Setahun genap Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memimpin Jakarta. Selama kurun waktu itu, persoalan terus mendera Jakarta. Ada yang bisa tertangani dengan baik, ada yang masih dalam proses penanganan, tetapi ada juga yang masih terseok-seok, seperti transportasi publik dan kemacetan.
Dua hal ini masih tetap menjadi persoalan laten yang belum menemukan solusi permanen. Bagaimana mereka mengatasi semua persoalan itu? Ikuti wawancara antara Jokowi dan Tim Kompas pada pekan kedua Oktober.
Bagaimana Anda menilai perjalanan selama satu tahun ini?
Saya fokus pada kebutuhan dasar warga Jakarta, yaitu pendidikan dan kesehatan (sambil menunjukkan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar.) Kami sedang membangun sistemnya. Warga yang pegang kartu ini akan aman. Kartu Jakarta Sehat (KJS) telah dibagikan kepada 2,2 juta orang dari target 4,7 juta orang.
Kalau saya ke kampung-kampung, sudah tidak ada lagi yang mengeluh soal kesehatan. Dulu setiap hari ada 7-15 orang datang sambil menangis soal masalah pelayanan kesehatan. Sistem ini sudah berjalan meskipun harus diakui masih ada yang perlu dibenahi, seperti pembayaran klaim rumah sakit. Persoalan itu harus bisa diselesaikan karena uangnya ada.
Kemudian soal pendidikan. Biaya pendidikan bukan cuma SPP. Banyak warga yang tidak mampu membayar biaya komponen lain, seperti seragam, buku, sepatu. Kartu Jakarta Pintar (KJP) sudah dibagikan kepada 381.000 siswa. Besarnya untuk SMA Rp 240.000 per bulan, SMP Rp 180.000, dan SD Rp 120.000. Manajemen kontrol ada dan pengawasannya mudah.
Efektifkah sistem itu?
Saya kira untuk ukuran satu tahun kerja sudah lumayan efektif. Ketika saya turun ke bawah, keluhan masyarakat sudah berkurang. Sekarang masyarakat yang harus aktif, butuh kartu ini atau tidak. Peluang untuk bocor kecil karena sistemnya menyeleksi secara alami pemegang kartu. Sistem itu hanya memberikan pelayanan kepada pemegang kartu fasilitas kelas tiga dan daftarnya di puskesmas. Apa ada orang kaya mau? Ya, kalau ada satu-dua yang mau, jangan dianggap semua mau melakukan itu, atau program ini dinilai gagal dan salah sasaran.
Apakah jumlahnya akan ditambah?
Untuk KJP mungkin perlu ditambah anggarannya. Tetapi, kalau untuk KJS, saya justru ingin berkurang karena itu artinya kualitas hidup makin baik. Kalau jumlahnya terus bertambah, artinya yang miskin juga nambah dong.
Bagaimana dengan kebijakan transportasi publik untuk mengatasi kemacetan Jakarta yang kian parah?
Butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan kemacetan. Monorel dan mass rapid transit (MRT) belum ada. Bus transjakarta belum komplet. Kalau yang naik mobil pribadi disuruh pindah ke angkutan umum, mau naik apa mereka?
Tetapi, memang harus mulai disiapkan sehingga kami kejar pembangunan monorel dan MRT. Monorel baru akan selesai tiga tahun lagi, MRT enam tahun lagi. Ya, memang harus menunggu. Kenapa tidak 15 tahun lalu diputuskan sehingga sekarang sudah ada? Pajak parkir tinggi juga belum diberlakukan. Saat bus baru datang November atau Desember, baru akan diberlakukan ERP (jalan berbayar elektronik) di sejumlah ruas jalan. Itu pun belum menyeluruh. Semua harus pakai kalkulasi. Kami berani saja, tetapi warga mau naik apa?
Apa kabar revitalisasi angkutan umum reguler?
Revitalisasi angkutan umum berjalan. Akhir tahun ini, di samping armada baru bus transjakarta, akan datang juga sekitar 300 unit armada bus yang akan menggantikan armada bus sedang seperti metromini, kopaja, dan lainnya yang bobrok. Tahun 2014 nanti wajah baru angkutan kota Jakarta akan mulai terlihat.
Tetapi, saya sadar, tanpa ada perubahan manajemen angkutan umum, selama kepemilikan armada masih perorangan, kualitas sopir rendah, dan banyak masalah lain, angkutan reguler susah baik. Untuk itu, akan ada rumah manajemen yang sedang kita siapkan.
Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) akan kita beli dan jadi rumah bersama angkutan umum reguler. Sebagai pul pengontrol kualitas standar armada, sopir, dan hal-hal lain terkait dengan pelayanan angkutan umum yang profesional.
Apa hambatan untuk merealisasikan revitalisasi angkutan umum reguler?
Kita sulit membeli bus dalam jumlah besar. Dari rencana pembelian 1.000 unit bus sedang, baru sekitar 300 unit yang bisa dipenuhi produsen dalam negeri ataupun luar negeri. Kondisi yang sama menimpa upaya penambahan dan perbaikan unit bus transjakarta.
Di sisi lain, anggaran yang diajukan pemerintah tidak semua diloloskan (DPRD). Belum lagi mekanisme birokrasi yang belum mendukung sepenuhnya, seperti rangkaian proses lelang yang panjang dan lainnya.
Namun, tahun depan (2014) akan ada sejumlah terobosan untuk mengatasi hambatan itu. Targetnya, dalam dua tahun ke depan (2015), pengadaan 6.000 unit bus sedang baru untuk angkutan umum reguler dan 1.800 unit bus transjakarta baru sudah melaju di jalanan melayani masyarakat. Jumlah itu menambah unit eksisting yang masih layak beroperasi.
Bagaimana dengan penanganan banjir?
Kita terus berupaya mengatasinya meski tidak semua langkah ada dalam kewenangan gubernur. Normalisasi 13 sungai besar, misalnya, kewenangannya ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan anggarannya juga dari APBN. Jakarta hanya kebagian sungai kecil dan selokan.
Namun, normalisasi itu kini sudah dimulai di empat sungai, Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Masalahnya, ada ganjalan nonteknis seperti pembebasan lahan karena di kanan kiri sungai adalah hunian. Bayangkan jika ada 34.000 keluarga di Ciliwung, berapa banyak rumah susun harus disiapkan untuk merumahkan warga kembali. Kita belum siap untuk memindahkan mereka.
Semua persoalan banjir ditumpuk-tumpuk dan sekarang minta untuk diselesaikan semua dalam waktu cepat. Tuntutan itu jelas tidak mungkin. Jadi, banjir Jakarta ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Jakarta, tetapi harus melibatkan daerah lain. Masalahnya, apakah daerah lain mau anggaran mereka digunakan untuk mengatasi banjir di Provinsi DKI Jakarta?
Ini persoalan besar yang sampai saat ini belum ketemu solusi permanennya. Pemerintah pusat yang seharusnya menjadi driver karena banyak hal di luar kewenangan Pemprov DKI.
Bagaimana dengan kerja sama Bopunjur selama ini?
Tanyakan saja kepada yang punya kewenangan. Menurut saya, jangan sampai (penanganan banjir) hanya rutinitas. Harus fokus apa targetnya setiap tahun. Dari pertemuan dengan Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat, semua siap bekerja sama dengan DKI. Akan tetapi, sekali lagi, apakah mungkin anggaran provinsi mereka digunakan untuk menyelesaikan masalah Jakarta. Seharusnya ada anggaran khusus dari APBN.
Berarti keputusan tertinggi ada di tangan Presiden?
Kalau saya lihat, iya. Tetapi, kalau yang dibahas hanya hal-hal rutin saja, pasti Jakarta akan tetap banjir. Kalau penanganannya fokus, saya kira, baru Jakarta bisa bebas banjir. Kalau dana hibah hanya Rp 5 miliar-Rp 6 miliar, buat apa.
Harusnya anggaran (penanganan banjir) triliunan. Pengerukan kali yang dilakukan sekarang hanya bisa mengurangi beberapa persen banjir. Termasuk soal kendala pengadaan alat berat untuk pengerukan karena panjangnya prosedur yang harus dilalui. Negara ini terlalu banyak prosedur, tetapi akhirnya tetap saja bisa dilompati.
Kenapa tidak dari dulu dilakukan?
Tidak diajak oleh pusat. Kalau tidak diajak, apa ya saya harus minta-minta? Jadi, DKI memang terkunci di wilayah kecil-kecil saja. Kalau memungkinkan, kami minta tanggung jawab diambil alih oleh DKI.
Seperti proyek tembok laut raksasa (giant sea wall). Saya minta DKI yang mengomando agar bisa mempercepat karena APBD punya kemampuan untuk mendukung proyek itu. Semula tembok itu mau dibangun tahun 2020, tetapi saya minta tahun 2014 harus dimulai.
Terkait program perumahan, seperti apa dalam setahun ini?
Banyak warga yang tinggal di bantaran waduk sudah mulai direlokasi. Waduk kemudian dinormalisasi dan sekitar waduk dijadikan ruang terbuka hijau. Airnya nanti bisa digunakan untuk menambah persediaan air baku Jakarta.
Semua proses masih berjalan sekarang ini, di Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio. Menyusul kemudian Waduk Sunter, Waduk Tomang Barat, Waduk Rawa Badak, dan Waduk Cibubur.
Ada 30 waduk yang masih harus dinormalisasi. Ini tidak mungkin setahun dua tahun selesai. Belum lagi anggarannya, pasti banyak. Kami menargetkan pembangunan 200 blok rusun per tahun, masing-masing blok ada 96 unit, untuk memindahkan warga yang tinggal di area kumuh.
Pemindahan warganya pun harus satu kampung sekaligus, tidak satu RT atau satu RW, tetapi satu kampung. Bulan November nanti kami sediakan lahan 400 hektar di Marunda untuk kompleks rusun, dilengkapi rumah sakit, pasar, sekolah, transportasi, dan penghijauan.
Selain rusun, permukiman dibangun dengan kampung deret. Kalau tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke rusun, lingkungan kampungnya yang dibangun. Tahun ini ada 28 lokasi yang dibangun. Tahun depan 100 lokasi dibangun. Di Jakarta ini ada 360 lokasi area kumuh.
Terkait reformasi birokrasi, mengapa beberapa jabatan penting, seperti sekretaris daerah, sampai kini dibiarkan kosong?
Perlu dijaring dan dipilih dulu agar dapat orang yang tepat. Selama ini belum menemukan orang yang dirasa pas, yang ”klik” untuk posisi ini.
Apa tidak mengganggu jalannya roda pemerintahan? Bagaimana dengan penyerapan anggaran APBD yang rendah dikaitkan dengan rendahnya kinerja SKPD?
Saya rasa tidak. Ini adalah bagian dari proses reformasi birokrasi. Saya rasa karakter birokrasi di seluruh Indonesia sama. Butuh waktu untuk membenahinya dan butuh evaluasi. Dalam prosesnya, mungkin ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Yang pasti, selalu ada progres yang menggembirakan.
Ini juga mengapa blusukan, saya datang ke kantor kelurahan, ke wali kota, ke kampung, dan lainnya itu, harus tetap dilakukan. Karena proses ini butuh terus dikawal, kontrol langsung perlu terus-menerus dilakukan. Didatangi, dibilangi, dibenarkan, dipuji jika baik, proses itu yang sekarang terjadi.
Tentang penataan PKL, mengapa fokusnya membawa PKL itu ke dalam gedung? Padahal, konsep PKL memang berbeda dari pedagang pasar umumnya yang butuh kios permanen. PKL selalu ada di sekitar pusat keramaian.
Tentu tidak. Kami menata PKL dengan memberikan kantong-kantong khusus PKL seperti di kawasan Fatahillah di Jakarta Barat. Menyelenggarakan festival seperti Kaki Lima Night Market di Jalan Medan Merdeka Selatan depan Balaikota, dan menampungnya di bangunan pasar yang kosong seperti di Blok B Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ikuti saja terus proses penataan PKL ini biar tahu perkembangannya.
Jakarta akan dibawa ke mana dan dijadikan kota seperti apa?
Setiap kota di dunia membangun brand sendiri dan demi mewujudkan brand itu banyak kebijakan, program, dan terobosan agar kota yang diinginkan terealisasi. Membangun brand bukan sekadar ingin membuat kota terkenal karena sesuatu yang khas dari kota itu, melainkan justru paling vital adalah membangun kesejahteraan rakyatnya.
Festival yang kerap dilakukan di Jakarta setahun terakhir adalah bagian dari upaya membangun brand, yang tidak terlepas dari upaya lain, seperti pembangunan di bidang transportasi, pendidikan, kesehatan, sampai penanganan banjir.
Revitalisasi waduk-waduk, selain mengembalikan fungsinya sebagai tangkapan air, juga menambah ruang terbuka hijau. Langkah ini mendukung upaya revitalisasi lingkungan alam, kelak bisa diolah jadi air baku, dan semua lapisan masyarakat memiliki tempat berinteraksi.
Bagaimana dengan soal rasa aman warga?
Memang perlu waktu, perlu tertib hukum, dan perlu ketegasan. Kewenangan ada di aparat kepolisian. Harus diakui, memang, Jakarta ini belum aman.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar