Selasa, 25 Juni 2013

Opini: Dilema Jokowi, Presiden atau Gubernur

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menghadapi dilema: apakah memenuhi permintaan banyak pihak untuk mencalonkan diri menjadi presiden, atau memenuhi janji kepada para pendukung untuk tetap memimpin Jakarta sampai tuntas. Dilema Jokowi ini bisa kita lihat dari jawaban atas pertanyaan wartawan tentang pencalonan presiden.
Semula Jokowi mengaku tidak peduli dengan permintaan beberapa kalangan agar dirinya maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2014 nanti. Jokowi juga tidak peduli dengan hasil survei yang menunjukkan namanya terus menduduki posisi teratas sebagai calon presiden yang dikehendaki rakyat, mengalahkan Prabowo dan Megawati.
Namun belakangan jawaban Jokowi mulai berubah. Dalam beberapa kesempatan dia bilang, tentang pencalonan presiden bukan urusannya, tapi urusan partai politik. Pekan lalu jawabannya berubah lagi. Katanya, soal pencalonan presiden adalah urusan Ketua Umum PDIP Megawati. Pernyataan ini bisa ditafsirkan, bahwa sebagai kader PDIP, Jokowi tunduk pada perintah ketua umum partainya.
Sampai saat ini belum ada kepastian, apakah Megawati akan mencalonkan diri kembali dalam pemilu presiden mendatang, atau tidak. Bagi PDIP semua itu tergantung pada keputusan Megawati seorang. Namun kiranya Megawati menyadari, bahwa kekalahan dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, adalah bukti rakyat tidak lagi menerimanya sebagai presiden.
Itu artinya, jika PDIP ingin menguasai pemerintahan nasional, mengajukan kembali Megawati adalah pilihan terakhir. Memang betul, Megawati masih menduduki posisi atas dalam survei calon presiden. Namun dalam setahun terakhir, namanya kalah dengan Prabowo. Bahkan dalam enam bulan terakhir namanya disalip Jokowi.
Oleh karena itu, pilihan paling rasional bagi PDIP adalah mencalonkan Jokowi. Memang ada Puan Maharani yang digadang gadang almarhum Taufiq Kiemas sebagai calon pemimpin masa depan. Tapi Puan hanya dikenal orang PDIP. Namanya tak pernah muncul dalam survei, demikian juga dengan nama Pramono Anung.
Kini tergantung pada Megawati: terus terobsesi menjadi presiden, atau mendorong Jokowi mencalonkan diri. Jika pilihan pertama diambil, kemungkinan memenangkan pemilihan presiden sangat tipis karena sudah dua kali kalah dan kalah juga dalam survei dengan Prabowo. Jika pilihan kedua yang ditempuh, peluangnya sangat besar karena saat ini rakyat di luar Jakarta juga ingin dipimpin Jokowi.
Sinyal bahwa Megawati tidak akan lagi maju sebagai calon presiden sebetulnya sudah mulai terlihat. Beberapa kali dia bilang agar Indonesia dipimpin oleh orang muda. Hal ini tidak hanya dinyatakan, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk keputusan politik partai, yakni mengajukan calon-calon muda dalam pilkada. Apakah hal ini juga berlaku bagi calon PDIP dalam pemilu presiden nanti?
Jawabannya sangat mungkin. Pertama, terlihat dari jawaban Jokowi yang mulai berubah: dari tak peduli pencalonan presiden menjadi calon presiden PDIP urusan Megawati. Bagaimanapun sebagai kader yang baik, Jokowi tidak mungkin tidak mengikuti garis partai, atau lebih tepatnya tidak mungkin tidak mengikuti perintah Megawati.
Kedua, dalam beberapa kesempatan penting, Jokowi tampak bersama Megawati. Yang paling menonjol adalah sepulang dari pemakaman Taufiq Kiemas di Kalibata. Saat itu, ternyata Jokowi diminta masuk dalam mobil Megawati bersama keluarganya. Tentu ini tidak hanya dibaca bahwa Jokowi sudah dianggap keluarga Megawati. Lebih dari itu, Jokowi akan mendapat pesan khusus dari Megawati: bersiaplah menjadi calon presiden.
Nah, jika semakin hari semakin jelas, bahwa Megawati hendak mendorong Jokowi menjadi calon presiden, lalu bagaimana dengan posisinya sebagai gubernur Jakarta? Bukankah Jokowi berjanji menuntaskan jabatannya sebagai gubernur? Bukankah Jokowi belum mewujudkan janji-janjinya untuk membangun Jakarta baru yang lebih adil dan lebih sejahtera buat warganya?
Baru setahun memimpin Jakarta, memang sudah banyak yang dicapai Jokowi: memulai membangun MRT dan monorail, merehabilitasi waduk dan sungai, menerbitkan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, membenahi birokrasi dengan lelang jabatan, menggelar pesta rakyat, dll. Tetapi semua itu jelas belum cukup untuk menciptakan Jakarta Baru sebagaimana Jokowi janjikan bersama Ahok.
Tetapi, kalau rakyat di luar Jakarta menghendaki agar dia jadi presiden, lalu Megawati dan PDIP memintanya maju dalam pemilu presiden mendatang, apakah Jokowi kuasa menolaknya? Apakah Jokowi bisa bersikap tidak peduli atas harapan rakyat untuk memiliki presiden berwajah dan berjiwa kerakyatan?


Sumber :
merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar