Bulan ini, tepat setahun duet Jokowi-Ahok, memimpin
ibu kota. Sejak resmi menjabat, tepatnya 15 Oktober 2013, tak ada masa
bulan madu bagi mereka, karena setumpuk pekerjaan sudah menanti. Jokowi
dengan gaya blusukannya, dan Ahok dengan gayanya yang tegas, langsung
tancap gas membenahi sejumlah persoalan di ibu kota.
Banyak pihak
menaruh harapan Jakarta bisa sukses dipimpin keduanya, sebagaimana
slogan dalam kampanyenya kala itu, Jakarta Baru. Namun, tidak sedikit
juga yang meragukan keduanya bisa sukses memimpin di tengah kerasnya ibu
kota. Maklum keduanya merupakan orang baru di birokrasi Pemprov DKI.
Meski bekal keduanya dibilang lebih dari cukup. Jokowi sebelum dilantik
jadi gubernur, merupakan Walikota Surakarta. Sedangkan Ahok, sebelum menjadi anggota DPR, adalah Bupati Belitung Timur.
Namun,
semua keraguan itu perlahan mulai dijawab Jokowi-Ahok. Sejumlah
persoalan yang sebelumnya mustahil bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta,
ternyata sukses di tangan Jokowi-Ahok. Kemajuan yang sangat cepat ini seperti terjadi di negeri dongeng saja.
Kondisi Waduk Pluit yang
dangkal dengan deretan rumah kumuh, berhasil disulap Pemprov DKI tidak
hanya menjadi tempat tampungan air yang memadai, tapi kini juga sudah
seperti tempat wisata yang kini dijadikan warga untuk interaksi sosial.
Padahal, di lokasi Waduk Pluit, Penjaringan, dulu banyak penghuni rumah
liar yang menolak ditertibkan. Namun, berkat pendekatan persuasif
Jokowi, Pemprov DKI bisa menormalisasi waduk tanpa perlu ada pertumpahan
darah.
Begitu pun Blok G Tanah Abang, yang dulu sepi tak
terurus, kini menjadi tempat penampungan pedagang kaki lima (PKL) yang
nyaman. Akses sekitar kawasan Tanah Abang, yang biasa macet karena
keberadaan PKL, kini menjadi lebih bersih dan tertib. Keberhasilan
menata PKL di Tanah Abang, juga coba diwujudkan Jokowi di kawasan Pasar
Minggu, Jakarta Selatan, dan Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Apresiasi
atas kerja keras, Jokowi-Ahok pun berdatangan. Tidak hanya dari warga
Jakarta, tapi juga dari kalangan akademisi. Bahkan, Duta Besar Amerika
Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, mengaku kagum dengan cara Jokowi
menyampaikan sosialisasi kepada warga secara langsung. Cara Jokowi
menurutnya bisa menjadi contoh untuk diaplikasikan di negaranya.
Pengamat
perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Yoga mengatakan, satu tahun
masa kepemimpinan Jokowi-Ahok ia memberikan nilai 6,5-7 atau cukup. Ia
melihat plus minus dalam duet kepemimpinan tersebut. Tapi,
Jokowi-Ahok tidak boleh berpuas diri, karena menurutnya masih banyak
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
"Dalam kepemimpinan Jokowi-Ahok ada plus minus yang menjadi catatan," kata Nirwono, beberapa waktu lalu.
Ia
menyebutkan untuk kelebihannya yakni pertama untuk penataan PKL yang
dianggap cukup sukses, seperti di Pasar Tanah Abang, Pasar Minggu, Pasar
Jatinegara, dan Pasar Gembrong. Terlebih Jokowi juga memberikan tempat
bagi PKL untuk mengembangkan usahanya dengan menggelar Kaki Lima Night
Market setiap Sabtu malam.
Ia juga memberi poin Jokowi yang
sukses menata PKL Tanah Abang. Semua keraguan berbagai pihak, ternyata
dapat terjawab hanya dalam waktu sekitar satu bulan. Kini PKL yang biasa
berdagang di badan jalan mau direlokasi ke Pasar Blok G Tanah Abang.
"Yang menjadi tugas ke depan yakni bagaimana meyakinkan para pedagang
agar tidak kembali berjualan di badan jalan," ucapnya.
Namun
menurut Nirwono, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan pendataan jumlah
PKL. Agar DKI memiliki peta sebaran PKL dalam melakukan penataan dan
pembenahan secara tuntas. Sehingga energi yang dikeluarkan tidak habis
karena PKL baru akan terus muncul.
Ia juga mengapresiasi Jokowi
yang telah berhasil merelokasi warga Waduk Pluit, Jakarta Utara, ke
Rusunawa Marunda. Sehingga normalisasi waduk dapat dilakukan. Bahkan hal
tersebut tidak hanya dilakukan di Waduk Pluit saja melainkan di
beberapa waduk lainnya, seperti Waduk Ria Rio dan Waduk Tomang, yang
hingga saat ini masih terus berjalan normalisasinya.
"Upaya
penanganan banjir seperti di Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan beberapa
lainnya perlu diapresiasi juga. Tapi ini baru tahap awal pembenahan
belum bisa dikatakan selesai. Masih ada lahan yang belum digarap di sisi
Timur waduk. Pemprov DKI juga harus menyiapkan rusunawa untuk relokasi
warga. Pengadaan rusunawa harus sejalan dengan kecepatan relokasi,"
tegasnya.
Tetapi secara umum, katanya, penanganan banjir di
Jakarta belum terlihat jelas. Karena untuk penanganan banjir baru
dilakukan pengerukan terhadap tiga waduk saja. Padahal di Jakarta ada 42
waduk dan 14 situ yang kondisinya sudah dangkal. Selain itu, pengerukan
13 sungai yang direncanakan belum juga terealisasikan. Meski pengerukan
kewenangannya ada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum, namun Pemprov
DKI Jakarta juga berperan dalam pembebasan lahan dan relokasi warga.
Kemudian dari sisi transportasi, Nirwono menganggap, kebijakan untuk meneruskan pembangunan Mass Rapid Transit
(MRT) dan monorel, juga patut diapresiasi. Walaupun saat ini belum bisa
dinikmati hasil dari kebijakan tersebut. Tapi paling tidak dalam waktu
dekat Jakarta akan memiliki angkutan massal berbasis rel.
Ia
melihat secara umum, penanganan kemacetan di ibu kota juga belum terlalu
signifikan. Terlebih janji hibah 1.000 bus hingga kini belum
teralisasi. Kemudian kebijakan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil
genap dan electronic road pricing (ERP) juga belum dilaksanakan.
"Proses
hibah 1.000 bus dan sistem ganjil genap belum jelas. Jokowi-Ahok
masih mencari cara mengatasi kemacetan di Jakarta. Persoalan mendasar
kemacetan dan banjir secara umum belum bisa diselesaikan dan belum
terlihat signifikan. Mengatasi macet dan banjir tidak sulit, yang
penting fokus," sarannya.
Ia juga menyoroti masalah reformasi
birokrasi di Pemprov DKI Jakarta. Seleksi dan promosi jabatan terbuka
atau lelang jabatan untuk camat dan lurah merupakan terobosan yang
sangat baik, karena ada fit and proper test untuk mengetahui kemampuan seorang pejabat. Namun, hasil dari lelang jabatan tersebut masih belum terlihat secara jelas.
Kendati
demikian, ia juga mengkritik terkait dengan masih kosongnya beberapa
jabatan strategis. Jabatan-jabatan tersebut yakni Sekretaris Daerah
(Sekda), Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda),
Asisten Pemerintahan, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Kepala
Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perdagangan (KUMKMP),
serta Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
"Sekarang
justru posisi strategis yang masih kosong. Sekda sudah hampir enam
bulan ini kosong, padahal itu adalah posisi orang ketiga di Jakarta.
Kemudian kepala Bappeda, yang sebentar lagi akan menganggarkan APBD
2014. Sepertinya Pak Jokowi masih kesulitan mencari orang-orang yang
tepat atau sesuai. Tapi jabatan tersebut harus segera diisi, Pak Jokowi
harus mempercayakan kepada bawahannya," kata Nirwono.
Sementara
itu, terkait anggaran Nirwono menilai penyerapaan tahun ini merupakan
terburuk sejak 30 tahun terakhir. Hal tersebut terjadi karena pada
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sangat berhati-hati dalam
penggunaan anggaran. Saat ini menurut Nirwono ada 10 dinas yang
penyerapan anggarannya di bawah 10 persen. Padahal, idealnya pada
kuartal ketiga penyerapan anggaran harusnya sudah mencapai 50 persen.
Dengan rendahnya penyerapan ini, Nirwono menilai, SKPD tidak bisa
mengimbangi kinerja dari Jokowi-Ahok.
Jokowi mengakui, saat ini masih banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan. Untuk mengatasi kemacetan, ia setuju angkutan massal
berbasis rel seperti MRT dan monorel harus selesai terlebih dahulu. "MRT
harus jalan, monorail harus jalan. Normalisasi sungai dan waduk harus
jalan dan masih panjang," kata Jokowi.
Sementara itu, untuk
menangani banjir, Jokowi bercermin dari kota Rotterdam yang baru bisa
menyelesaikan banjir dalam waktu 200 tahun. Sehingga dirinya meminta
waktu agar dapat menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Terlebih
dirinya baru hampir satu tahun memimpin Jakarta. "Kemarin saya tanya ke
Walikota Rotterdam, berapa lama mereka menyelesaikan banjir dan air? 200
tahun. Belanda butuh 200 tahun. Masak saya baru setahun dikejar-kejar
terus," ujarnya.
Untuk itu, Jokowi meminta bantuan warga Jakarta
untuk dapat menyelesaikan masalah di ibu kota. Sebab menurutnya, semua
permasalahan tidak bisa jika hanya dilimpahkan kepada Pemprov DKI,
gubernur maupun wakil gubernur saja.
"Sekali lagi dibersihkan
seperti apapun kalau masyarakat tidak ikut memelihara, sampai kapan pun
akan seperti itu. Pembangunan jangan tergantung dengan gubernur dan
wakil gubernur. Jangan tergantung pada pemprov. Peran yang paling besar
ada di masyarakat, tapi kalau tidak ikut, tidak memelihara, tidak
merawat, maka akan percuma," tandasnya.
Sumber :
beritajakarta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar