Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyerahkan nama Komisaris Jenderal Budi
Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia
kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada Jumat, 9 Januari 2015. Bila
disetujui DPR, Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian RI itu bakal
menggantikan Jenderal Sutarman yang masa jabatannya habis pada Oktober
2015. Direktur
Advokasi Pusat Studi Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril
menilai keputusan Jokowi mencalonkan Budi sangat mengecewakan.
Penentuan
nama Budi bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Jokowi.
Terlebih seusai pemilihan politikus Partai NasDem, Prasetyo, sebagai
Jaksa Agung. "Jokowi seolah-olah ingin berdamai dengan pejabat yang
integritasnya dipertanyakan."
Berikut
ini tiga langkah keliru Jokowi saat memutuskan memilih Budi Gunawan
sebagai calon tunggal Kepala Polri, menurut pendapat sejumlah pegiat
antikorupsi dan aktivis hak asasi manusia:
Kasus Rekening Gendut
Budi adalah ajudan
Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden pada 2001-2004. Selain
itu, Budi pernah masuk dalam daftar polisi yang diketahui memiliki
rekening gendut. Laporan hasil analisis dan laporan pemeriksaan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mencatat, Budi diketahui
memiliki rekening Rp 54 miliar dan bertransaksi di luar profilnya.
Oce
menjelaskan, dugaan kepemilikan rekening tak wajar milik Budi pernah
diklarifikasi Mabes Polri. Pemeriksaan itu berakhir pada kesimpulan
bahwa dana dalam rekening itu berasal dari sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan. Oce meragukan kesimpulan itu. Sebab, semua
perwira tinggi yang teridentifikasi memiliki rekening gendut tak pernah
menjalani pemeriksaan internal.
"Kasus ini pernah dibawa ke
Komisi Informasi Pusat. Atas indikasi itu memang tidak pernah diperiksa
polisi. Lagi pula, mana mungkin ada penyidik yang berani memeriksa
perwira berbintang?" kata Oce Madril. "Saya tidak tahu apa
pertimbangannya. Kasihan sekali jika kepala institusi penegak hukum
seperti Jaksa Agung dan Kapolri diisi orang yang memiliki cacat bawaan."
Koordinator
Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menambahkan,
tidak ada hal yang menonjol dari Budi kecuali saat ia disebut memiliki
rekening gendut. Emerson mengatakan pegiat antirasuah akan segera
merapatkan barisan untuk melawan Kepala Polri pilihan Jokowi ini. "Kami
mungkin akan ajukan gugatan," ucapnya.
Menurut
Jokowi, nama Budi muncul berkat usulan Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas). "Sudah dari Kompolnas, hak prerogatif saya pakai. Saya
pilih, saya sampaikan ke Dewan," katanya kepada wartawan di sela
kunjungan ke PT PAL Indonesia, Surabaya, Sabtu, 10 Januari 2015.
Selanjutnya, kata Jokowi, anggota DPR tinggal menindaklanjuti usul itu.
Saat
ditanya mengenai faktor kedekatan Budi Gunawan dengannya, Jokowi hanya
berseloroh singkat. "Ya, masak, saya pilih yang jauh?" ujarnya. Menurut
Budi, keakraban yang dia jalin dengan Megawati tidak pernah sampai
membahas urusan politik. Ia mengaku pernah makan malam dengan Mega, tapi
pertemuan itu tidak menyinggung pembicaraan politik. “Makannya selalu
ramai-ramai,” ujar Budi.
Tanpa Restu PPATK dan KPK
Menurut Emerson, Jokowi
telah tutup mata terhadap rekam jejak Budi Gunawan yang kini menjadi
Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian. Jokowi menunjuk Budi tanpa
berkonsultasi lebih dulu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Emerson menuding langkah
Jokowi hanya untuk melanggengkan kekuasaan.
Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menegaskan bahwa
lembaganya tidak pernah dilibatkan oleh Presiden Joko Widodo untuk
menentukan nama Kepala Polri. "Jadi tidak benar pernyataan Menkopolhukam
(Tedjo Edhi Purdjianto) yang meminta bantuan KPK untuk memberi
masukan," ujar Bambang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta,
Sabtu, 10 Januari 2015.
Hal senada disampaikan Ketua KPK Abraham
Samad. Ia menyatakan instansinya sama sekali tidak dilibatkan dalam
proses seleksi calon Kepala Polri. "Tak pernah dikasih tahu Presiden
Jokowi. Tidak pernah sama sekali," kata Samad. Sebelumnya Samad pernah
mengatakan KPK seharusnya dilibatkan dalam proses pemilihan Kepala
Polri.
Emerson menuding Jokowi berlaku diskriminatif karena
tidak melibatkan KPK dan PPATK dalam pemilihan Kepala Polri. Sedangkan
dalam pemilihan menteri Kabinet Kerja, Jokowi melibatkan KPK dan PPATK.
"Kenapa saat memilih Kapolri Jokowi tidak melibatkan PPATK dan KPK? Apa
yang dia takutkan?" ujar Emerson ketika dihubungi, Jumat, 9 Januari
2015.
Karena
pemilihan Kepala Polri dilakukan tanpa konsultasi dengan dua lembaga
penegak hukum tersebut, Emerson menilai Jokowi tidak bebas merdeka dalam
menentukan pilihan. "Memang pilihan itu adalah hak prerogratif
presiden, tapi nuansa titipan partai politik kentara sekali bila Jokowi
tidak melibatkan KPK dan PPATK," kata Emerson.
Adapun Sekretaris
Kabinet Andi Widjajanto mengatakan, berdasarkan undang-undang, Presiden
Jokowi cukup meminta pertimbangan Kompolnas untuk menunjuk Kepala Polri.
Penunjukan Kapolri, menurut Andi, bukanlah mekanisme seleksi, melainkan
penunjukan langsung oleh presiden, sehingga presiden tidak perlu
meminta pertimbangan lembaga lain.
Terlalu Cepat dan Mendadak
Anggota Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta Muhhamad Isnur mengatakan pemilihan Budi sebagai
calon tunggal Kepala Polri bak skandal. "Prosesnya serba mendadak, tidak
transparan, dan publik pun tidak dilibatkan," ujar Isnur, Sabtu, 10
Januari 2015. "Budi dulu ajudan Megawati dan dekat dengan PDIP.
Jangan-jangan ia dipilih karena dekat dengan PDIP saja. Jokowi subyektif
memilih Kapolri."
Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui
ihwal cepatnya proses keputusan Jokowi memilih Budi menjadi calon
tunggal. Jokowi hanya butuh beberapa jam untuk meloloskan Budi dari
sembilan nama yang diajukan dan direkomendasikan Kompolnas. "Tanggal 9
Januari kami terima surat itu, pukul 16.00 WIB Presiden meminta
dipersiapkan surat ke DPR," kata Pratikno di kantor PDI Perjuangan.
Pratikno
berdalih proses pemilihan calon Kepala Polri mungkin sudah dilakukan
sudah lama. Namun, ia tak bisa menjawab alasan Jokowi tak melibatkan
PPATK dan KPK dalam proses seleksi calon Kepala Polri. Prosesnya tak
seperti seleksi calon menteri Kabinet Kerja. "Saya tak tahu harus
menjawab apa, karena memang tidak dapat informasi itu," katanya.
Tak
hanya itu, pejabat di lingkaran satu Jokowi ini juga mengklaim tak tahu
alasan Kapolri Jenderal Sutarman harus segera dicopot meski baru
pensiun pada Oktober 2015. Ia juga tak mengerti alasan Jokowi lebih
memilih Budi dibanding delapan perwira tinggi lain yang diajukan Ketua
Kompolnas sekaligus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan
Tedjo Edhy Purdijatno.
Pemilihan
Budi pun mengherankan bagi publik dan para pegiat antikorupsi. Emerson
menilai penunjukan Budi sebagai calon tunggal Kepala Polri bukan atas
dasar pilihan Jokowi. Budi, kata dia, adalah Kapolri pilihan Megawati.
"Sebenarnya yang jadi presiden itu Jokowi atau Megawati?" kata Emerson,
yang menekankan bahwa pendapat itu adalah pandangan pribadinya.
Namun,
ia mengakui penunjukan Budi memang mengagetkan. "Mendadak sekali, kami
tidak habis pikir alasan Jokowi. Ini mimpi buruk para aktivis
antikorupsi," ujar Emerson. Emerson sudah membuat petisi agar Jokowi
membatalkan penyerahan nama Kapolri ke DPR sampai ada investigasi
mendalam tentang rekam jejak kandidat. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar