Joko Widodo (Jokowi) adalah buah pohon demokrasi Indonesia yang baru berumur 15
tahun. Kini, laki-laki 53 tahun itu mendapat mandat memimpin Indonesia,
kekuatan ekonomi terbesar Asia Tenggara, negara demokrasi ketiga
terbesar dunia, sekaligus contoh tentang kompatibilitas antara dunia
Islam dan demokrasi.
Penolakan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Prabowo Subianto atas
hasil pemilihan umum membuka jalan bagi Joko Widodo, yang kini punya
setumpuk masalah untuk diselesaikan, menjadi presiden Indonesia lima
tahun ke depan.
Tugas berat menanti Jokowi - yang oleh media Barat dijuluki Obama
Asia - karena dibalik sederet pujian itu, ia sedang mewarisi “bom
waktu”. Demikian diulas media Jerman Deutsche Welle.
Harapan Besar
Musuh terbesar Jokowi adalah ekspektasi (harapan) masyarakat,
khususnya para pendukungnya, yang terlampau besar. Ia berkuasa, saat
Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak
2009.
Salah satu faktor yang memberatkan ekonomi Indonesia adalah subsidi
Bahan Bakar Minyak (BBM), yang terus membengkak dan tahun lalu saja
menyedot Rp 210 triliun anggaran negara. Kebijakan ini sulit dicabut,
karena para politisi memilih mempertahankan subsidi untuk mendapatkan
dukungan publik.
Bulan madu mungkin akan segera berakhir. Hari-hari pertama berkuasa,
Jokowi akan segera berkutat dengan defisit anggaran. Sementara pada saat
bersamaan, masyarakat menanti janjinya: menyediakan pendidikan dan
kesehatan gratis bagi orang miskin. Dua program populer ini terancam
tidak bisa dijalankan, karena tidak ada celah anggaran tersisa.
”Sepertinya Jokowi tidak punya pilihan. Kalau tidak mencabut subsidi
BBM, tidak akan ada fiscal space untuk merealisasikan
program-programnya,” kata ekonom dari lembaga think tank CSIS, Haryo
Aswicahyono kepada Deutsche Welle.
Mengenai arah ekonomi Indonesia ke depan, Aswicahyono menilai
“Pemerintahan Jokowi tidak akan berada pada dikotomi pro atau anti
pasar. Tapi lebih ke arah pragmatisme”.
Transparan dan Toleran
Indonesia adalah salah satu negara paling korup, yang menurut indeks
Transparancy International 2013, berada di urutan 114 dari 177 dunia.
Jokowi memenangkan hati pemilih karena reputasinya yang bersih dan memberi harapan baru bagi pemberantasan korupsi.
”Hambatan terbesar yang akan dialami Jokowi… adalah perlawanan dari
internal birokrasi sendiri, yang punya jejaring kuat ke kalangan
politisi. Terbukti, saat Pemilu yang lalu, ada survei yang mendeteksi
bahwa Jokowi ditinggalkan oleh para pemilih di kalangan pegawai negeri
sipil, karena terus-menerus menyuarakan rencana membangun berbagai
sistem yang transparan dalam pengadaan barang yang selama ini rawan
korupsi” kata Metta Dharmasaputra, pengamat dari Transparency
International Indonesia.
Jika melihat rekam jejak Jokowi sebagai kepala daerah, menurut Dharmasaputra, harapan itu ada.
“Seharusnya Jokowi akan memiliki ruang gerak lebih leluasa dalam
perang melawan korupsi. Besarnya dukungan relawan, membuat biaya
kemenangannya dalam Pemilu relatif murah, sehingga tidak meninggalkan
banyak utang budi kepada partai politik dan pengusaha,“ tambah
Dharmasaputra.
Selain korupsi, Indonesia juga banyak disorot terkait masalah
toleransi, akibat meluasnya kekerasan atas kelompok agama minoritas,
selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak berani
tegas dalam mengatasi isu yang dianggap sensitif ini.
“Pada masa Yudhoyono, rakyat dengan rakyat seakan dibiarkan
berkelahi… saya kira Jokowi akan lebih berani,” kata Novriantoni Kahar,
pengamat masalah Islam dan toleransi kepada DW.
Krisis Legitimasi
Pipres 2014 meninggalkan banyak persoalan. Berbagai masalah muncul mulai dari proses pemungutan suara,
penghitungan suara hingga rekapitulasi. Profesionalisme Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dipertanyakan.
Kemenangan Jokowi-JK sebagai Presiden/Capres terpilih yang diumumkan
KPU sesuai hasil rekapitulasi, berbuntut panjang. Prabowo-Hatta yang
merasa dirugikan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), juga melapor ke
Dewan Kehormatan Penyelengga Pemilu (DKPP). Diduga terjadi kecurangan
yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Segudang alat bukti, puluhan saksi-saksi diajukan. Namun majelis
hakim MK mematahkan semua gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) pemohon, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. MK juga menyatakan tidak
ditemukan pelanggaran oleh KPU serta pasangan Jokowi-JK. Putusan ini
final dan mengikat. Artinya, kemenangan Jokowi-JK legal.
Putusan MK ini sangat berbeda dengan putusan DKPP. Dalam sidang yang
dipimpin Jimly Asshiddiqie, DKPP justru menemukan fakta-fakta
pelanggaran. Sanksi peringatan keras dijatuhkan kepada enam Komisioner
KPU Pusat, termasuk Ketua KPU Husni Kamil Malik. Sanksi pemecatan
dijatuhkan kepada Ketua KPUD Dogiyai, Papua, dan seluruh anggotanya. Dua
anggota KPUD Serang juga diberhentikan.
Dari fakta-fakta di atas, publik bisa melihat bahwa penyelenggaraan
Pilpres 2014 yang menelan biaya Rp7,9 triliun memang bermasalah. DKPP
dan MK memang lembaga yang terpisah, punya kewenangan sendiri-sendiri.
Tapi MK rupanya tidak sepaham dan tidak sejalan dengan DKPP. Semua
eksepsi yang diajukan pemohon ditolak tanpa ada catatan apapun.
Perjuangan hukum Tim Koalisi Merah Putih memang sudah di penghujung.
Namun perjuangan secara politis memasuki babak baru, di kursi parlemen.
Legalitas presiden terpilih tak bisa diganggu gugat, tapi bukan berarti
roda pemerintahan kelak bisa berjalan mulus. Pemenang Pilpres janganlah
jumawa. Ganjalan demi ganjalan bisa saja muncul bila terjadi krisis
legitimasi. Apalagi bila presiden dan kabinetnya tidak bisa menjalankan
amanat rakyat.
Palu sudah diketuk. Kita mengharapkan semua pihak dapat menghormati
keputusan MK demi persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus terus
memperjuangkan dan memperbaiki kualitas pemilu. Kita tidak berharap
terjadi krisis kepercayaan kepada KPU, Bawaslu dan institusi penegak
hukum. Semua yang terjadi adalah pembelajaran bagi kita menuju negara
demokrasi seutuhnya. Inilah sejarah perjalanan bangsa kita. [Pos Kota]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar