Sebagai wakil rakyat, seorang anggota parlemen punya kekuatan sama
dengan anggota parlemen lain. Sebab, pengambilan keputusan ditentukan
oleh suara masing-masing anggota; tidak oleh ketua parlemen, tidak oleh
ketua fraksi, juga tidak oleh ketua komisi. Mereka yang menduduki posisi
tersebut, suaranya sama dengan anggota.
Jika memang demikian,
mengapa kubu Prabowo (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Demokrat)
melakukan segala cara untuk merebut kursi pimpinan DPR/MPR? Mengapa juga
kubu Jokowi (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura) berusaha keras agar mendapatkan
kursi pimpinan DPR/MPR?
Yang aneh juga, hanya demi kursi pimpinan
DPR/MPR, SBY-Mega terlibat hubungan "asosial" secara terbuka: SBY
menyebut Mega tak mau ditemui, kubu Mega merasa tidak ada urgensi untuk
bertemu.
Di negara-negara demokrasi, jabatan ketua parlemen
biasanya disebut speaker, atau juru bicara. Ya, tugasnya hanya
menyampaikan ke publik apa-apa yang sedang dibahas dan diputuskan
parlemen. Speaker juga mengatur jalannya persidangan, lalu lintas
pembicaraan, termasuk juga lalu lintas lobi antarfraksi, antarkelompok
di parlemen.
Selain speaker, baik pada sistem pemerintahan
parlementer maupun sistem pemerintahan presidensial, terdapat ketua
kelompok mayoritas parlemen dan ketua kelompok minoritas parlemen,
bahkan ketua kelompok independen. Mayoritas dan minoritas, jelas merujuk
pada jumlah kursi parlemen yang dikuasai kelompok tersebut.
Dalam
sistem parlementer, kelompok mayoritas otomatis menjadi kubu
pemerintah, sedang kelompok minoritas menjadi kubu oposisi. Namun kadang
terjadi anomali sehingga tersebutlah pemerintahan minoritas (minority
government), di mana pemerintah hanya didukung kelompok minoritas. Dalam
sistem parlementer ini rentan, sebab sewaktu-waktu pemerintah bisa
bubar jika mayoritas parlemen menghendaki.
Dalam sistem
presidensial, kondisi anomali lebih sering terjadi, di mana presiden
terpilih tidak didukung mayoritas parlemen, sehingga menciptakan
pemerintahan terbelah (divided government). Tetapi dalam sistem ini, tak
perlu ada kekhawatiran pemerintah jatuh, sebab parlemen tidak bisa
menjatuhkan presiden. Hanya saja pemerintah sering tidak efektif, karena
kebijakan presiden sering dirintangi dan ditolak parlemen.
Ilustrasinya
adalah pemerintahan Presiden Obama periode kedua: mayoritas Senat
memang dikuasai Demokrat (partai Obama), tetapi mayoritas DPR dikuasai
Republik. Pemerintah sempat menyatakan shut down, karena rencana
anggaran Obama ditolak DPR. Namun kedewasaan politik menyebabkan kondisi
buruk tidak berlarut-larut.
Kembali ke soal rebutan kursi
pimpinan DPR/MPR, lantas apa urgensinya buat kubu Prabowo yang telah
menguasai mayoritas DPR/MPR, tetap berkeras menguasai kursi pimpinan
DPR/MPR? Lalu, mengapa juga kubu Jokowi seakan merasa sudah habis
kekuatan saat gagal mendapatkan kursi pimpinan DPR/MPR? Bukankah kubu
Jokowi menyadari bahwa sebagai kelompok minoritas memang sulit memenangi
perebutan kursi yang dipilih berdasar suara anggota?
Jika
ditelusuri, posisi pimpinan parlemen Indonesia memang bukan sekadar
speaker, sehingga bisa dipahami jika masing-masing pihak ngotot untuk
meraihnya dengan segala cara. Memang UU No 17/2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, serta tata tertib masing-masing lembaga mengatur wewenang
pimpinan DPR/MPR sebatas mengatur persidangan, mengatur jadwal
persidangan, dan lobi-lobi antarfaksi.
Tetapi di balik rumusan
tugas formal tersebut sesungguhnya terdapat peluang dan kesempatan untuk
memainkan dan mengarahkan situasi dan kondisi politik tertentu. Apa
yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dalam memimpin
sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada bisa dijadikan contoh. Dan main
ketuk palu tersebut bisa dilakukan siapa saja.
Meski hanya
mengatur jadwal persidangan dan lobi-lobi, peran ini pada titik tertentu
juga menjadi strategis. Sebab pengaturan jadwal sidang bisa dibuat
sedemikian rupa sehingga menyulitkan atau memudahkan pengambilan
keputusan yang ujungnya bisa menguntungkan atau merugikan kelompok
tertentu.
Begitulah pimpinan DPR/MPR, mereka bukan sekadar
speaker parlemen. Mereka adalah pengarah parlemen dalam pengambil
keputusan. Dalam mana perilaku politik anggota parlemen belum beradab,
peran mengarahkan bisa menjadi memaksakan, sehingga siapapun yang duduk
di sana mejadi orang yang menentukan. Inilah yang menyebabkan kubu
Prabowo dan kubu Jokowi melakukan segala cara demi kursi pimpinan
DPR/MPR.
Bagi partai politik dan politisi, kursi pimpinan DPR/MPR
tetap merupakan gengsi politik. Itu adalah posisi terhormat karena
mendapat protokoler khusus: staf, pengawalan, mobil dinas, duduk sejajar
dengan presiden, dll. Lebih dari itu, karena kerap "mewakili" DPR/MPR
dalam berhubungan dengan pejabat lain, maka mereka bisa memanfaatkan dan
memanipulasi kepentingan saat berhubungan dengan presiden dan para
menteri.
Manipulasi kepentingan itu berbuah transaksi politik
karena presiden dan para menteri adalah penguasa sumber-sumber ekonomi.
Jika pimpinan DPR/MPR biasa bertransaksi dengan presiden, maka pimpinan
komisi DPR menindaklanjutinya dengan para menteri. Makanya, setelah
rebutan kursi pimpinan DPR/MPR akan diikuti dengan rebutan pimpinan
komisi. Sebab menjadi pimpinan komisi berarti menguasai akses ekonomi.
Nah,
jika itu motifnya, sedangkan Jokowi bersikeras untuk membentuk
pemerintah bersih dan transparan, serta menunjuk menteri bersih dan
berintegritas, lalu apa gunanya menguasasi memimpin DPR/MPR dan
komisi-komisi DPR? Lalu, mengapa juga kubu Jokowi berkecil hati ketika
tidak mendapatkan posisi apa-apa di DPR/MPR?
Politik kita memang tidak sesederhana yang kita bayangkan karena pelakunya tak segan untuk berlaku tak beradab. [ Didik Supriyanto/merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar