Tren nilai tukar rupiah masih terus melemah, Selasa (16/12/2014). Faktor dinamika perekonomian global disebut bukan alasan tunggal ataupun yang terkuat.
"Anjloknya (nilai tukar) rupiah juga disebabkan rendahnya confidence terhadap macroeconomic management pemerintahan Jokowi (Presiden Joko Widodo, red)," papar ekonom dari Sustainable Development Indonesia Dradjad Hari Wibowo, Selasa (16/12/2014).
Dradjad tidak menampik penghentian stimulus (quantitative easing) The Fed memang membuat pasar berkeyakinan bahwa suku bunga di Amerika akan naik, dollar AS bakal berbalik ke negeri asalnya, dan yang karenanya terjadi penguatan kurs dollar AS.
Namun, bila faktor Amerika dan dinamika ekonomi global ini merupakan penyebab utama, Dradjad menyodorkan India terbukti tak terimbas sebesar Indonesia, meski sama-sama berada di kawasan negara berkembang.
"India sekarang menikmati confidence yang cukup tinggi sehingga rupee relatif stabil terhadap dollar AS meski mata uang lain melemah. Ini karena masuknya banyak modal baru ke India," tutur Dradjad.
Bukan seketika
Kepercayaan pelaku pasar kepada Indonesia, kata Dradjad, memang tidak merosot drastis. "Tapi melemah," sebut dia.
Pemicu dari pelemahan kepercayaan pasar itu, papar Dradjad, adalah inflasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak yang ternyata melampaui ekspektasi.
Menurut Dradjad, pasar juga tak yakin akan ada perbaikan signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia, setelah kenaikan harga bahan bakar ini.
"Indonesia terlalu tergantung pada ekspor komoditas, sementara harga komoditas ikut anjlok sejalan merosotnya harga minyak," urai Dradjad soal ketidakyakinan atas neraca perdagangan itu.
Dradjad juga menganalisa, kemampuan pemerintah untuk menggenjot pajak dan membiayai pembangunan pun disangsikan, seiring anjloknya harga komoditas yang jadi andalan pendapatan dari perdagangan itu.
"Intinya, pemerintah harus bisa meyakinkan pasar bahwa pemerintah punya strategi untuk mengompensasi dampak anjloknya harga komoditas (bagi neraca perdagangan Indonesia)," tegas Dradjad.
Sebelumnya, ekonom Raden Pardede mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah merupakan imbas dari arah perekonomian global yang berbalik ke Amerika setelah penghentian kucuran stimulus The Fed.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil pun menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah semata akibat dollar yang "pulang kampung" karena ekspektasi perbaikan perekonomian Amerika. Argumentasinya, pelemahan kurs tak hanya dialami rupiah.
Bom Mengunjang Lantai Bursa
Aksi jual bank kakap menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kehilangan 94,5 poin sampai siang ini. IHSG ditutup sementara turun 1,85% menjadi 5.013,93 pukul 12:00 WIB.
Berikut saham big caps yang menyeret bursa turun:
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI)
BBRI yang ditutup sementara turun 3,06% menjadi Rp 11.100 per saham, menyeret bursa dengan penurunan 9,13 poin.
Broker
yang paling banyak melepas saham BBRI antara lain Deutsche Securities
Indonesia yang menjual Rp 74,59 miliar, CLSA Indonesia sebesar Rp 55,92
miliar dan UBS Securities Indonesia sebesar Rp 52,79 miliar.
PT Bank Mandiri Tbk (BMRI)
BMRI
yang dilanda aksi jual 2,14% menjadi Rp 10.300 per saham, menyeret
bursa dengan penurunan 5,55 poin. Saham Bank Mandiri paling banyak
dijual lewat Morgan Stanley Indonesia senilai Rp 40,99 miliar, Credit
Suisse Securities Indonesia Rp 29,82 miliar, dan CLSA Indonesia senilai
Rp 28,67 miliar.
PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM)
TLKM
sampai siang ini turun 1,62% menjadi Rp 2.740 per saham. Penurunan
saham Telkom sebesar 4,8 poin turut memperberat langkah IHSG di sesi
pertama. Saham Telkom paling banyak dijual lewat broker Mandiri
Sekuritas sebesar Rp 22,76 miliar, CLSA Indonesia Rp 21,47 miliar, dan
UBS Securities Indonesia senilai Rp 14,76 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar