Selasa, 07 Januari 2014

Atasi Persoalan MRT Tanpa Tangan Besi

Pembangunan stasiun Mass Rapid Transportation (MRT) di Lebak Bulus yang sedianya dimulai 7 Januari 2014 hari ini, harus ditunda oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pemprov DKI gagal mengosongkan Terminal Lebak Bulus akibat gelombang penolakan dari massa yang mengatasnamakan awak bus AKAP.
Awak bus didukung pengusaha, pegawai terminal dan pedagang, turun ke jalan menentang kebijakan ini. Padahal, sejak dua tahun silam pemprov sudah menyosialisasikan proyek tersebut. Pemprov juga menawarkan solusi, bus AKAP dialihkan ke tiga terminal yakni Kalideres, Pulogadung dan Kampung Rambutan.
Megaproyek MRT tahap I rute Lebak Bulus-Bundaran HI yang menelan biaya sekitar 20T bertujuan mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Proyek ini dicanangkan Pemprov DKI sejak zaman Gubernur Fauzi Bowo, kini dilanjutkan oleh Jokowi-Ahok. Pengerjaannya sudah dimulai Oktober 2013 di Dukuh Atas. Tahap I jalur sepanjang 15,7 kilometer ditargetkan selesai pada 2018.
Jakarta memang butuh trasportasi massal yang cepat untuk mengimbangi dinamika aktivitas warganya serta mengatasi problema kemacetan yang setiap hari membelenggu ibukota. MRT diharap bisa menjawab permasalahan tersebut. MRT rute Lebak Bulus-Bundaran HI misalnya, satu trip bisa membawa 1.200 penumpang atau setara dengan 200 mobil kecil. Dalam sehari MRT diperkirakan mampu mengangkut 412 ribu penumpang. Jumlah ini.
Tapi tak semua elemen masyarakat setuju dengan program ini. Pihak yang tidak setuju, tentu yang merasa dirugikan. Pengusaha bus khawatir penumpangnya akan anjlok, karyawan terminal dan pedagang takut kehilangan pekerjaan. Selama ini ada 80 perusahaan otobus (PO) baik bus antar kota antar provinsi (AKAP) punya kepentingan di Lebak Bulus.
Proyek MRT seharusnya didukung oleh semua pihak demi kepentingan yang lebih besar. Sebagai kota Metropolitan, Jakarta membutuhkan moda transportasi darat yang cepat dan bisa mengangkut penumpang dalam jumlah besar. Dibanding dengan Singapura yang telah memiliki MRT dengan sistem terpadu, Indonesia jauh tertinggal.
Untuk menuju sistem transportasi seperti itu, proyek MRT harus tetap berjalan. Apalagi proyek ini sumber dananya berasal dari utang pada Japan International Cooperation Agency (JICA) senilai 200 miliar Yen. Konsekuensinya, bila pengerjaan proyek terus tertunda, kerugian yang ditanggung pemprov bukanlah kecil.
Pemprov DKI harus duduk bersama dengan pihak-pihak yang punya kepentingan, guna mencari solusi. Ini tantangan untuk Pemprov DKI. Ketegasan dibutuhkan, namun bukan berarti menggunakan tangan besi. Kalau proyek ini terus molor, denda 800J sehari atau 292M pertahun, menjadi beban yang harus ditanggung. Padahal uang yang harus dibayarkan juga berasal dari rakyat.

Sumber :
Pos Kota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar