Jumat, 04 Oktober 2013

Joki, Tantangan Lain Jokowi dan Pemimpin Negeri

Joki, pemandangan yang akan gampang kita temui pada jam-jam pemberlakuan ketentuan 3 in 1 untuk jalanan Jakarta. Minimal, mereka akan menjadi orang ketiga di dalam mobil yang memilih melintas di jalur yang terkena aturan itu.
Bekerja menjadi joki cukup dengan berdiri di lokasi strategis di sekitar "mulut" jalur 3 in 1. Berpakaian "pantas" untuk naik ke mobil yang akan memakai jasa, sedikit usaha yang diperlukan. Lambaikan tangan, pada kendaraan yang terlihat memelankan laju kendaraan, untuk membuka peluang "jasa" terpakai.
Ini adalah pekerjaan tak butuh keterampilan. Cukup memenuhi langkah-langkah di atas, maka kemungkinan mendapatkan uang cukup besar didapatkan. Sekali layanan melengkapi jumlah minimal tiga orang dalam satu kendaraan, paling tidak Rp 20.000 sudah masuk kantong.
Udin (29) adalah salah satu joki itu. Mangkal di bilangan Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta pusat, dia menyasar kendaraan yang hendak melintasi Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin melintasi ruas itu. "Jam kerja" mereka adalah menjelang pemberlakuan 3 in 1 setiap pukul 07.00-10.00 WIB dan pukul 16.00-19.00 WIB.
"Putus nyambung putus nyambung. Kalau kerja ya kerja, kalau nganggur ya jadi joki lagi," kata Udin, ketika ditemui Kompas, Jumat (4/10/2013). Dia mengaku, dengan menjadi joki, dia bisa mengantongi Rp 20.000 sampai Rp 50.000 per hari.
Risiko jadi joki, sebut Udin, hanya dikejar-kejar Satpol PP. Itu kalau sedang ada operasi atau arahan baru dari para pemimpin wilayah. Di "wilayah operasi" Udin, operasi bisa terjadi karena kawasan itu kerap disebut sebagai "ring satu", dengan banyak pejabat negara maupun perwakilan asing tinggal maupun berkantor di sana.

Ketidakefektifan 3 in 1
Kehadiran joki di banyak lokasi di Jakarta adalah potret tak efektifnya kebijakan 3 in 1. Semula, kebijakan ini dibuat untuk mengurangi kepadatan lalu lintas Jakarta, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Harapannya, orang akan memilih menggunakan angkutan umum, atau setidaknya "berkolaborasi" menumpang satu kendaraan.
Namun, fenomena joki yang bukan lagi rahasia jelas memupus efektivitas yang diharapkan. Kemacetan tetap saja lebih parah pada jam-jam pemberlakuan ketentuan itu. Selain memang orang nyaris serempak melintas, joki menjadikan aturan minimal tiga orang dalam satu kendaraan tak mengurangi jumlah mobil yang melintas. Cukup rogoh kocek sesuai jumlah joki yang dibutuhkan, maka selesai persoalan minimal penumpang dalam satu kendaraan roda empat.
Udin mengatakan, kalaupun razia joki digelar, jera adalah kata yang jauh dari kamus para joki. Dia mengatakan, bila terjaring razia, para joki dikirim ke Panti Sosial di Cipayung, Jakarta Timur, atau ke Panti Sosial di Kedoya, Jakarta Barat. "Tidak kapok," ujar dia tanpa bercerita apa yang dia dapatkan dengan "hukuman" ditempatkan di panti sosial itu.

Pekerjaan jadi kilah
Leni (40), perempuan keturunan Ambon, ini mengaku menjadi joki karena terpaksa. "Suami saya tak bekerja," kata dia. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, joki yang tak butuh keterampilan apalagi pengalaman kerja, dilakoni.
Setiap "bekerja", Leni melibatkan dua anak perempuannya. Satu anak berusia di bawah lima tahun selalu dia gendong. Satu anaknya yang lain adalah siswa sekolah dasar. Leni mengaku keluarganya tinggal di rumah kontrakan, tak ada yang menjaga anak balitanya bila ditinggal di rumah.
Dalam sehari, Leni mengaku bisa mendapatkan Rp 20.000 sampai Rp 40.000. Sesekali, aku dia, tak ada yang memilihnya menjadi joki. "Kalau dikejar (petugas) ya ngumpet, ya saya bisanya hanya joki," aku dia.

Bukan hanya satu dua
Joki bukan hanya satu dua. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan Udin maupun Leni di seantero Jakarta. Di bilangan Menteng saja, cukup menengok ruas Jalan Diponegoro dan Jalan Imam Bonjol untuk melihat keberadaan para joki ini. Belum lagi di Jalan Gatot Subroto, Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Casablanca, kawasan Kebayoran Baru, dan rute-rute lain yang mengawali jalur 3 in 1 Jakarta.
Safrudin (30), seorang petugas keamanan di kawasan Menteng, adalah salah satu yang terganggu dengan keberadaan joki. Tak hanya "merusak pemandangan", dia pun pernah ikut terangkut razia karena dikira salah satu joki.
Tak hanya membuat aturan 3 in 1 tak punya makna, kehadiran joki semestinya lebih dalam lagi dicermati. Mungkin rekor pendapatan mereka belum seperti "pak ogah" di setiap simpang atau perputaran jalan dan para "pekerja" pengemis yang bisa mendapatkan puluhan hingga ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah dari recehan yang diterima, tetapi tetap saja joki adalah fenomena sosial.
Tak masuk akal bila ada yang berkilah polisi atau petugas dinas perhubungan tak tahu keberadaan joki. Berkilah bukan tugasnya menertibkan joki juga terasa mengingkari makna aturan rekayasa lalu lintas yang dibuat untuk menangani dilema lalu lintas Jakarta. Operasi Satpol PP yang juga hanya sesekali, terasa seperti "dagelan" pada siang hari, tak akan efektif menghapus praktik joki.
Barangkali, problem sesungguhnya tetap saja pekerjaan dan pendidikan. Namun, apakah bekerja yang butuh ketekunan dan keahlian, ataupun pendidikan yang butuh proses dan bahkan "buang uang" menarik minat para joki dan "profesi" serupa yang tahu cara dapat uang tanpa keahlian dan proses itu? Pak Jokowi dan siapa pun pejabat negeri, ini tantangan Anda.

Sumber :
kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar