Tuhan, ampuni kami. Lantaran kami telah gelap mata dan tak lagi bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, mana yang hak dan mana yang bathil.
Jalan di muka sedemikian bersimpang-simpang, dan pada tiap ujungnya ada papan nama bertuliskan, "jalan kebenaran", "jalan kebajikan", "jalan nurani", dan nama-nama lainnya yang menunjukan pekerti baik.
Dan pada tiap papan nama itu, di bawahnya, seorang orator yang lebih mirip penjual obat mendagangkan kebenaran versi mereka masing-masing.
Maka, di jalan bersimpang-simpang itu, kerumumnan manusia yang semula berkelompok sesuai minatnya, pada tengah hari telah berbaur menjadi lautan manusia yang bingung oleh tawaran-tawaran kebenaran yang membingungkan mereka. Sebentar mereka lari ke kanan, ke kiri, lalu berdesakkan ke depan dan ke belakang.
Seperti itulah kini kami, Tuhanku. Bingung oleh kebenaran yang diperdagangkan. Bahkan di antara mereka ada yang terang-terangan mengatasnamakan Engkau Yang Penyayang, padahal di punggung mereka berselempang pedang dan kelewang serta kebencian.
Ampuni kami Tuhan, karena telah menggantikan engkau dengan tuhan-tuhan baru. Kami kini lebih percaya pada tuhan isu, tuhan kami adalah kata orang banyak, tuhan kami adalah kekuasaan, dan bukan lagi Engkau yang bersemayam di nurani kami.
Dengarlah Tuhanku, betapa isu telah menjadi agama bagi kami. Isu-isu berseliwean, isu-isu berlalulalang di tengah kami, menjadi pelengkap hidup kami dari pagi sampai pagi. Padahal, sebagaimana galibnya isu, sudah tentu belum terbukti kebenarannya. Tapi seperti Engkau tahu, hari-hari kami cuma diisi oleh isu dan gosip serta kebohongan. Ya, ya. Isu adalah kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya.
Isu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, olehnya memungkinkan orang untuk berpendapat secara beragam. Orang sering menyebut isu dengan berbagai macam istilah: kabar angin, desas-desus, dan rumor. Ada pula yang mengatakan isu sama dengan gosip. Padahal penyebutan isu itu sendiri sebenarnya salah kaprah. Kalau mengacu ke bahasa Inggris, isu itu artinya topik atau pokok persoalan, tidak ada sangkut pautnya dengan desas-desus atau selentingan yang mengandung konotasi ketidakpastian.
Isu, gosip, rumor, desas-desus, bagaimana pun kami menyebutnya, jika kita tak bijak menanggapinya, tetaplah menjadi percik api yang bisa membakar amarah dan terjebak pada fitnah.
Bangun tidur, kami langsung sarapan gosip artis. Tengah hari, kami mengisinya dengan bergunjing. Malam hari, kami berselancar di dunia maya sambil menjaring isu-isu panas yang akan kami gandakan di dinding media sosial. Sungguh, atas semua yang kami kerjakan itu, tak setitik pun kami merasa bersalah, apalagi berdosa. Bahkan kami bangga atasnya. Terlebih, jika isu yang kami sebarkan itu mendapat banyak acungan jempol dan komentar.
Kami juga lebih percaya pada kulit dan abai akan substansi. Sehingga sebagian dari kami tetap ngotot membela si tukang sate yang miskin dan papa tanpa peduli dia telah berbuat dzolim terhadap orang lain dengan memampang gambar tak senonoh untuk konsumsi umum.
Kami pernah pula was-was menjelang pelantikan presiden kami. Sebagian dari kami cemas oleh isu yang mengabarkan bahwa pelantikan presiden tak akan berlangsung, sebab akan diboikot oleh Koalisi Merah Putih. Tapi ternyata isu tak benar, bahkan kami bisa bersukacita seusai presiden jokowi resmi dilantik.
Kerap juga kami terpana oleh isu-isu kesalihan beberapa tokoh, sehingga kami memilihnya menjadi pemimpin kami. Tapi di kemudian hari, ternyata kami tertipu. Sebab pemimpin yang kami pilih berdasarkan isu itu, tak lebih sebagai perampok anggaran negara.
Hari ini, kami juga sedang termakan oleh isu kebenaran dua kelompok di DPR. Mereka mengembuskan kabar bahwa masing-masing mengklaim diri mereka benar. Tapi satu hal yang kami tahu, keduanya adalah para pemburu ulung kekuasaan. Kini keduanya sedang gontok-gontokkan menegakkan kekuasan. Kelompok pertama, yang mengaku berpegang pada UU MD3 menyapu bersih kekuasaan di DPR. Tentu saja, kelompok lainnya berang, lantas membikin mosi tak percaya terhadap kekuasaan yang sudah dipegang oleh kelompok pertama yang telah rakus mengangkangi semua kursi pimpinan di parlemen.
Ah... Tuhanku, begitulah... dari waktu ke waktu kami hidup bergelimang isu. Inilah barangkali buah yang harus kami petik akibat para pemimpin kami kerap mengembuskan isu sebelum mengambil keputusan. Tujuannya, tentu saja agar tindakan mereka yang kasar dan rakus bisa terkesan lebih manusiawi.
Masih tersimpan rapi dalam ingatan kami tentang isu kudeta PKI yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan orang dan lengsernya Presiden Soekarno secara memalukan.
Tahun 70an, isu yang merebak juga tak kalah sengitnya dengan masa sebelumnya. Seorang aktivis mahasiswa kala itu yang bernama Rahman Toleng mengatakan, "Ada banyak isu di sana, melawan modal asing, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang kian tajam, isu padat karya , padat modal, ada diskursus pembangunan bangsa Indonesia. Ada isu aspri presiden, yang banyak merecoki kabinet, dan ada isu rivalitas Ali Moertopo dan Soemitro." Puncak dari isu-isu itu adalah peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Isu tentang kesenjangan antara pribumi dan etnis Tionghoa pada bulan November 1980, membakar kota Solo dan sekitarnya. Malapetaka ini menggenapi isu SARA sebelumnya pada 10 Mei 1963 yang menjadi kerusuhan rasialis pertama dan terbesar di kota Bandung. Sentimen anti Tionghoa yang ‘menjangkiti’ sebagian kalangan mahasiswa dan warga Bandung ketika itu dipandang sebagian pihak sebagai manifestasi kejengkelan ‘warga pribumi’ terhadap situasi ekonomi yang ‘morat-marit’ dimasa Demokrasi Terpimpi
Isu dukun santet di tahun 1997 yang menyebabkan banyaknya korban dari kalangan kyai di Jawa Timur, yang berpuncak pada tahun berikutnya pada 1998 yang membakar kota Jakarta akibat isu sosial-politik yang semrawut kala itu.
Isu-isu itu pun kian menemukan bentuknya saat kami hendak memilih pemimpin-pemimpin kami, baik di tingkat desa hingga di tingkat nasional. Isu betebaran di angkasa, lengkap dengan fitnah keji yang mematikan. Kami masih ingat benar, saat Pilpres kemarin, betapa dua calon presiden kami dihajar oleh isu-isu yang mematikan.
Ya, ya... kami menyadari, bahwa isu adalah fenomena yang manusiawi. Itulah sebabnya, isu bisa berhembus di bidang kehidupan apa pun. Politik, ekonomi, atau sosial. Dari yang berskala besar sampai tingkat keluarga. Di tengah fakta yang saling berkaitan dan hubungan timbal balik kehidupan antarmanusia dan antarmasyarakat dalam era globalisasi dan era informasi, isu yang diembuskan di suatu bidang kehidupan pasti membuahkan pengaruh pada bidang kehidupan lainnya.
Kami bersyukur Engkau telah mengirimkan Joko Widodo dan Prabowo kepada kami. Sebab setelah keduanya bersalaman, maka sebenarnya kedua pemimpin itu sedang memperbaiki komunikasi yang sebelumnya macet. Lantaran komunikasi yang macet itulah, lahir isu-isu yang tak bertanggungjawab. Sehingga kami hanya beroleh informasi yang cuma berdasar pada kepentingan, dan tidak berdasarkan kejujuran.
Tapi seperti yang Engkau tahu, rupanya isu belum juga enyah dari kehidupan kami menyangkut kedua pemimpin kami itu. Hmmm.. isu barangkali memang seperti garam yang mengkompleti masakan. Begitulah, hidup pun tak genap jika tak ada isu. Berpikir cerdas dan bijak, barangkali salah satu cara agar kita tak tersesat dan tak termakan oleh isu! [kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar