Sabtu, 02 November 2013

Soal Upah Buruh Kadang Dimanfaatkan untuk Kepentingan Politik

Ikhsan Mojo, Pengamat Politik, mengatakan permasalahan upah buruh sudah menjadi komoditas politik oleh pemerintah. Ikhsan mengatakan kenaikan upah buruh dari tahun ke tahun pergerakannya sangat dipengaruhi Pemilukada.
"Apalagi dengan  otonomi daerah biasanya jelas banget keliatan. Ada pergerakan dari tingkat UMP menurut saya nggak random mengikuti pergerakan pemilukada dan pileg," kata Ikshan dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (2/11/2013).
Ikhsan pun mencontohkan  upah minim provinsi (UMP) yang dinaikkan pada tahun 2013 saat Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Tahun 2005-2012, kata Ikhsan, kenaikan upah sangat random. Tahun 2005 kenaikan upah 6 persen, 2007 9,9 persen dan 2012 naik 18,35 persen dan tahun 2013 naik 48,8 persen.
"2014 dipaksakan naik 3,7 juta atau 68 persen. Kemarin gubernur dan wakil gubernur menaikkan hanya 2,4 juta. Jelas sekali ada namanya politisasi kebijakan upah. Jadi kadang-kadang ini yang pertama yang tidak disukai investor pengusaha dan bukan sewenang-wenang permaslaahan dilemparkan ke buruh. Memang negara termasuk pemerintah daerah punya kontribusi di sana," ungkap Ikhsan.
Menurut Ikhsan, kebijakan yang dilakukan pemerintah provinsid DKI Jakarta pada tahun 2012 yang mengikuti kemauan buruh menaikkan upah hampir 50 persen ternyata keliru. Akibat kebijakan tersebut, banyak perusahaan di Jakarta yang hengkang ke daerah lain atau ke luar negeri.
Ikhsan menambahkan, selain permasalahan politisasi, pengupahan buruh juga perlu kepastian dan stabilitas. Ikhsan menguitp Inpres 9 Tahun 2013 dimana pengupahan tidak boleh lebih 10 persen dari inflasi.
"Ada 6 persen inflasi, (gaji buruh) naik 16 persen oke wajar. Kalau 9 persen inflasi (gaji buruh) naik 68 persen agak jomplang juga.
Silahkan elaborasi inpres nomor 9 tahun 2013 diterapkan," tegasnya.

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar