Politik dalam bentuknya yang sangat sederhana dan dasar adalah bahasa yang digunakan untuk memenangi pertarungan, menegosiasikan kepentingan, meningkatkan pengaruh dan kuasa, atau menjalankan kekuasaan dengan berbagai kepentingan yang melingkupi dan meliputinya.
Dalam bahasa sederhana, politik adalah kata ”perintah” dari yang berkuasa dan bahasa ”pemerintah” yang menjadi alat kekuasaan hadir atau memungkinkan keberadaannya. Inilah politik.
Dan beberapa tahun ini, dari Kota Solo, kamus politik Indonesia ditambahi satu kosakata penting, ampuh, menggegerkan, sekaligus mengejek, dan mengkritik perilaku politik: blusukan.
Kita tidak tahu siapa yang pertama kali mencetuskan kata ini dalam kehidupan politik di Indonesia khususnya di Kota Solo yang kemudian menjadi kosakata politik penting secara nasional terutama sejak Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Tapi, satu kata ini seakan begitu magis, lekat, dan sangat akurat untuk menggambarkan sosok dan perilaku politik Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta. Keakuratan ini bukan lantaran secara makna/semantis lebih tepat untuk menggambarkan keadaan atau perilaku kepemimpinan Jokowi, tapi karena sudah begitu masif menjadi kosakata pemberitaan media massa dan menurut para wartawan media massa begitu lekat dengan perilaku kepemimpinan Jokowi.
Tentu saja, seperti pernah dikatakan Garin Nugroho dalam satu tulisan di media massa nasional, kita sebenarnya lebih pas menggunakan kata bludhusan ketimbang blusukan untuk perilaku Jokowi. Bludhusan adalah tindakan yang jauh lebih berani, lebih bersifat spontan yang tanpa direncanakan, seakan seketika dilakukan, dengan penjelajahan keluar yang lebih luas, dan dengan tanpa takut tersesat, tertangkap, dan sebagainya.
Bludhusan lebih tepat untuk menggambarkan perilaku kepemimpinan politik Jokowi terutama saat Jokowi menangani banjir di Jakarta tahun lalu daripada blusukan yang sifatnya jauh di bawah bludhusan. Efek pembesaran secara masif yang dilakukan media massa terhadap kata blusukan ini memang mengagumkan sebenarnya.
Kata blusukan membuat satu model, parameter, dan sekaligus kritik terhadap bentuk-bentuk kepemimpinan politik di Indonesia beberapa waktu terakhir ini. Dari sekian ribu pemimpin politik di Indonesia, dari tingkat lokal sampai nasional, saya sangat yakin tidak mungkin hanya Jokowi yang melakukan laku blusukan sebagai bentuk kepemimpinannya.
Saat mereka mengendarai mobil, atau berjalan, dan gerak lainnya, kita bisa membuat prediksi kasar bahwa tidak mungkin mereka tidak pernah memperhatikan rakyat yang mereka pimpin. Setidaknya pastil mereka pernah sekali memikirkan, meski tidak langsung bertindak sendiri di tempat itu juga.
Tapi, dari semua pemimpin politik, hanya Jokowi yang memiliki kata yang sangat praktis dan konkret ini: blusukan. Dan inilah sebenarnya yang dibutuhkan dalam politik. Bahasa yang seperti petuah George Orwell bersifat praktis, pendek, konkret yang bukan metafor, berbentuk kata aktif, dan bahasa yang merakyat (bagi warga Jawa) atau bukan bahasa asing yang diimpor yang sering terlalu abstrak untuk rakyat (Jones dan Wareing, 2007: 64).
Dengan itu, seakan semua yang dilakukan benar-benar terlaksana dan mudah dipahami rakyat. Apalagi jika tindakan itu mengandung unsur dramatis yang memikat. Inilah yang akan dilakukan media massa: memberitakan, memberitakan, dan memberitakan. Sepotong kata akan memengaruhi persepsi rakyat bahkan si pemimpin untuk benar-benar melakukan apa isi kata itu karena ditunggu rakyat.
Tidak Fantastis
Kita sebenarnya bisa menghitung jumlah laku blusukan Jokowi dalam setahun, yang berdasarkan pengamatan saya, tidak begitu fantastis karena memang sifatnya insidental, namun karena kata ini sudah begitu meyakinkan, efeknya memang besar dan membangkitkan kepercayaan rakyat.
Jokowi tinggal melakukan sebagaimana mestinya sebagai pejabat dan pemimpin untuk meneguhkan kata ini dan sosok kepemimpinannya. Dan inilah yang membuat Jokowi sangat populer, sehingga secara gegabah hendak dicontoh oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono yang malah mendapatkan cibiran rakyat.
Efeknya memang tidak hanya itu. Kita seakan mendapatkan sosok pemimpin demokrasi yang paling asli, paling merakyat, meski sebenarnya ini hanya satu bentuk kepemimpinan. Apalagi model kepemimpinan ini seakan menjadi antitesis dan kritik terhadap gaya kepemimpinan yang selama ini terlalu birokratis, lambat, dan seperti tidak ada persentuhan dan perjumpaan dengan rakyat.
Gaya/model kepemimpinan ini seakan menjadi barometer kepemimpinan tanpa hendak melihat permasalahan, besarnya kapasitas kebijakan, sejauh mana pandangan dan pengaruhnya ke depan, dan sebagainya. Untuk saat ini, entah sampai kapan, gaya kepemimpinan ini masih akan menjadi tren yang sangat diharapkan rakyat.
Bahasa blusukan yang sudah menjadi bahasa baku politik pada akhirnya juga menyerang bahasa-bahasa politik lainnya yang disebarkan para politikus dalam berbagai spanduk politik. Selama ini bahasa spanduk atau bahasa iklan politik yang menjadi media propaganda partai dan tokoh politik masih tetap menggunakan bahasa yang sudah terlalu sering direproduksi dan diulangi terus.
Yang menjadi fokus utamanya adalah foto wajah dan senyum para politikus yang sering manipulatif akibat efek teknologi. Bahasa gambar adalah bahasa yang statis, bahasa yang diam; bahasa kata adalah bahasa yang bergerak, yang menjelajah, bahasa yang ditaruh di kaki dan tangan.
Secara umum kekuatan bahasa sebenarnya jauh lebih kuat dan lebih mendalam pengaruhnya terhadap manusia daripada gambar. Kata-kata menggerakkan sistem berpikir dan gerak hati manusia yang pada akhirnya akan memengaruhi perilaku dan tindakan manusia. Demikianlah, bagi sebagian besar agama, alat pemengaruh iman adalah kata-kata, bukan gambar.
Dan saat ini kita barangkali bisa menduga memang pada akhirnya rakyat mengenal para politikus hanya sekadar gambar/foto dan namanya, dan jarang sekali yang mengenal serta mengingat kata-kata politikus. Tentu saja ini sedikit banyak bisa mengurangi kuasa, aura, dan wibawa seorang politikus. Meskipun kuasa gambar memang adalah kuasa untuk tidak menimbulkan perlawanan frontal.
Dan propaganda/kampanye politik yang terlalu didominasi gambar/foto ini sebenarnya lebih banyak merugikan rakyat dalam bersikap kritis. Dalam spanduk politik, rakyat tidak pernah bisa memorak-porandakan atau menghancurkan kata-kata seorang politikus, meskipun mereka bisa dengan gampang menodai, merusak, menjungkirbalikkan gambar seorang politikus.
Tapi, ini tidak bisa membuat seorang politikus ternoda, terkoreksi, dan sebagainya karena secara moral tidak terkena dan terongrong. Bahasa gambar yang mengantarkan pesan dan kuasa politik tidak terusik sama sekali. Jika pemikiran tidak terusik, tidak terkoreksi, dan tidak dipertentangkan pada laku politik, tindakan politik juga tidak bisa berubah dan diubah.
Saat kata blusukan hadir dalam kosakata politik Indonesia, efek yang kemudian timbul adalah partisipasi publik dalam mendukung, menyukseskan kebijakan politik yang mengikuti alur pemikiran politik blusukan, meskipun dalam blusukan pelakunya penguasa.
Saat penguasa bekerja pada tataran praktis yang sangat dekat dengan masyarakat, secara umum masyarakat juga akan ikut bekerja. Ini adalah semacam katarsis, pelega dahaga, yang selama ini tidak bisa mereka dapatkan dari propaganda/kampanye politik yang lebih banyak didominasi gambar/foto.
Akhirnya, saat ini kita semua meminta dan mengharapkan kata-kata yang ditaruh di tangan, kaki, badan, dan kepala para politikus yang terus bergerak, kata-kata yang berjalan di tempat-tempat rakyat hidup, kata-kata yang berada di tangan untuk merengkuh dan mewujudkan kehendak rakyat, kata-kata yang sebenarnya sesederhana blusukan-bludhusan, apalagi jika dilakukan calon pemimpin.
Sumber :
solopos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar