Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar bandar narkoba dihukum mati karena sangat merugikan bagi bangsa dan negara. Dia pun menyambangi tokoh-tokoh ormas Islam untuk meminta pandangan terkait hal tersebut.
Jokowi langsung bertemu dengan Ketua PBNU Said Aqil Siroj untuk membahas terkait hal tersebut dari sisi Islam.
Jokowi ingin negara lebih tegas dalam menghukum bandar narkoba.
"Kami menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan hukuman mati terutama untuk pengedar narkoba. Di situ kami mohon pandangan dari NU," kata Jokowi.
Namun sayang, pandangan Jokowi tentang bandar narkoba tidak sejalan dengan hukuman mati bagi koruptor. Menurut Jokowi, tidak ada dalam UU yang mengatur tentang pelaku korupsi harus dihukum mati.
Dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor disebutkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi bisa dihukum mati. Dengan catatan, pelaku korupsi itu melakukan korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter, atau jika korupsi dilakukan berulang.
Berikut polemik Jokowi yang beda pendapat tentang hukuman mati bagi koruptor dan bandar narkoba:
Jokowi Sebut Tak Ada UU Hukuman Mati untuk Koruptor
Jokowi mengatakan, tidak akan menginstruksikan untuk menghukum mati para koruptor. Alasannya, menghukum mati para koruptor tidak ada di dalam Undang-Undang.
"(Hukuman mati) koruptor ada di undang-undang nggak? Koruptor kan nggak ada di undang-undang," kata Jokowi seusai menggelar pertemuan tertutup dengan petinggi Muhammadiyah di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (24/12/2014).
Ketika ditanya apakah ada niatan untuk melakukan revisi undang-undang itu, ia hanya menyebut itu bukan tugasnya sebagai kepala negara.
"Saya bukan yang memutuskan undang-undang," katanya singkat.
Sangkal Jokowi, PKS Tegaskan Ada UU Hukum Mati Bagi Koruptor
Anggota Komisi III DPR Al Muzzammil Yusuf mengatakan, jika tidak benar tidak ada UU yang mengatur soal hukum mati koruptor. Menurut dia, UU mengatur hukuman mati bagi korupsi, teroris dan narkoba.
"UU Tipikor ada hukuman mati bagi koruptor, bandar narkoba dan teroris. Kalau dikatakan tidak ada dalam UU itu salah," kata Muzzammil saat dihubungi, Rabu (24/12/2014).
Muzzammil menjelaskan, UU yang mengatur hukuman mati bagi koruptor masih berlaku sampai saat ini. Namun memang sampai sekarang belum pernah ada hakim yang memutuskan untuk memvonis koruptor sampai mati.
"Kalau ada tuntunan dia bisa jadi (koruptor dihukum mati). UU-nya kan sudah ada, narkoba koruptor ada hukuman mati masih berlaku," tegas Politikus PKS ini.
Dia juga menyatakan jika persoalan hukuman mati bukan urusan Jokowi. Menurut dia, yang patut diperhatikan adalah apakah Jokowi bakal memberikan grasi kepada terpidana korupsi atau tidak nantinya.
"Kalau hakim tidak menuntut mati ya tidak jadi. Presiden hanya bisa berikan grasi, kalau diberikan ya sama saja enggak jadi hukuman mati," pungkasnya.
Baru Akil Mochtar Yang Divonis Berat
Sepanjang sejarah berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum pernah ada koruptor yang dihukum mati oleh majelis hakim. Hukuman paling maksimal bagi koruptor yakni seumur hidup yang menimpa Mantan Ketua MK Akil Mochtar.
Akil divonis melanggar dua dakwaan tekait suap sejumlah sengketa Pilkada (kecuali sengketa Pilkada Lampung Selatan, dengan dikenakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Kemudian, Akil juga dianggap menerima gratifikasi dengan memaksa oleh majelis hakim. Perbuatan itu, Akil dianggap melanggar dakwaan alternatif ketiga dan dakwaan keempat dengan Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto 64 ayat 1 KUHP.
Terkait pencucian uang, Akil dijerat dengan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Eksekusi Bandar Narkoba Ditunda
Jaksa Agung, HM Prasetyo mengatakan empat narapidana mati kasus narkotika hingga saat ini belum bisa dieksekusi. Alasannya, seluruh narapidana itu tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan mantan Ketua KPK Antasari Azhar dikabulkan terkait PK yang boleh diajukan berkali-kali. Untuk itu, eksekusi mati terhadap empat narapidana narkoba itu terhalang karena mereka bisa mengajukan PK berkali-kali.
Saat ini, empat narapidana itu tengah mengajukan PK sehingga tidak bisa dieksekusi.
"Karena ada putusan MK yang mengatakan PK bisa berkali-kali, jadi mereka ini dulu sudah PK. Tapi sekarang mereka bisa ajukan lagi," kata Prasetyo di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (24/12/2014).
Prasetyo mengaku tidak ingin terburu-buru mengeksekusi empat narapidana mati tersebut. Sebab, berdasarkan undang-undang ketika narapidana tengah melakukan PK tidak boleh untuk dieksekusi. Sebab, vonis terhadap mereka belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kejagung Ngaku Siap Eksekusi Mati Koruptor
Kejaksaan Agung (Kejagung) siap melakukan eksekusi jika ada terpidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati. Namun sejauh ini berdasarkan daftar terpidana mati yang diterima Kejagung tidak satu pun ada narapidana kasus korupsi.
"Pada dasarnya kita hanya mengikuti apa yang diputuskan dan yang sudah ada di meja jaksa. Jika ada kasus korupsi yang harus dieksekusi mati, ya wajib dihukum mati. Tetapi kan sampai sekarang belum ada napi korupsi yang dihukum mati," kata Kapuspenkum Kejagung Tony Tribagus Spontana saat dikonfirmasi di ruangannya, Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (24/12).
Dalam catatan merdeka.com, sejauh ini narapidana korupsi belum ada yang dijatuhi vonis hukuman mati. Baik itu di tingkat pengadilan hingga di Mahkamah Agung. Adapun napi koruptor yang mengajukan kasasi ke MA antara lain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Namun MA memutuskan memperkuat putusan pengadilan tinggi tingkat pertama dalam hal ini pengadilan tinggi tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan vonis hukuman seumur hidup kepada Akil. [merdeka]
jika butuh angka gaip yang di jamin tembus 100% hub mbah beromo di 085222821274 atau klik http://www.angkabocoran.info
BalasHapus