Sabtu, 11 Oktober 2014

Ini Kenapa Jokowi Anggap Perppu SBY Soal Pilkada Hanya Sandiwara Belaka

Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA), menyimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bermasalah.
“Perppu Pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY itu barmasalah,” ujar Direktur SIGMA Said Salahudin saat berdiskusi dengan para wartawan senior di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10/14).
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan Perppu tersebut dinilai Said bermasalah. Pertama, menurutnya, bahwa penerbitan Perppu tersebut menunjukkan sikap inkonsistensi Presiden. Sebab, Presiden SBY sebetulnya menyatakan persetujuannya terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), baik secara materiil maupun formil.
Persetujuan materiil Presiden ditunjukkan dengan sebelunya tidak ada penolakan SBY terhadap materi UU Pilkada yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
“Saat itu kan, Mendagri Gamawan Fauzi yang ditugasi Presiden SBY menghadiri rapat paripurna dan diberikan kesempatan oleh DPR untuk menyampaikan sikap Presiden. Ternyata, sama sekali tidak menyatakan penolakan Presiden terhadap UU itu,” terangnya.
Ada pun persetujuan formil Presiden terhadap UU Pilkada, lanjut Said, terbukti dengan ditandatanganinya UU a quo oleh Presiden SBY serta diundangkannya UU tersebut oleh pembantu Presiden, yaitu Menkumham Amir Syamsudin.
“Jadi, seandainya Presiden SBY sungguh-sungguh menginginkan Pilkada secara langsung, maka caranya bukan dengan menerbitkan Perppu, melainkan dengan cara menolak pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR. Disinilah sesungguhnya Presiden memiliki hak veto,” jelasnya.
Pakar Pemilu ini menilai jika dalam sidang paripurna DPR yang lalu Presiden melalui Mendagri menggunakan hak vetonya, maka UU Pilkada tidak akan mungkin disahkan. “Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden, tidak bisa hanya disetujui oleh salah satu pihak saja,” tegas Said.
Penolakan Presiden untuk mengesahkan RUU menjadi UU, ini pun juga pernah terjadi dalam rapat paripurna DPR di tahun 2004. Akibat penolakan Presiden itu, RUU tersebut kemudian batal disahkan menjadi UU.
Sedangkan untuk permasalahan yang kedua, menurut Said, motif penerbitan Perppu Pilkada tidak selaras dengan kehendak konstitusi. Sebab, lanjutnya, penerbitan Perppu oleh Presiden SBY lebih didasari karena adanya perbedaan pandangan politik antara Presiden yang menginginkan Pilkada langsung dan DPR yang menginginkan Pilkada melalui DPRD.
“Padahal, perbedaan sikap politik antara eksekutif dan legislatif seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan penerbitan Perppu untuk membatalkan UU,” kritiknya.
Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Said menjelaskan, Perppu hanya diperlukan apabila terdapat keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum) atau UU yang ada dianggap tidak memadai, serta untuk mewujudkan kepastian hukum. Jadi, penerbitan Perppu seharusnya untuk keperluan itu, bukan karena adanya perbedaan pandangan politik.
“Kalau Perppu bisa seenaknya dikeluarkan oleh Presiden untuk membatalkan UU karena adanya perbedaan pandangan politik, maka Presiden dapat dituduh hendak melemahkan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU, sebagaimana bunyi Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan ‘Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang’,” paparnya.
Ia menambahkan, “Jadi, tidak sepantasnya Presiden menggunakan Perppu sebagai alat untuk mengalahkan UU yang pembentukannya menjadi kekuasaan DPR. Dalam koteks ini, kekuasaan DPR harus dimaknai lebih kuat daripada Presiden,” imbuhnya.
Lebih dari itu, motif penerbitan Perppu yang dilandasi adanya perbedaan pandangan politik dapat menjadi preseden buruk. Sebab, menurutnya, presiden-presiden selanjutnya berpeluang mengulangi kembali kebijakan SBY yang mengeluarkan Perppu untuk mengalahkan UU karena pandangan politik Presiden berbeda dengan DPR.
“Pelemahan kekuasaan DPR dalam membentuk UU melalui penerbitan Perppu dan preseden buruk penerbitan Perppu ini pada gilirannya dapat merusak sistem hukum ketatanegaraan kita,” tuturnya, mengingatkan.
Ketiga, menurutnya, penerbitan Perppu Pilkada oleh Presiden justru berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum. Sebab, dalam hal Perppu dimaksud mendapatkan penolakan dari DPR, maka menurut pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perppu itu itu menurut UU PPP harus dituangkan dalam RUU tentang Pencabutan Perppu.
“Permasalahannya, Presiden Jokowi yang nantinya menggantikan Presiden SBY mungkin saja tidak mau memberikan persetujuannya terhadap penetapan RUU tentang pencabutan Perppu Pilkada. Padahal, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden agar bisa ditetapkan menjadi UU,” jelasnya kembali.
“Nah, disinilah muncul potensi ketidakpastian hukum karena tidak mustahil akan terjadi deadlock,” imbuhnya kembali mengingatkan.
Agar permasalahan Perppu Pilkada nantinya tidak menjadi perseteruan politik antara DPR dan Presiden yang bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum penyelenggaraan Pilkada tahun 2015, maka menurut Said, lebih tepat jika Perppu Pilkada tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum dimulainya masa persidangan DPR bulan Januari 2015.
“Sebagai lembaga peradilan, MK sudah barang tentu terbebas dari kepentingan politik. Sehingga dapat diandalkan untuk mencari solusi atas permasalahan Perppu itu,” tutup Said. [lensaindonesia]

1 komentar:

  1. YANG DIHARAPKAN MK BERPIHAK PADA KEDAULATAN RAKYAT, ARTINYA RAKYAT BERDAULAT SECARA LANGSUNG UNTUK MEMILIH PEMIMPIN DAERAHNYA BUKAN DIWAKILI OLEH DPRD. HAL INI MEMPERTIMBANGKAN INTEGRITAS DARI DPR ? ? ? KITA BISA MELIHAT REBUTAN SEPERTI ITU SAAT INGIN MEREBUT KURSI PIMPINAN. SEHARUSNYA MEREKA MALU KARENA KELIHATANNYA SUDAH TIDAK LAGI MENGEDEPANKAN ETIK, YANG TERJADI HANYALAH TRANSAKSI PRAGMATIS. INI SEBENARNYA JUGA DAMPAK DARI DISYAHKANNYA UU MD3 DAN TATIB-NYA.

    BalasHapus