Kamis, 21 Agustus 2014

Jokowi, ‘Obama Asia’, Buah Pohon Demokrasi Indonesia

Joko Widodo (Jokowi) adalah buah pohon demokrasi Indonesia yang baru berumur 15 tahun. Kini, laki-laki 53 tahun itu mendapat mandat memimpin Indonesia, kekuatan ekonomi terbesar Asia Tenggara, negara demokrasi ketiga terbesar dunia, sekaligus contoh tentang kompatibilitas antara dunia Islam dan demokrasi.
Penolakan Mahkamah Konstitusi  atas gugatan Prabowo Subianto atas hasil pemilihan umum membuka jalan bagi Joko Widodo, yang kini punya setumpuk masalah untuk diselesaikan, menjadi presiden Indonesia lima tahun ke depan.
Tugas berat menanti Jokowi - yang oleh media Barat dijuluki Obama Asia - karena dibalik sederet pujian itu, ia sedang mewarisi “bom waktu”. Demikian diulas media Jerman Deutsche Welle.

Harapan Besar
Musuh terbesar Jokowi adalah ekspektasi (harapan) masyarakat, khususnya para pendukungnya, yang terlampau besar. Ia berkuasa, saat Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak 2009.
Salah satu faktor yang memberatkan ekonomi Indonesia adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), yang terus membengkak dan tahun lalu saja menyedot Rp 210 triliun anggaran negara. Kebijakan ini sulit dicabut, karena para politisi memilih mempertahankan subsidi untuk mendapatkan dukungan publik.
Bulan madu mungkin akan segera berakhir. Hari-hari pertama berkuasa, Jokowi akan segera berkutat dengan defisit anggaran. Sementara pada saat bersamaan, masyarakat menanti janjinya: menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis bagi orang miskin. Dua program populer ini terancam tidak bisa dijalankan, karena tidak ada celah anggaran tersisa.
”Sepertinya Jokowi tidak punya pilihan. Kalau tidak mencabut subsidi BBM, tidak akan ada fiscal space untuk merealisasikan program-programnya,” kata ekonom dari lembaga think tank CSIS, Haryo Aswicahyono kepada Deutsche Welle.
Mengenai arah ekonomi Indonesia ke depan, Aswicahyono menilai “Pemerintahan Jokowi tidak akan berada pada dikotomi pro atau anti pasar. Tapi lebih ke arah pragmatisme”.

Transparan dan Toleran
Indonesia adalah salah satu negara paling korup, yang menurut indeks Transparancy International 2013, berada di urutan 114 dari 177 dunia.
Jokowi memenangkan hati pemilih karena reputasinya yang bersih dan memberi harapan baru bagi pemberantasan korupsi.
”Hambatan terbesar yang akan dialami Jokowi… adalah perlawanan dari internal birokrasi sendiri, yang punya jejaring kuat ke kalangan politisi. Terbukti, saat Pemilu yang lalu, ada survei yang mendeteksi bahwa Jokowi ditinggalkan oleh para pemilih di kalangan pegawai negeri sipil, karena terus-menerus menyuarakan rencana membangun berbagai sistem yang transparan dalam pengadaan barang yang selama ini rawan korupsi” kata Metta Dharmasaputra, pengamat dari Transparency International Indonesia.
Jika melihat rekam jejak Jokowi sebagai kepala daerah, menurut Dharmasaputra, harapan itu ada.
“Seharusnya Jokowi akan memiliki ruang gerak lebih leluasa dalam perang melawan korupsi. Besarnya dukungan relawan, membuat biaya kemenangannya dalam Pemilu relatif murah, sehingga tidak meninggalkan banyak utang budi kepada partai politik dan pengusaha,“ tambah Dharmasaputra.
Selain korupsi, Indonesia juga banyak disorot terkait masalah toleransi, akibat meluasnya kekerasan atas kelompok agama minoritas, selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak berani tegas dalam mengatasi isu yang dianggap sensitif ini.
“Pada masa Yudhoyono, rakyat dengan rakyat seakan dibiarkan berkelahi… saya kira Jokowi akan lebih berani,” kata Novriantoni Kahar, pengamat masalah Islam dan toleransi kepada DW. 

Krisis Legitimasi
Pipres 2014 meninggalkan banyak persoalan. Berbagai masalah muncul mulai dari proses pemungutan suara, penghitungan suara hingga rekapitulasi. Profesionalisme Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipertanyakan.
Kemenangan Jokowi-JK sebagai Presiden/Capres terpilih yang diumumkan KPU sesuai hasil rekapitulasi, berbuntut panjang. Prabowo-Hatta yang merasa dirugikan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), juga melapor ke Dewan Kehormatan Penyelengga Pemilu (DKPP). Diduga terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Segudang alat bukti, puluhan saksi-saksi diajukan.  Namun majelis hakim MK mematahkan semua gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemohon, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. MK juga menyatakan tidak ditemukan pelanggaran oleh KPU serta pasangan Jokowi-JK. Putusan ini final dan mengikat. Artinya, kemenangan Jokowi-JK legal.
Putusan MK ini sangat berbeda dengan putusan DKPP. Dalam sidang yang dipimpin Jimly Asshiddiqie, DKPP justru menemukan fakta-fakta pelanggaran. Sanksi peringatan keras dijatuhkan kepada enam Komisioner KPU Pusat, termasuk Ketua KPU Husni Kamil Malik.  Sanksi pemecatan dijatuhkan kepada Ketua KPUD Dogiyai, Papua, dan seluruh anggotanya. Dua anggota KPUD Serang juga diberhentikan.
Dari fakta-fakta di atas, publik bisa melihat bahwa penyelenggaraan Pilpres 2014 yang menelan biaya Rp7,9 triliun memang bermasalah. DKPP dan MK memang lembaga yang terpisah, punya kewenangan sendiri-sendiri. Tapi MK rupanya tidak sepaham dan tidak sejalan dengan DKPP. Semua eksepsi yang diajukan pemohon ditolak tanpa ada catatan apapun.
Perjuangan hukum Tim Koalisi Merah Putih  memang sudah di penghujung. Namun perjuangan secara politis memasuki babak baru, di kursi parlemen. Legalitas presiden terpilih tak bisa diganggu gugat, tapi bukan berarti roda pemerintahan kelak bisa berjalan mulus. Pemenang Pilpres janganlah jumawa. Ganjalan demi ganjalan bisa saja muncul bila terjadi krisis legitimasi. Apalagi bila presiden dan kabinetnya tidak bisa menjalankan amanat rakyat.
Palu sudah diketuk. Kita mengharapkan semua pihak dapat menghormati keputusan MK demi persatuan dan kesatuan bangsa. Kita harus terus memperjuangkan dan memperbaiki kualitas pemilu. Kita tidak berharap terjadi krisis kepercayaan kepada KPU, Bawaslu dan institusi penegak hukum.  Semua yang terjadi adalah pembelajaran bagi kita menuju negara demokrasi seutuhnya. Inilah sejarah perjalanan bangsa kita.  [Pos Kota]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar