja cukup mengejutkan.
Jokowi disebutkan sudah bertemu dengan SBY dalam beberapa kesempatan. Pertemuan yang digelar di Cikeas itu bukan pertemuan biasa, atau sekedar untuk makan-makan. Pertemuan itu bagian dari upaya dalam menghadapi Pemilu 2014.
Jembatan pertemuan ini, disebutkan, adalah Soekarwo. Soekarwo mewakili "garis merah" di tubuh Demokrat. Soekarwo, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), masih dipandang di sementara orang PDI Perjuangan. Maka tak heran, bila Gubernur Jawa Timur yang juga anggota Dewan Pembina Demokrat itu menjadi penghubung antara SBY dan Jokowi.
Tentu saja, ini bukan pertemuan antara PDI Perjuangan dengan Demokrat. Tapi bisa dikatakan pertemuan antara Jokowi dengan Demokrat. Jokowi bertemu secara personal dengan SBY, yang merupakan Ketua Umum Demokrat, Ketua Dewan Pembina Demokrat, Ketua Dewan Kehormatan Demokrat dan juga Ketua Majelis Tinggi Demokrat.
Citra Jokowi yang sedang naik daun menjadi sumbu dari komunikasi dalam pertamuan itu. SBY, yang tahu persis Demokrat sedang benar-benar terpuruk, mau menggunakan Jokowi untuk menaikkan citranya. Bila proses lancar, Jokowi akan diusung menjadi calon presiden dari Demokrat.
Bagaimana dengan konvensi Demokrat? Dalam AD/ART Demokrat disebutkan bahwa pihak yang berwenang menentukan calon presiden adalah Majelis Tinggi. Cara menjaring capres itu bisa memakai mekenisme apa saja, termasuk konvensi ataupun berbasis hasil survei. Namun yang jelas, otoritas ada di tangan SBY.
Artinya, bila pun Jokowi tidak memungkinkan ikut konvensi, ada banyak dasar dan argumen yang bisa dirasionalisasikan. Toh, beberapa waktu lalu, salah satu dasar mengapa Anas Urbaningrum diminta mundur dari kursi ketua umum oleh sementara elit Demokrat seperti Syarif Hasan, Jero Wacik dan Amir Syamsuddin, juga karena alasan elektoral. Dan hingga kini banyak yang percaya bahwa ketiga elit ini didorong oleh SBY untuk bicara demikian.
Dengan alasan yang sama, bila Jokowi mau maju jadi Capres Demokrat, maka konvensi bisa dibatalkan, atau tetap dilakukan dengan menggunakan silent operation. Hal utama bagi Demokrat adalah menaikkan citra, dan itu harus dilakukan dan ditempuh dengan berbagai cara. Cara saat ini yang paling relevan, adalah mengusung Jokowi jadi capres.
Apakah Jokowi kira-kira akan menerima tawaran itu?
Hal ini dianggap cukup membebani psikologis Jokowi. Di satu sisi, ini momentum yang baik untuk menaiki tangga politik yang lebih tinggi, di tengah ketidakpastian PDI Perjuangan. Apalagi berdasarkan survei, dukungan kepada Jokowi bukan hanya datang dari kader PDI Perjuangan. Artinya, elektabilitas Jokowi jauh menggungguli elektabilitas PDI Perjuangan
Namun bagaimanapun Jokowi masih ewuh pakewuh dengan Megawati Soekarnoputri. Harus diakui, ia tampil menjadi calon gubernur Jakarta saat itu karena sokongan dari Megawati, di tengah situasi politik PDI Perjuangan saat itu yang belum stabil. Misalnya ada faksi di tubuh PDI Perjuangan, yang disebutkan sebagai faksi almarhum Taufiq Kiemas, yang menghendaki agar PDI Perjuangan mengusung Fauzi Bowo berpasangan dengan Adang Ruchiatna.
Ada yang percaya, Jokowi tidak akan meninggalkan PDI Perjuangan, sebagaimana ada yang percaya bahwa PDI Perjuangan juga tidak akan membiarkan Jokowi dimanfaatkan oleh partai lain, terutama oleh Demokrat. Maka disebutkan situasi kebathinan di PDI Perjuangan juga mulai mengarah untuk mengusung Jokowi sebagai capres. Banyak politisi PDI Perjuangan yang menghendaki, atau berharap, atau juga sudah yakin, Megawati akhirnya akan mengajukan Jokowi sebagai capres.
Selain karena diyakini akan mudah meraih kekuasaan, langkah PDI Perjuangan mengusung Jokowi juga dinilai untuk menghindari sentimen negatif dari publik. Kini, publik sangat merindukan Jokowi dan siapapun yang meminggirkan dia, baik langsung atau tidak langsung, justru akan mendapat perlawanan yang kuat.
Kembali ke persoalan utama. Bila kabar pertemuan antara Jokowi dan SBY ini benar, tentu saja peta politik semakin cair dan dinamis. Politik, yang bukan ilmu matematika itu, semakin tidak bisa diprediksi karena persoalan juga menyangkut dengan situasi politik di Demokrat, situasi politik di PDI Perjungan, dan juga menyangkut arus persepsi publik.
Hal yang bisa dipastikan, Pemilu dan Pilpres 2014 benar-benar akan menarik dan menegangkan.


Sumber :
rmol.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar