Usia pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) belum genap dua bulan. Darah kembali
membasahi Bumi Cendrawasih Senin lalu setelah lima orang tewas dalam
bentrokan dengan aparat keamanan di Kabupaten Paniai, Papua.
Tokoh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jacob Rumbiak kini menjabat Menteri Luar
Negeri Federasi Papua Barat menilai Jokowi menggunakan cara serupa
pernah diterapkan pemerintahan Presiden Soeharto, yakni pendekatan
militer. Rumbiak sudah lama menetap di Australia setelah mendapat suaka.
"Jokowi bukan saja membohongi Papua tapi juga menipu Sang Pencipta memberikan beliau suara rakyat," kata Rumbiak saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Kamis (11/12/2014).
"Suara rakyat adalah suara kebenaran dan suara kebenaran adalah suara Allah."
Berikut penjelasan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.
Apa tanggapan Anda soal penembakan terhadap warga sipil di Paniai Senin lalu?
Saya
sangat kecewa dengan insiden itu karena sebenarnya aparat keamanan
pagar dan pertahanan untuk bangsa ini. Hal-hal menyangkut perbedaan
pendapat saya pikir bukan tempat bagi militer atau kepolisian
menggunakan senjata.
Mereka ditembak kan anak-anak. Jadi
pendekatan dipakai mestinya bukan pendekatan senjata atau menggunakan
kekerasan. Dalam usia semacam ini sebenarnya melalui pendekatan
pendidikan.
Tapi kepala staf angkatan darat bilang ada suara tembakan dari atas bukit oleh anggota OPM?
Inilah
saya ingin ubah. Stigma OPM itu separatis dihapus dulu. Kecurigaan ini
tidak boleh lagi menjadi alasan untuk melakukan penembakan begitu. Ini
kan belum ada bukti kalau penembakan dari mereka itu ke rakyat.
Tapi
informasi saya dapatkan, saya punya tim atau kita punya jaringan dengan
saudara-saudara kami di daerah, sangat jelas kekerasan dipakai karena
ada tekanan dari pihak militer. Sekarang namanya ABRI Masuk Desa kembali
lagi. Mestinya yang masuk desa itu guru, mantri, atau unsur
pembangunan. Bukan militer. Militer itu pertahanan bagi negara bukan
pagar makan tanaman atau pagar makan rakyat.
Jadi pemerintah Jokowi ingin menerapkan darurat militer di Papua?
Ya,
itu sudah jelas. Niat baik itu tidak ada, justru kembali dipakai
seperti dulu, era Orde Baru, era Soeharto. Ini membangun Papua bukan
membangun pasukan. Yang saya tahu akan ada penambahan pasukan di dua
tempat: Manado dan Manokwari. Kemudian akan ada pembangunan markas
marinir di Sorong.
Dulu ketika kita dijajah Belanda, kita merasa
aman karena pendekatan dulu ada tiga macam: rohani, pendidikan,
kemasyarakatan. Jadi tidak tampak pendekatan militernya.
Jadi Anda menilai Jokowi lebih mengedepankan pendekatan militer seperti Soeharto buat menyelesaikan konflik Papua?
Ini
betul, justru pendekatan ini (militer) memang mempercepat perpisahan
antara Papua dan Indonesia. Itu sudah jelas. Pak jokowi membaca orang
Papua itu mungkin tidak punya senjata jadi ditahan. Itu konsep salah.
Pemahaman
militer mempercepat perpisahan Indonesia dan Papua. Jakarta harus
segera mengambil pendekatan lain sehingga kalau Papua terlepas dari
Indonesia, Jakarta akan dilihat sebagai orang tua akan melepas anaknya
sudah dewasa untuk berumah tangga. Indonesia tidak akan dilihat sebagai
penjajah.
Mereka pikir dengan pendekatan militer membuat kami,
rakyat Papua, akan menyerah. Oh, tidak bisa. Kami mampu melakukan
perlawanan dan kami benar-benar mengenal medan di Papua.
Kalau memang pendekatan militer bakal mempercepat Papua merdeka, berapa tahun lagi itu akan terwujud?
Saya
sendiri terlalu yakin Papua bakal merdeka. Saya tak bisa tetapkan
waktunya. Saya lihat lebih cepat lebih baik. Kami sudah menghitung lebih
cepat lebih baik.
Jadi Anda sebagai OPM merasa ditipu Jokowi saat kampanye pemilihan presiden menawarkan penyelesaian konflik Papua?
Kami
merasa bukan saja ditipu tapi itikad baik kami dipandang sebelah mata.
Mama-mama Papua tadinya melihat kehadiran Pak Jokowi sebagai orang nomor
satu di Indonesia akan mengakhri penderitaan Papua, segera menghapus
air mata, keringat, dan darah dari anak-anak papua.
Tapi ternyata
cucuran darah dan air mata dari saudara-saudara kami terus mengalir.
Ini seperti pembohongan untuk kami, juga penipuan terhadap Allah kami
sembah, Allah telah menciptakan kami, Jokowi, dan Indonesia. Kami
menangis di depan Allah, berharap Pak Jokowi terpilih. Kami berharap
beliau mengakhiri seluruh penderitaan ini. Tapi kenyataan berbicara
lain.
Jokowi bukan saja membohongi Papua tapi juga menipu Sang
Pencipta memberikan beliau suara rakyat. Suara rakyat adalah suara
kebenaran dan suara kebenaran adalah suara Allah. Kami tadinya terlalu
yakin kalau Jokowi terpilih bisa menolong rakyat Papua menderita.
Lalu kenapa OPM kemarin begitu yakin Jokowi bisa menyelesaikan konflik Papua bila dia menjadi presiden?
Mungkin
Bung Faisal ingat pernah wawancara saya. Saya katakan saya masih belum
begitu yakin karena pengendali Jokowi adalah Megawati Soekarnoputeri.
Jadi Jokowi akan patuh kepada Megawati. Jokowi tidak mungkin
mengkhianati Megawati.
Megawati merupakan anak dari Soekarno
merebut Papua Barat. Jadi Jokowi harus mempertahankan Papua sampai titik
darah penghabisan. Jadi dia mesti melakukan apa saja agar Papua tidak
lepas dari Indonesia.
Tapi kan ada Jusuf Kalla dikenal sebagai mediator konflik mendampingi Jokowi?
Jusuf
Kalla juga tidak bisa menyelesaikan konflik Papua karena akar
permasalahan beda. Persoalan Papua dengan Aceh, Poso, itu berbeda. Akar
permasalahan Papua adalah sejarah dan intervensi global.
Keputusan
Papua dimasukkan ke dalam Indonesia itu adalah keputusan global. Jusuf
Kalla tidak mungkin menyelesaikan konflik Papua kecuali ada pemimpin
berani dan jujur. Yang ada kan pemimpin Indonesia takut mengangkat akar
permasalahan Papua. [merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar