Selasa, 07 Oktober 2014

Kubu Prabowo Tak Hebat di Parlemen

Sebagai wakil rakyat, seorang anggota parlemen punya kekuatan sama dengan anggota parlemen lain. Sebab, pengambilan keputusan ditentukan oleh suara masing-masing anggota; tidak oleh ketua parlemen, tidak oleh ketua fraksi, juga tidak oleh ketua komisi. Mereka yang menduduki posisi tersebut, suaranya sama dengan anggota.
Jika memang demikian, mengapa kubu Prabowo (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Demokrat) melakukan segala cara untuk merebut kursi pimpinan DPR/MPR? Mengapa juga kubu Jokowi (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura) berusaha keras agar mendapatkan kursi pimpinan DPR/MPR?
Yang aneh juga, hanya demi kursi pimpinan DPR/MPR, SBY-Mega terlibat hubungan "asosial" secara terbuka: SBY menyebut Mega tak mau ditemui, kubu Mega merasa tidak ada urgensi untuk bertemu.
Di negara-negara demokrasi, jabatan ketua parlemen biasanya disebut speaker, atau juru bicara. Ya, tugasnya hanya menyampaikan ke publik apa-apa yang sedang dibahas dan diputuskan parlemen. Speaker juga mengatur jalannya persidangan, lalu lintas pembicaraan, termasuk juga lalu lintas lobi antarfraksi, antarkelompok di parlemen.
Selain speaker, baik pada sistem pemerintahan parlementer maupun sistem pemerintahan presidensial, terdapat ketua kelompok mayoritas parlemen dan ketua kelompok minoritas parlemen, bahkan ketua kelompok independen. Mayoritas dan minoritas, jelas merujuk pada jumlah kursi parlemen yang dikuasai kelompok tersebut.
Dalam sistem parlementer, kelompok mayoritas otomatis menjadi kubu pemerintah, sedang kelompok minoritas menjadi kubu oposisi. Namun kadang terjadi anomali sehingga tersebutlah pemerintahan minoritas (minority government), di mana pemerintah hanya didukung kelompok minoritas. Dalam sistem parlementer ini rentan, sebab sewaktu-waktu pemerintah bisa bubar jika mayoritas parlemen menghendaki.
Dalam sistem presidensial, kondisi anomali lebih sering terjadi, di mana presiden terpilih tidak didukung mayoritas parlemen, sehingga menciptakan pemerintahan terbelah (divided government). Tetapi dalam sistem ini, tak perlu ada kekhawatiran pemerintah jatuh, sebab parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden. Hanya saja pemerintah sering tidak efektif, karena kebijakan presiden sering dirintangi dan ditolak parlemen.
Ilustrasinya adalah pemerintahan Presiden Obama periode kedua: mayoritas Senat memang dikuasai Demokrat (partai Obama), tetapi mayoritas DPR dikuasai Republik. Pemerintah sempat menyatakan shut down, karena rencana anggaran Obama ditolak DPR. Namun kedewasaan politik menyebabkan kondisi buruk tidak berlarut-larut.
Kembali ke soal rebutan kursi pimpinan DPR/MPR, lantas apa urgensinya buat kubu Prabowo yang telah menguasai mayoritas DPR/MPR, tetap berkeras menguasai kursi pimpinan DPR/MPR? Lalu, mengapa juga kubu Jokowi seakan merasa sudah habis kekuatan saat gagal mendapatkan kursi pimpinan DPR/MPR? Bukankah kubu Jokowi menyadari bahwa sebagai kelompok minoritas memang sulit memenangi perebutan kursi yang dipilih berdasar suara anggota?
Jika ditelusuri, posisi pimpinan parlemen Indonesia memang bukan sekadar speaker, sehingga bisa dipahami jika masing-masing pihak ngotot untuk meraihnya dengan segala cara. Memang UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta tata tertib masing-masing lembaga mengatur wewenang pimpinan DPR/MPR sebatas mengatur persidangan, mengatur jadwal persidangan, dan lobi-lobi antarfaksi.
Tetapi di balik rumusan tugas formal tersebut sesungguhnya terdapat peluang dan kesempatan untuk memainkan dan mengarahkan situasi dan kondisi politik tertentu. Apa yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dalam memimpin sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada bisa dijadikan contoh. Dan main ketuk palu tersebut bisa dilakukan siapa saja.
Meski hanya mengatur jadwal persidangan dan lobi-lobi, peran ini pada titik tertentu juga menjadi strategis. Sebab pengaturan jadwal sidang bisa dibuat sedemikian rupa sehingga menyulitkan atau memudahkan pengambilan keputusan yang ujungnya bisa menguntungkan atau merugikan kelompok tertentu.
Begitulah pimpinan DPR/MPR, mereka bukan sekadar speaker parlemen. Mereka adalah pengarah parlemen dalam pengambil keputusan. Dalam mana perilaku politik anggota parlemen belum beradab, peran mengarahkan bisa menjadi memaksakan, sehingga siapapun yang duduk di sana mejadi orang yang menentukan. Inilah yang menyebabkan kubu Prabowo dan kubu Jokowi melakukan segala cara demi kursi pimpinan DPR/MPR.
Bagi partai politik dan politisi, kursi pimpinan DPR/MPR tetap merupakan gengsi politik. Itu adalah posisi terhormat karena mendapat protokoler khusus: staf, pengawalan, mobil dinas, duduk sejajar dengan presiden, dll. Lebih dari itu, karena kerap "mewakili" DPR/MPR dalam berhubungan dengan pejabat lain, maka mereka bisa memanfaatkan dan memanipulasi kepentingan saat berhubungan dengan presiden dan para menteri.
Manipulasi kepentingan itu berbuah transaksi politik karena presiden dan para menteri adalah penguasa sumber-sumber ekonomi. Jika pimpinan DPR/MPR biasa bertransaksi dengan presiden, maka pimpinan komisi DPR menindaklanjutinya dengan para menteri. Makanya, setelah rebutan kursi pimpinan DPR/MPR akan diikuti dengan rebutan pimpinan komisi. Sebab menjadi pimpinan komisi berarti menguasai akses ekonomi.
Nah, jika itu motifnya, sedangkan Jokowi bersikeras untuk membentuk pemerintah bersih dan transparan, serta menunjuk menteri bersih dan berintegritas, lalu apa gunanya menguasasi memimpin DPR/MPR dan komisi-komisi DPR? Lalu, mengapa juga kubu Jokowi berkecil hati ketika tidak mendapatkan posisi apa-apa di DPR/MPR?
Politik kita memang tidak sesederhana yang kita bayangkan karena pelakunya tak segan untuk berlaku tak beradab.  [ Didik Supriyanto/merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar