Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA), menyimpulkan bahwa
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pilkada) yang
diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bermasalah.
“Perppu
Pilkada yang dikeluarkan Presiden SBY itu barmasalah,” ujar Direktur
SIGMA Said Salahudin saat berdiskusi dengan para wartawan senior di
bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10/14).
Setidaknya
ada 3 (tiga) alasan Perppu tersebut dinilai Said bermasalah. Pertama,
menurutnya, bahwa penerbitan Perppu tersebut menunjukkan sikap
inkonsistensi Presiden. Sebab, Presiden SBY sebetulnya menyatakan
persetujuannya terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), baik secara
materiil maupun formil.
Persetujuan materiil Presiden ditunjukkan
dengan sebelunya tidak ada penolakan SBY terhadap materi UU Pilkada
yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
“Saat itu kan,
Mendagri Gamawan Fauzi yang ditugasi Presiden SBY menghadiri rapat
paripurna dan diberikan kesempatan oleh DPR untuk menyampaikan sikap
Presiden. Ternyata, sama sekali tidak menyatakan penolakan Presiden
terhadap UU itu,” terangnya.
Ada pun persetujuan formil Presiden
terhadap UU Pilkada, lanjut Said, terbukti dengan ditandatanganinya UU a
quo oleh Presiden SBY serta diundangkannya UU tersebut oleh pembantu
Presiden, yaitu Menkumham Amir Syamsudin.
“Jadi, seandainya
Presiden SBY sungguh-sungguh menginginkan Pilkada secara langsung, maka
caranya bukan dengan menerbitkan Perppu, melainkan dengan cara menolak
pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR.
Disinilah sesungguhnya Presiden memiliki hak veto,” jelasnya.
Pakar
Pemilu ini menilai jika dalam sidang paripurna DPR yang lalu Presiden
melalui Mendagri menggunakan hak vetonya, maka UU Pilkada tidak akan
mungkin disahkan. “Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD
NRI 1945, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan
Presiden, tidak bisa hanya disetujui oleh salah satu pihak saja,” tegas
Said.
Penolakan Presiden untuk mengesahkan RUU menjadi UU, ini
pun juga pernah terjadi dalam rapat paripurna DPR di tahun 2004. Akibat
penolakan Presiden itu, RUU tersebut kemudian batal disahkan menjadi UU.
Sedangkan untuk permasalahan yang kedua, menurut Said, motif
penerbitan Perppu Pilkada tidak selaras dengan kehendak konstitusi.
Sebab, lanjutnya, penerbitan Perppu oleh Presiden SBY lebih didasari
karena adanya perbedaan pandangan politik antara Presiden yang
menginginkan Pilkada langsung dan DPR yang menginginkan Pilkada melalui
DPRD.
“Padahal, perbedaan sikap politik antara eksekutif dan
legislatif seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan penerbitan Perppu
untuk membatalkan UU,” kritiknya.
Merujuk putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, Said menjelaskan, Perppu hanya
diperlukan apabila terdapat keadaan atau kebutuhan mendesak untuk
menyelesaikan masalah hukum secara cepat, terjadi kekosongan hukum
(rechtvacuum) atau UU yang ada dianggap tidak memadai, serta untuk
mewujudkan kepastian hukum. Jadi, penerbitan Perppu seharusnya untuk
keperluan itu, bukan karena adanya perbedaan pandangan politik.
“Kalau
Perppu bisa seenaknya dikeluarkan oleh Presiden untuk membatalkan UU
karena adanya perbedaan pandangan politik, maka Presiden dapat dituduh
hendak melemahkan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU,
sebagaimana bunyi Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan ‘Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang’,”
paparnya.
Ia menambahkan, “Jadi, tidak sepantasnya Presiden
menggunakan Perppu sebagai alat untuk mengalahkan UU yang pembentukannya
menjadi kekuasaan DPR. Dalam koteks ini, kekuasaan DPR harus dimaknai
lebih kuat daripada Presiden,” imbuhnya.
Lebih dari itu, motif
penerbitan Perppu yang dilandasi adanya perbedaan pandangan politik
dapat menjadi preseden buruk. Sebab, menurutnya, presiden-presiden
selanjutnya berpeluang mengulangi kembali kebijakan SBY yang
mengeluarkan Perppu untuk mengalahkan UU karena pandangan politik
Presiden berbeda dengan DPR.
“Pelemahan kekuasaan DPR dalam
membentuk UU melalui penerbitan Perppu dan preseden buruk penerbitan
Perppu ini pada gilirannya dapat merusak sistem hukum ketatanegaraan
kita,” tuturnya, mengingatkan.
Ketiga, menurutnya, penerbitan
Perppu Pilkada oleh Presiden justru berpotensi menciptakan
ketidakpastian hukum. Sebab, dalam hal Perppu dimaksud mendapatkan
penolakan dari DPR, maka menurut pasal 52 ayat (6) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP),
Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan
Perppu itu itu menurut UU PPP harus dituangkan dalam RUU tentang
Pencabutan Perppu.
“Permasalahannya, Presiden Jokowi yang nantinya
menggantikan Presiden SBY mungkin saja tidak mau memberikan
persetujuannya terhadap penetapan RUU tentang pencabutan Perppu Pilkada.
Padahal, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden
agar bisa ditetapkan menjadi UU,” jelasnya kembali.
“Nah, disinilah muncul potensi ketidakpastian hukum karena tidak mustahil akan terjadi deadlock,” imbuhnya kembali mengingatkan.
Agar
permasalahan Perppu Pilkada nantinya tidak menjadi perseteruan politik
antara DPR dan Presiden yang bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum
penyelenggaraan Pilkada tahun 2015, maka menurut Said, lebih tepat jika
Perppu Pilkada tersebut diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah
Konstitusi (MK) sebelum dimulainya masa persidangan DPR bulan Januari
2015.
“Sebagai lembaga peradilan, MK sudah barang tentu terbebas
dari kepentingan politik. Sehingga dapat diandalkan untuk mencari solusi
atas permasalahan Perppu itu,” tutup Said. [lensaindonesia]
YANG DIHARAPKAN MK BERPIHAK PADA KEDAULATAN RAKYAT, ARTINYA RAKYAT BERDAULAT SECARA LANGSUNG UNTUK MEMILIH PEMIMPIN DAERAHNYA BUKAN DIWAKILI OLEH DPRD. HAL INI MEMPERTIMBANGKAN INTEGRITAS DARI DPR ? ? ? KITA BISA MELIHAT REBUTAN SEPERTI ITU SAAT INGIN MEREBUT KURSI PIMPINAN. SEHARUSNYA MEREKA MALU KARENA KELIHATANNYA SUDAH TIDAK LAGI MENGEDEPANKAN ETIK, YANG TERJADI HANYALAH TRANSAKSI PRAGMATIS. INI SEBENARNYA JUGA DAMPAK DARI DISYAHKANNYA UU MD3 DAN TATIB-NYA.
BalasHapus