Bahrain, pengacara buruh dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, para buruh penggugat Jokowi itu berasal dari tujuh perusahaan yang bergerak di bidang garmen dan beroperasi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Perusahaan itu adalah PT Kaho Indah Citra Garmen, PT Good Guys Indonesia, PT Misung Indonesia, PT Myusung Indonesia, PT Kyungseuyng Trading Indonesia, PT Star Camtex, dan PT Yeon Heung Mega Sari.
Sama seperti buruh di delapan perusahaan sebelumnya, para buruh kali ini menggugat Jokowi karena Jokowi mengabulkan permohonan tujuh perusahaan tersebut untuk menangguhkan UMP buruh sebesar Rp 2,2 juta. Buruh menilai proses penangguhan UMP tersebut penuh dengan rekayasa dan manipulasi yang sistematis.
"Pertama, buruh diintimidasi, diancam, jika tak menandatangani, buruh akan di-PHK. Kedua, perusahaan harus merugi dua tahun bertuturut-turut, tapi ini perusahaan ekspansi terus, tak merugi sama sekali," ujar Bahrain seusai melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Cakung, Jakarta Timur, Senin siang.
Bahrain mengatakan, poin-poin itu menunjukkan bahwa Jokowi melanggar Pasal 90 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ketetapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, dan Perda DKI Jakarta Nomor 42 Tahun 2007 tentang tata Cara Pelaksanaan Penangguhan UMP.
"Terjadi kecurangan dalam proses penangguhan karena adanya kelalaian Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta yang dengan begitu saja memercayai informasi dari Disnakertrans tanpa check dan recheck terlebih dahulu," kata Bahrain.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional (DPD SPN) Ramidi menyebutkan, pihaknya tidak turut bergabung dalam gugatan pertama. Hal itu dikarenakan kedua gugatan itu didasarkan pada surat keputusan (SK) yang berbeda dari Pemprov DKI. Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan SK pengabulan penangguhan UMP untuk delapan perusahaan sebelumnya pada Maret 2013, sedangkan SK untuk tujuh perusahaan keluar pada 5 April 2013.
"Jadi bukan hal yang prinsipil. Ini hanya masalah teknis. Kami mensinyalir jika ada perusahaan lain yang ditanggungkan UMP-nya, buruh-buruhnya pasti juga akan menggugat," kata Ramidi.
Sumber :
megappolitan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar