Selasa, 10 September 2013

Benar-benar Relakah Jokowi "Tinggalkan" Jakarta pada 2014?

Joko Widodo (Jokowi) boleh saja menjadi pemuncak di beragam survei untuk menjadi kandidat Presiden pada 2014. Namun, terselip di antara rakyat, yang mungkin tak pernah terpilih menjadi responden survei, harapan lain untuk Gubernur DKI Jakarta itu.
"(Nyapres-nya) nanti saja, setelah dia menepati janji-janjinya di Jakarta," harap Agnes Komala Dewi (59), ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, dia melihat banyak persoalan yang masih butuh penanganan Jokowi.
Menurut Dewi, selama ini beragam persoalan tak teratasi dari waktu ke waktu, dari satu gubernur ke gubernur berikutnya. Mulai dari masalah macet, banjir, sampah, pedagang kaki lima, dan amburadulnya birokrasi.
Dewi melihat sosok Jokowi mampu mengurai satu persoalan itu. Menurut dia, dalam bahasa analogi, Jokowi punya kemampuan untuk mengurai satu per satu benang kusut itu, bahkan mungkin "mengguntingnya" hingga masalah itu tuntas."Yang saya nggak habis pikir itu Tanah Abang bisa diapain itu sampai bersih dari PKL dan lancar. Benar-benar sulit dipercaya rasanya ngatur orang di sana pasti buanyak begitu," ungkap Dewi kagum.

Jangan jadi "pernikahan dini"...
Pendapat serupa juga datang dari Agung Basuki (43), salah satu karyawan swasta di Jakarta. Bila Jokowi "dipaksakan" menjadi calon presiden pada 2014, dia menganalogikannya dengan cerita sinetron yang booming pada era 2000-an, Pernikahan Dini.
Tanpa mengurangi pengakuan atas kinerja Jokowi, Agung berpendapat bahwa belum saatnya bagi Jokowi untuk naik ke tampuk pimpinan nasional. "Scoop (kinerja Jokowi) masih kecil, belum luas untuk jadi pemimpin nasional. Seperti perkawinan (bila dipaksakan mencalonkan Jakarta) akan menjadi pernikahan dini," kata dia.
Menurut Agung, menyelesaikan masalah Jakarta adalah ujian kepemimpinan bagi Jokowi sebelum naik level nasional. Namun, dia pun tak memungkiri bahwa dari hampir semua pemimpin Indonesia sampai saat ini, baru Soekarno yang benar-benar menjalani ujian sebelum menjadi pemimpin nasional.
"Ini justru momentum untuk menguji secara langsung calon pemimpin. Jika Jokowi berhasil menata Jakarta, saya yakin masyarakat Indonesia tak akan mengalihkan pilihannya ke calon lain dalam pemilu presiden," papar Agung dengan berapi-api.
Dari kalangan mahasiswa, Ryan Wicaksana (22) berharap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak buru-buru mendapuk Jokowi maju menjadi calon presiden. "Bu Mega enggak usah buru-buru sebenarnya. Ia harus yakin Jokowi pasti menang (dan) jadi. Mendingan tunggu di periode yang selanjutnya saja," ujar dia.

Masih terlalu emosionalEntah beberapa warga yang secara acak ditanya Kompas.com, mereka adalah "anomali" atau justru gambaran sesungguhnya dari rakyat yang tak cuma sejumlah responden survei. Dukungan untuk Jokowi seolah membanjir dari segala penjuru. Tak terkecuali ketika PDI Perjuangan menggelar rapat kerja nasional di Ancol, Jakarta, 6-8 September 2013.
Bila pada momentum serupa sebelumnya dukungan hampir pasti mengarah kepada Megawati untuk dicalonkan kembali menjadi RI-1, rakernas kali ini memunculkan aura seolah-olah Jokowi adalah kandidat tunggal yang dimiliki partai ini.
Hanya, partai tersebut masih harus cukup bersabar, untuk tak begitu saja mendeklarasikan Jokowi atau siapa pun kandidat yang akan diusungnya dalam Pemilu Presiden 2014. Siapa pun yang akan dicalonkan, mereka berkilah butuh momentum yang benar-benar tepat untuk pendeklarasian. Megawati dalam pernyataannya pun mengatakan, PDI Perjuangan baru akan memutuskan calon presiden yang akan diusung setelah ada hasil Pemilu Legislatif 2014.
"Masih terlalu emosional untuk mendukung Jokowi sekarang. Publik perlu diajak rasional karena masyarakat kita berubah-ubah juga," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira di sela-sela Rakernas PDI Perjuangan. Tersirat, partai ini tak mau terantuk tiga kali gagal memenangi pemilu, meski seolah-olah kemenangan sudah di depan mata seperti pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Maka dari itu, ibarat sinetron pula, akhir kata dari apakah Jokowi akan tetap menjadi Gubernur DKI sampai 2017 atau "naik kelas" berlaga ke kursi kepemimpinan nasional, hal itu benar-benar menanti momentum tepat untuk mencapai klimaks.
Setidaknya, pertanyaan hari ini adalah, benar-benar relakah semua warga Jakarta "ditinggalkan" gubernurnya ketika mereka ada di tengah harapan bahwa akhirnya ada juga yang bisa menata Jakarta. Sepertinya memang harus menunggu waktu dan momentum untuk mendapatkan jawabannya.

Sumber :
kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar