Jumat, 12 Juli 2013

Jokowi Kuda Troya PDIP

Suara Jokowi makin moncer. Daulat Jokowi calon presiden menyeruak. Itu disuarakan berbagai elemen. Rakyat dan lembaga survey. Jika PDIP mengusungnya, Jokowi ditaksir akan tampil 'tanpo tanding'. Menang mutlak. Tapi bagaimana jika 'dipaksa' mendampingi Mbak Mega?
Jokowi memang manusia pilihan. Sempat tersengal-sengal di awal mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo, akhirnya menang mutlak di jabatan kali kedua. Tak tanggung-tanggung, suara yang diperoleh mencapai 98%. Modal itu yang dipakai untuk meraih jabatan Gubernur DKI.
Nama Jokowi terus melejit. Belum genap setahun menjabat petinggi Jakarta, namanya kini disebut sebagai calon presiden terkuat. Berbagai lembaga survei menempatkan itu. Dan di berbagai kesempatan rakyat terus mengelu-elukannya untuk itu.
Kekuatan Jokowi adalah konsistensi. Dia konsisten. Punya konsep dan punya sikap, bahwa pemimpin itu melayani. Itu ditunjukkan sejak menjabat Walikota Solo sampai kini sebagai Gubernur DKI. Kebiasaan blusukan, merakyat, menyelesaikan persoalan dengan pendekatan kemanusiaan diutamakan. Dan dengan gaya 'merendah' khas Solo ternyata efektif meredam masalah.
Berkat sikap itu nama Jokowi bergema di mana-mana. Popularitas Prabowo yang unggul sebelumnya dibabat, juga Sang Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Di Bandung dan Jawa Tengah terikrar Barisan Relawan Jokowi Presiden yang entah inisatif siapa. Malah mendekati konvensi Partai Demokrat, Jokowi juga dimintakan ikut diundang sebagai salah satu peserta.
Menyikapi tingginya 'permintaan' agar Jokowi maju sebagai capres itu tidak ditanggapi serius. Jokowi tetap merendah. Kalimat 'jangan memanas-manasi', 'yang mau jadi presiden itu siapa', atau 'terserah Bu Mega' adalah luncuran kata menjawab berbagai keinginan itu. Jokowi belum melontarkan jawaban 'ya' atau 'tidak'.
Tapi jangan dikira Jokowi tidak tahu potensinya itu. Jokowi juga jangan anggap tidak punya ambisi untuk melangkah ke RI-1. Sebab dia tahu posisinya yang ada di persimpangan jalan. Sebagai kader PDIP, karirnya tergantung partai. Maju-tidaknya dia nyapres ditentukan PDIP. Sisi lain, yang mbaurekso partai ini, Megawati Soekarnoputri, 'belum rela' merekomendasi. Ingat saat Jokowi disuruh membaca 'puisi' Mbak Mega, yang tersirat capres PDIP itu adalah tetap Megawati Soekarnoputri.
Suara Jokowi yang semakin kinclong itu sebenarnya bak pedang bermata dua untuk PDIP, terutama bagi ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Jika ingin 'membunuh' Jokowi, Mbak Mega gampang melakukan itu. Tampilkan Jokowi sebagai cawapres mendampinginya, itu jaminan popularitas Jokowi akan 'mbleret', suram.
Saya bukan anti Mbak Mega. Tapi lihat fakta yang ada. Sejak habis memerintah, pendukung PDIP tidak kunjung menaik. Itu bukan faktor partainya, tapi lebih condong pada personifikasi ketua umumnya. Pendukung Mbak Mega terbanyak kalangan tua dengan kultus Bung Karno, ketika memerintah tidak banyak yang dilakukan, termasuk meluruskan kasus internal 'Kuda Tuli', adalah sebagian penyebab stagnasi partai ini. Selain, tentu, sikap tidak familiar Mbak Mega terhadap lawan-lawan politiknya.
Kini PDIP beruntung punya Jokowi. Dia gambaran riil partai ini, partainya wong cilik. Jika PDIP (Mbak Mega) cerdas, Jokowi akan menjadi Kuda Troya. Dia akan membawa PDIP meraih suara mayoritas. Jangan lagi hanya 20% sebagai syarat Presidential Treshold, 30% suara pun diyakini akan mampu diperoleh PDIP. Syaratnya, capreskan Jokowi, dan jaga jangan sampai sikap proletarnya itu luntur.
Menurut keyakinan saya, Capres Jokowi akan menang. Tidak berpengaruh siapa saja yang akan mendampinginya. Entah itu Puan Maharani, Pramono Anung, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Djoko Santoso atau Akbar Tanjung. Suara pendukung Gubernur DKI ini akan tetap tinggi. Itu karena penantang yang lain terlalu transparan bopeng-bopengnya.
Tapi itu semua tergantung PDIP (Mbak Mega). Sebab dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi. Dengan begitu, bisa saja dalam konteks ini berlaku asas homo homini lupus. Soal kuasa, semuanya adalah lawan. Adakah begitu di tubuh PDIP ini?
Kita tunggu PDIP cerdas atau 'kethul', melakukan blunder. Mengkubisasi kader, menurunkan elektabilitas partai, atau dengan brillian memanfaatkan potensi itu untuk kejayaan banteng moncong putih.


Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar