Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menghadapi dilema: apakah memenuhi
permintaan banyak pihak untuk mencalonkan diri menjadi presiden, atau
memenuhi janji kepada para pendukung untuk tetap memimpin Jakarta sampai
tuntas. Dilema Jokowi ini bisa kita lihat dari jawaban atas pertanyaan
wartawan tentang pencalonan presiden.
Semula Jokowi mengaku tidak
peduli dengan permintaan beberapa kalangan agar dirinya maju menjadi
calon presiden pada Pemilu 2014 nanti. Jokowi juga tidak peduli dengan
hasil survei yang menunjukkan namanya terus menduduki posisi teratas
sebagai calon presiden yang dikehendaki rakyat, mengalahkan Prabowo dan
Megawati.
Namun belakangan jawaban Jokowi mulai berubah. Dalam
beberapa kesempatan dia bilang, tentang pencalonan presiden bukan
urusannya, tapi urusan partai politik. Pekan lalu jawabannya berubah
lagi. Katanya, soal pencalonan presiden adalah urusan Ketua Umum PDIP
Megawati. Pernyataan ini bisa ditafsirkan, bahwa sebagai kader PDIP,
Jokowi tunduk pada perintah ketua umum partainya.
Sampai saat ini
belum ada kepastian, apakah Megawati akan mencalonkan diri kembali
dalam pemilu presiden mendatang, atau tidak. Bagi PDIP semua itu
tergantung pada keputusan Megawati seorang. Namun kiranya Megawati
menyadari, bahwa kekalahan dalam Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, adalah
bukti rakyat tidak lagi menerimanya sebagai presiden.
Itu
artinya, jika PDIP ingin menguasai pemerintahan nasional, mengajukan
kembali Megawati adalah pilihan terakhir. Memang betul, Megawati masih
menduduki posisi atas dalam survei calon presiden. Namun dalam setahun
terakhir, namanya kalah dengan Prabowo. Bahkan dalam enam bulan terakhir
namanya disalip Jokowi.
Oleh karena itu, pilihan paling rasional
bagi PDIP adalah mencalonkan Jokowi. Memang ada Puan Maharani yang
digadang gadang almarhum Taufiq Kiemas sebagai calon pemimpin masa
depan. Tapi Puan hanya dikenal orang PDIP. Namanya tak pernah muncul
dalam survei, demikian juga dengan nama Pramono Anung.
Kini
tergantung pada Megawati: terus terobsesi menjadi presiden, atau
mendorong Jokowi mencalonkan diri. Jika pilihan pertama diambil,
kemungkinan memenangkan pemilihan presiden sangat tipis karena sudah dua
kali kalah dan kalah juga dalam survei dengan Prabowo. Jika pilihan
kedua yang ditempuh, peluangnya sangat besar karena saat ini rakyat di
luar Jakarta juga ingin dipimpin Jokowi.
Sinyal bahwa Megawati
tidak akan lagi maju sebagai calon presiden sebetulnya sudah mulai
terlihat. Beberapa kali dia bilang agar Indonesia dipimpin oleh orang
muda. Hal ini tidak hanya dinyatakan, tetapi juga diwujudkan dalam
bentuk keputusan politik partai, yakni mengajukan calon-calon muda dalam
pilkada. Apakah hal ini juga berlaku bagi calon PDIP dalam pemilu
presiden nanti?
Jawabannya sangat mungkin. Pertama, terlihat dari
jawaban Jokowi yang mulai berubah: dari tak peduli pencalonan presiden
menjadi calon presiden PDIP urusan Megawati. Bagaimanapun sebagai kader
yang baik, Jokowi tidak mungkin tidak mengikuti garis partai, atau lebih
tepatnya tidak mungkin tidak mengikuti perintah Megawati.
Kedua,
dalam beberapa kesempatan penting, Jokowi tampak bersama Megawati. Yang
paling menonjol adalah sepulang dari pemakaman Taufiq Kiemas di
Kalibata. Saat itu, ternyata Jokowi diminta masuk dalam mobil Megawati
bersama keluarganya. Tentu ini tidak hanya dibaca bahwa Jokowi sudah
dianggap keluarga Megawati. Lebih dari itu, Jokowi akan mendapat pesan
khusus dari Megawati: bersiaplah menjadi calon presiden.
Nah,
jika semakin hari semakin jelas, bahwa Megawati hendak mendorong Jokowi
menjadi calon presiden, lalu bagaimana dengan posisinya sebagai gubernur
Jakarta? Bukankah Jokowi berjanji menuntaskan jabatannya sebagai
gubernur? Bukankah Jokowi belum mewujudkan janji-janjinya untuk
membangun Jakarta baru yang lebih adil dan lebih sejahtera buat
warganya?
Baru setahun memimpin Jakarta, memang sudah banyak yang
dicapai Jokowi: memulai membangun MRT dan monorail, merehabilitasi
waduk dan sungai, menerbitkan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta
Pintar, membenahi birokrasi dengan lelang jabatan, menggelar pesta
rakyat, dll. Tetapi semua itu jelas belum cukup untuk menciptakan
Jakarta Baru sebagaimana Jokowi janjikan bersama Ahok.
Tetapi,
kalau rakyat di luar Jakarta menghendaki agar dia jadi presiden, lalu
Megawati dan PDIP memintanya maju dalam pemilu presiden mendatang,
apakah Jokowi kuasa menolaknya? Apakah Jokowi bisa bersikap tidak peduli
atas harapan rakyat untuk memiliki presiden berwajah dan berjiwa
kerakyatan?
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar