Nama Jokowi kembali go international. Untuk kesekian kalinya, kiprahnya dibahas di media luar. Setelah BBC menyebut 'Obamanya Jakarta', The Malay Mail 'Butuh Jokowinya Malaysia', The Hindu 'Mana Jokowinya India?', kini giliran The Star Malaysia yang mengulasnya lewat artikel berjudul 'Lessons from Tanah Abang' edisi 6 Agustus 2013.
Dalam ulasan tersebut, kolumnis Karim Raslan menuliskan bagaimana
Jokowi berhasil menangani ruwetnya memindahkan para pedagang kaki lima
(PKL) yang bercokol di Tanah Abang. Cara pamungkas Jokowi, lewat
blusukan.
"Blusukan yang dilakukan Jokowi tanpa pengawalan ketat
membuatnya bisa memecahkan masalah langsung ke lapangan. Dengan cara
ini, seorang pemimpin bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi," tulis
Karim, seperti dimuat The Star, Selasa (6/8/2013).
Artikel
Karim dibuka dengan perbandingan masalah ibukota di negara Asia
Tenggara. "Di Kuala Lumpur terjadi kriminal, Singapura masalah
transportasi dan kaum pendatang. Sedangkan di Jakarta dan Manila, macet
dan banjir."
Semua permasalahan itu mengakar dari urbanisasi dan
membutuhkan sebuah solusi. Bagaimana caranya? "Coba kita tengok
Indonesia, tepatnya Jakarta.
PKL Tanah Abang
Di
kota itu (Jakarta), jelas Karim, ada tantangan berat yang harus
dihadapi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Ketika banyak orang
membicarakan potensinya untuk maju sebagai capres, namun ada hal menarik
lain, yakni gaya kepemimpinannya yang tak terduga.
"Tanah Abang
(yang menjadi tujuan utama orang Malaysia untuk belanja) merupakan pusat
perdagangan tekstil besar dan pasar paling sibuk di Asia. Pasar ini
telah berdiri sejak 250 tahun lalu."
Kini ada sekitar 28 ribu
pedagang yang tersebar di 6 lantai. Juga ada yang di pinggir jalan.
Sangat ramai. Apalagi menjelang Lebaran. Sampai bikin macet jalan
sekitar.
"Karenanya dibutuhkan pendekatan yang tepat untuk memindahkan para pedagang," sebut penulis beberapa buku itu.
"Selain pengusaha pakaian, ada kelompok lokal (preman) yang berbagi bisnis dengan pemerintah," imbuh dia.
Jokowi
pun datang menjadi Gubernur. Ia menghadapi masalah yang hampir sama
sewaktu menjabat sebagai Walikota Solo: sulitnya merelokasi PKL.
PKL Solo
Pada
2005 silam, Jokowi harus berusaha keras untuk meyakinkan para pengusaha
dan PKL agar pindah ke tempat baru di Klithikan Semanggi, Solo.
"Dan Jokowi pada akhirnya berhasil, seperti yang ditulis Rushad Majeed dalam penelitiannya di Princeton University berjudul 'Innovations for Successful Societies' dengan mengadakan lebih dari 50 kali pertemuan dengan para PKL."
Ini
bukan hanya urusan satu belah pihak. Sebagai walikota yang mendengar
tuntutan PKL, Jokowi mengumpulkan data dan melakukan tawar-menawar yang
alot. "Ini adalah bentuk dari gaya kepemimpinan 'blusukan' nya yang
sekarang populer di Jakarta."
Namun apa yang dilakukan Jokowi saat
ini tidaklah dianggap mudah. Ia dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok dikritik politisi lokal dan kelompok-kelompok yang menuduh
mereka tidak memahami kebutuhan PKL.
"Namun kesabaran mereka
terbayarkan dan Basuki mengumumkan pada hari Selasa 30 Juli 2013 bahwa
PKL di Tanah Abang telah setuju untuk pindah ke dekat Blok G, dimana
sekitar 1.000 kios telah didirikan."
Keberhasilan Jokowi dalam
menyelesaikan masalah di Tanah Abang mungkin tampak sulit dipercaya.
Namun sebenarnya ini merupakan langkah besar untuk negara.
"Ini
membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Perubahan hanya dapat dilakukan
ketika para pemimpin terlibat ke bawah dengan masyarakat.
Blusukan
Blusukan (Istilah Indonesia untuk bertemu orang secara langsung di lapangan) telah menjadi kunci dari segalanya.
Dengan
turun langsung ke lapangan, memeriksa para pegawai sipil, Jokowi
semakin mendapat dukungan dan dipercaya penuh rakyat. Ini menjadi modal
besar baginya.
"Jauh dibanding seorang politisi yang skeptis, tak peduli. Sehingga masyarakat sulit untuk percaya."
Jokowi
saat ini tengah merancang solusi besar untuk menuntaskan masalah banjir
dan macet. Seperti membujuk penghuni liar di Pluit demi program
penanganan banjir.
"Aksinya bagai superhero Hercules. Mampu
mengajak 7.000 keluarga untuk pindah ke tempat yang lebih tepat.
Kemampuan persuasif positifnya sangat besar."
Blusukan yang
dilakukan Jokowi tanpa pengawalan ketat membuatnya bisa memecahkan
masalah langsung ke lapangan. Dengan cara ini, seorang pemimpin bisa
memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Sebagai warga negara
Malaysia yang baik, saya sarankan pemimpin kita perlu ke Jakarta dan
mencontoh apa yang Jokowi lakukan di sana. Mungkin kita membutuhkan
seorang pemimpin yang melakukan blusukan untuk mendengar dan belajar?"
Sumber :
liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar