Sejak terindikasi menjadi Capres 2014, Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) menjadi sasaran tembak. Sepak terjang di
pemerintahannya menyedot komentar miring. Mulai dari, sebut saja Ruhut
Sitompul, hingga Amien Rais menyatakan Jokowi tak sebaik yang
diberitakan di media massa. Namun, publik tetap membelanya. Serangan
malah berbalik kepada Ruhut dan Amien. Mengapa kondisi tersebut bisa
terjadi?
Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengungkapkan,
serangan pernyataan tersebut tak lepas dari konteks perebutan kekuasaan
pada Pemilu Presiden 2014 mendatang. Semua elite, tokoh, pejabat, dan
lain-lain yang memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam sebuah
kompetisi politik rela menciptakan opini tertentu di masyarakat.
"Tapi nyatanya komentar-komentar mereka itu istilahnya tidak "dibeli" sama publik. Karena apa? ya karena civil society
sudah menjatuhkan pilihan mereka kepada Jokowi. Dia punya bukti kerja
yang konkret daripada yang lain," ujar Siti, Minggu (29/9/2013).
Siti mengatakan, dalam kompetisi politik, elite dan tokoh di Indonesia dianggap masih learning by doing
dalam mencari isu atau wacana untuk jadi bahan pertarungan. Sayangnya,
terkadang isi pernyataan para elite tersebut tak substantif. Kerap kali,
sensasi lebih diutamakan daripada isi, sambil berharap komentarnya
mendikte publik.
Contohnya, lanjut Siti, ya seperti yang keluar
dari mulut Ruhut Sitompul dan Amien Rais. Ruhut menuding Jokowi tak
lebih baik dari pemimpin Jakarta sebelumnya, atas dasar Ibu Kota masih
macet dan banjir. Amien menyamakan Jokowi dengan bintang film yang jadi
Presiden Filipina, Joseph Estrada. Jokowi dianggap dipilih menjadi
Gubernur DKI Jakarta hanya karena popularitas.
Lantas, apa yang
terjadi? Koran, televisi, media elektronik, bukannya menayangkan
kebutuhan publik, malah terpaksa memunculkan wacana murahan, debat
saling menjatuhkan secara personal. Tentu kondisi tersebut, kata dia,
tidak memberikan pendidikan demokrasi yang baik bagi masyarakat.
"Harusnya,
kompetisi politik itu mengarah pada konsolidasi demokrasi yang baik
antara tokoh. Namun, yang terjadi malah pembelokan konsolidasi itu.
Semua statement terdistorsi," ujarnya.
Kendati demikian, sebagian besar masyarakat, seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya, telah menjatuhkan pilihan. Kekuatan civil society
tampaknya sudah terbentuk. Survei soal Jokowi selalu memuncaki tokoh
dan elite lain adalah bukti, dominasi masyarakat sebenarnya telah
memilih.
Apa akibatnya? Komentar-komentar miring yang selalu
berseliweran jelang perebutan kekuasaan tidak dapat lagi mendikte opini
publik yang sebagian besar telah menjatuhkan pilihan kepada Jokowi.
Malah "peluru tembak" kembali kepada sang tuan.
"Tiap masa, ada
pemimpinnya. Pemimpin santun sudah lewat masanya. Sekarang itu pemimpin
yang komunikatif, yang bersahaja, yang auranya mampu meyakinkan publik
bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok mereka dapat diakomodasi, dapat dipenuhi
dan dapat diusahakan," ujarnya.
Jika sudah demikian, ucap Siti,
peristiwa saweran terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS bukan
mustahil terjadi di Indonesia. Rakyat rela merogoh kantongnya untuk
"membeli" pemimpin yang menang dalam kompetisi politik. Tak perlu lagi
cukong-cukong berjudi menginventasikan uang mereka dalam bursa calon
pemimpin.
"Ini juga mengubah wajah politik Indonesia, yang
tadinya terkesan korup, mahal, dan penuh atas transaksi menjadi
sederhana saja karena publik sudah melihat kompetisi yang benar," jelas
Siti.
Namun, Siti sangat menyayangkan, tidak banyak tokoh yang
mampu memenangkan hati rakyat melalui kompetisi politik yang baik. Dia
berharap learning by doing demokrasi para elite Indonesia dapat menciptakan Jokowi-Jokowi lain. Tentu, dengan pengawasan yang ketat dari seluruh stakeholder pemerintahan di Indonesia.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar