Rabu, 03 Desember 2014

Para Pimpinan BPK Menghadap Jokowi

Para pemimpin tertinggi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Negara, Jakarta, Rabu (3/12/2014) sekitar pukul 14:30 WIB.
Ketua BPK Harry Azhar Azis didampingi anggota BPK Achsanul Qosasi dan beberapa anggota BPK lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Harry mengungkapkan kedatangannya untuk menyerahkan hasil audit Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) I tahun 2014.
"Kita akan menyampaikan seperti yang di DPR kemarin," ucap Harry, Jakarta, Rabu (3/12/2014).
Harry menambahkan, pihaknya agar meminta Presiden Jokowi segera menindaklanjuti hasil audit dan rekomendasi yang diberikan BPK. "Kita minta Pak Jokowi untuk tindaklanjuti."
Sebelumnya, Ketua BPK Harry Azhar Azis pada rapat paripurna dengan agenda Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014 di Gedung DPR, di Jakarta, Selasa (2/12) mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 14.854 kasus pengelolaan keuangan negara senilai Rp30,87 triliun yang tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), berdasarkan pemeriksaan pada semester I 2014.
"Kasus tersebut terdiri dari ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak 8.323 kasus senilai Rp30,87 triliun dan 6.531 kasus karena kelemahan sistem pengendalian intern (SPI)," kata Harry di gedung DPR RI.
Ia mengatakan, dari seluruh kasus ketidakpatuhan tersebut, BPK menemukan 4.900 kasus pengelolaan keuangan negara mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp25,74 triliun.
Rekomendasi BPK terhadap kasus tersebut antara lain, kata Harry, adalah penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara, pemerintah daerah atau perusahaan.
Entitas pengelola keuangan negara telah menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, dengan penyerahan aset, dan penyetoran uang ke kas negara, pemerintah daerah atau perusahaan senilai Rp6,34 triliun.
Harry memaparkan temuan kasus ketidakpatuhan lainnya adalah 2.802 kasus kelemahan administrasi dan 621 kasus senilai Rp5,13 triliun karena ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan negara.
"Rekomendasi BPK atas kasus tersebut adalah perbaikan SPI (Sistem Pengendalian Intern) dan atau, tindakan administratif dan atau tindakan korektif lainnya," ujar dia.
Total, BPK memeriksa 670 objek pemeriksaan, yang terdiri atas 559 objek pemeriksaan keuangan, 16 objek pemeriksaan kinerja, dan 95 objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Pada semester I 2014, BPK juga memeriksa pengelolaan keuangan negara tahun 2013 atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), kemudian 86 Laporan Keuangan Kementerian Negara dan Lembaga (LKKL), 456 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan 13 Laporan Keuangan (LK) badan lainnya.
Selain itu, lanjut Harry, BPK juga melakukan pemeriksaan atas LKPD Kabupaten Kepulauan Aru Tahun Anggaran (TA) 2012, Laporan Keuangan Perum Produksi Film Negara TA 2011 dan 2012.
"Laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah mengalami banyak kemajuan yang ditandai dengan perolehan opini yang semakin baik," ujarnya.
Sebanyak 86 LKKL yang diperiksa BPK termasuk Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN).
Dalam pemeriksaan 86 LKKL itu, kata Harry, BPK memberikan 64 opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 64 LKKL, ooini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 19 LKKL, termasuk LK BUN dan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) pada 3 LKKL.
"Secara umum, kualitas laporan keuangan pemerintah makin meningkat karena makin banyak yang mendapat WTP dari 44 entitas di 2009 menjadi 64 entitas di 2013," katanya.
Mengenai, LKPD, BPK telah memeriksa 456 LKPD dari 524 pemerintah daerah. Dari pemeriksaan tersebut, perolehan opininya adalah WTP sebanyak 153 LKPD atau sebesar 33,55 persen, WDP sebanyak 276 LKPD (60,52 persen), Tidak Wajar (TW) sebanyak 9 LKPD (1,97 persen) dan TMP sebanyak 18 LKPD (3,94 persen).
Pada semester I 2014, Harry mengatakan, BPK memprioritaskan pemeriksaannya pada pemeriksaan keuangan karena bersifat "mandatory audit" atau pemeriksaan sesuai mandat konstitusi yang harus dilaksanakan BPK. Namun, kata dia, BPK tetap tidak mengurangi program pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang telah direncanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar