Joko Widodo (Jokowi) boleh saja menjadi pemuncak di beragam survei untuk menjadi
kandidat Presiden pada 2014. Namun, terselip di antara rakyat, yang
mungkin tak pernah terpilih menjadi responden survei, harapan lain untuk
Gubernur DKI Jakarta itu.
"(Nyapres-nya) nanti saja,
setelah dia menepati janji-janjinya di Jakarta," harap Agnes Komala Dewi
(59), ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Pasar Rebo, Jakarta
Timur. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, dia melihat banyak
persoalan yang masih butuh penanganan Jokowi.
Menurut Dewi,
selama ini beragam persoalan tak teratasi dari waktu ke waktu, dari satu
gubernur ke gubernur berikutnya. Mulai dari masalah macet, banjir,
sampah, pedagang kaki lima, dan amburadulnya birokrasi.
Dewi
melihat sosok Jokowi mampu mengurai satu persoalan itu. Menurut dia,
dalam bahasa analogi, Jokowi punya kemampuan untuk mengurai satu per
satu benang kusut itu, bahkan mungkin "mengguntingnya" hingga masalah
itu tuntas."Yang saya nggak habis pikir itu Tanah Abang bisa diapain itu sampai bersih dari PKL dan lancar. Benar-benar sulit dipercaya rasanya ngatur orang di sana pasti buanyak begitu," ungkap Dewi kagum.
Jangan jadi "pernikahan dini"...
Pendapat
serupa juga datang dari Agung Basuki (43), salah satu karyawan swasta
di Jakarta. Bila Jokowi "dipaksakan" menjadi calon presiden pada 2014,
dia menganalogikannya dengan cerita sinetron yang booming pada era 2000-an, Pernikahan Dini.
Tanpa
mengurangi pengakuan atas kinerja Jokowi, Agung berpendapat bahwa belum
saatnya bagi Jokowi untuk naik ke tampuk pimpinan nasional. "Scoop
(kinerja Jokowi) masih kecil, belum luas untuk jadi pemimpin nasional.
Seperti perkawinan (bila dipaksakan mencalonkan Jakarta) akan menjadi
pernikahan dini," kata dia.
Menurut Agung, menyelesaikan masalah
Jakarta adalah ujian kepemimpinan bagi Jokowi sebelum naik level
nasional. Namun, dia pun tak memungkiri bahwa dari hampir semua pemimpin
Indonesia sampai saat ini, baru Soekarno yang benar-benar menjalani
ujian sebelum menjadi pemimpin nasional.
"Ini justru momentum
untuk menguji secara langsung calon pemimpin. Jika Jokowi berhasil
menata Jakarta, saya yakin masyarakat Indonesia tak akan mengalihkan
pilihannya ke calon lain dalam pemilu presiden," papar Agung dengan
berapi-api.
Dari kalangan mahasiswa, Ryan Wicaksana (22) berharap
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri
tak buru-buru mendapuk Jokowi maju menjadi calon presiden. "Bu Mega
enggak usah buru-buru sebenarnya. Ia harus yakin Jokowi pasti menang
(dan) jadi. Mendingan tunggu di periode yang selanjutnya saja," ujar dia.
Masih terlalu emosionalEntah beberapa warga yang secara acak ditanya Kompas.com,
mereka adalah "anomali" atau justru gambaran sesungguhnya dari rakyat
yang tak cuma sejumlah responden survei. Dukungan untuk Jokowi seolah
membanjir dari segala penjuru. Tak terkecuali ketika PDI Perjuangan
menggelar rapat kerja nasional di Ancol, Jakarta, 6-8 September 2013.
Bila
pada momentum serupa sebelumnya dukungan hampir pasti mengarah kepada
Megawati untuk dicalonkan kembali menjadi RI-1, rakernas kali ini
memunculkan aura seolah-olah Jokowi adalah kandidat tunggal yang
dimiliki partai ini.
Hanya, partai tersebut masih harus cukup
bersabar, untuk tak begitu saja mendeklarasikan Jokowi atau siapa pun
kandidat yang akan diusungnya dalam Pemilu Presiden 2014. Siapa pun yang
akan dicalonkan, mereka berkilah butuh momentum yang benar-benar tepat
untuk pendeklarasian. Megawati dalam pernyataannya pun mengatakan, PDI
Perjuangan baru akan memutuskan calon presiden yang akan diusung setelah
ada hasil Pemilu Legislatif 2014.
"Masih terlalu emosional untuk
mendukung Jokowi sekarang. Publik perlu diajak rasional karena
masyarakat kita berubah-ubah juga," ujar Ketua DPP PDI Perjuangan
Andreas Hugo Pareira di sela-sela Rakernas PDI Perjuangan. Tersirat,
partai ini tak mau terantuk tiga kali gagal memenangi pemilu, meski
seolah-olah kemenangan sudah di depan mata seperti pada Pemilu 2004 dan
Pemilu 2009.
Maka dari itu, ibarat sinetron pula, akhir kata dari
apakah Jokowi akan tetap menjadi Gubernur DKI sampai 2017 atau "naik
kelas" berlaga ke kursi kepemimpinan nasional, hal itu benar-benar
menanti momentum tepat untuk mencapai klimaks.
Setidaknya,
pertanyaan hari ini adalah, benar-benar relakah semua warga Jakarta
"ditinggalkan" gubernurnya ketika mereka ada di tengah harapan bahwa
akhirnya ada juga yang bisa menata Jakarta. Sepertinya memang harus
menunggu waktu dan momentum untuk mendapatkan jawabannya.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar