Para pemimpin tertinggi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Negara, Jakarta, Rabu (3/12/2014) sekitar pukul 14:30 WIB.
Ketua BPK Harry Azhar Azis didampingi anggota BPK Achsanul Qosasi dan beberapa anggota BPK lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Harry mengungkapkan kedatangannya untuk menyerahkan hasil audit Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) I tahun 2014.
"Kita akan menyampaikan seperti yang di DPR kemarin," ucap Harry, Jakarta, Rabu (3/12/2014).
Harry menambahkan, pihaknya agar meminta Presiden Jokowi segera menindaklanjuti hasil audit dan rekomendasi yang diberikan BPK. "Kita minta Pak Jokowi untuk tindaklanjuti."
Sebelumnya, Ketua BPK Harry Azhar Azis pada rapat paripurna dengan
agenda Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014 di Gedung
DPR, di Jakarta, Selasa (2/12) mengatakan Badan Pemeriksa Keuangan
menemukan 14.854 kasus pengelolaan keuangan negara senilai Rp30,87
triliun yang tidak patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
dan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), berdasarkan pemeriksaan
pada semester I 2014.
"Kasus tersebut terdiri dari ketidakpatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebanyak 8.323 kasus
senilai Rp30,87 triliun dan 6.531 kasus karena kelemahan sistem
pengendalian intern (SPI)," kata Harry di gedung DPR RI.
Ia
mengatakan, dari seluruh kasus ketidakpatuhan tersebut, BPK menemukan
4.900 kasus pengelolaan keuangan negara mengakibatkan kerugian, potensi
kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp25,74 triliun.
Rekomendasi
BPK terhadap kasus tersebut antara lain, kata Harry, adalah penyerahan
aset dan atau penyetoran uang ke kas negara, pemerintah daerah atau
perusahaan.
Entitas pengelola keuangan negara telah
menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian,
potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, dengan penyerahan aset, dan
penyetoran uang ke kas negara, pemerintah daerah atau perusahaan
senilai Rp6,34 triliun.
Harry memaparkan temuan kasus
ketidakpatuhan lainnya adalah 2.802 kasus kelemahan administrasi dan 621
kasus senilai Rp5,13 triliun karena ketidakhematan, ketidakefisienan,
dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan negara.
"Rekomendasi BPK
atas kasus tersebut adalah perbaikan SPI (Sistem Pengendalian Intern)
dan atau, tindakan administratif dan atau tindakan korektif lainnya,"
ujar dia.
Total, BPK memeriksa 670 objek pemeriksaan, yang terdiri
atas 559 objek pemeriksaan keuangan, 16 objek pemeriksaan kinerja, dan
95 objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
Pada semester I
2014, BPK juga memeriksa pengelolaan keuangan negara tahun 2013 atas
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), kemudian 86 Laporan Keuangan
Kementerian Negara dan Lembaga (LKKL), 456 Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) dan 13 Laporan Keuangan (LK) badan lainnya.
Selain
itu, lanjut Harry, BPK juga melakukan pemeriksaan atas LKPD Kabupaten
Kepulauan Aru Tahun Anggaran (TA) 2012, Laporan Keuangan Perum Produksi
Film Negara TA 2011 dan 2012.
"Laporan keuangan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah sudah mengalami banyak kemajuan yang ditandai
dengan perolehan opini yang semakin baik," ujarnya.
Sebanyak 86 LKKL yang diperiksa BPK termasuk Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN).
Dalam
pemeriksaan 86 LKKL itu, kata Harry, BPK memberikan 64 opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) atas 64 LKKL, ooini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) atas 19 LKKL, termasuk LK BUN dan opini Tidak Memberikan Pendapat
(TMP) pada 3 LKKL.
"Secara umum, kualitas laporan keuangan
pemerintah makin meningkat karena makin banyak yang mendapat WTP dari 44
entitas di 2009 menjadi 64 entitas di 2013," katanya.
Mengenai,
LKPD, BPK telah memeriksa 456 LKPD dari 524 pemerintah daerah. Dari
pemeriksaan tersebut, perolehan opininya adalah WTP sebanyak 153 LKPD
atau sebesar 33,55 persen, WDP sebanyak 276 LKPD (60,52 persen), Tidak
Wajar (TW) sebanyak 9 LKPD (1,97 persen) dan TMP sebanyak 18 LKPD (3,94
persen).
Pada semester I 2014, Harry mengatakan, BPK
memprioritaskan pemeriksaannya pada pemeriksaan keuangan karena bersifat
"mandatory audit" atau pemeriksaan sesuai mandat konstitusi yang harus
dilaksanakan BPK. Namun, kata dia, BPK tetap tidak mengurangi program
pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang
telah direncanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar