Sulit untuk tidak merasa iba melihat apa yang dilakukan Prabowo pada 17 Agustus 2014.
Pada hari itu Prabowo memimpin upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia di sebuah lapangan di daerah Cibinong, Bogor. Ribuan kader Partai Gerindra dan partai pendukung menjadi peserta utama acara itu.
Mereka berbaris rapih dengan berbagai seragam, mengikuti upacara yang berlangsung khidmat.
Upacara diselenggarakan bak tandingan upacara peringatan Hari Kemerdekaan di Istana Negara. Ada pembacaan naskah proklamasi oleh Prabowo, ada pengibaran bendera merah putih oleh Paskibraka, ada marching band, mengheningkan cipta dipimpin Prabowo, pembacaan doa bersama, serta menyanyikan lagu kebangsaan.
Sebelum membacakan teks proklamasi, Prabowo bersama Hatta Rajasa berkeliling lapangan. Dengan mengendarai jip Rubicon, dia bersama sejumlah pimpinan partai menginspeksi peserta upacara, dengan gaya seorang panglima menginspeksi pasukan.
Hadir dalam acara itu para petinggi politik pendukungnya: Aburizal Bakrie, Anis Matta, MS Kaban, Hary Tanoesoedibjo dan Akbar Tanjung.
Tentu saja adalah hak Prabowo untuk menyelenggarakan acara serupa itu. Namun itu jelas menggambarkan suasana mentalnya (maaf mungkin bisa dikatakan sudah gila). Ia terkesan tak kunjung bisa menerima bahwa ia sebenarnya sudah kalah dalam pemilihan presiden kali ini. Karena itu, ia merasa harus menyelenggarakan acara semacam upacara bendera di istana, tempat ia tampil seolah-olah sebagai panglima tertinggi ABRI, alias presiden.
Prabowo seperti hidup dalam dunia khayalan. Atau dalam panggung pertunjukan. Publik melihat bagaimana Prabowo hidup dalam sebuah dunia imajinatif yang dikarangnya sendiri, didukung mereka yang memang secara culas mengeksploitasi kenaifan Prabowo itu.
Prabowo percaya bahwa ia adalah Macan Asia yang akan menyelamatkan Indonesia. Dia percaya dia adalah pemimpin yang dicintai rakyat, dan dekat dengan rakyat kecil. Itu bisa jadi semula adalah citra yang dengan sengaja dibangun untuk merebut hati pemilih. Namun pada titik tertentu, imej yang dibangun itu menjelma menjadi seolah-olah realita yang ia yakini. Prabowo pun, si pencipta imej, termakan oleh citra yang dibangunnya.
Tentu saja, Prabowo bukan seorang pemimpin rakyat. Yang mencintai dia adalah orang-orang yang mendukung Gerindra. Kalau sekarang ada 48% pemilih mendukung dia, mereka bukan mencintai Prabowo. Mereka adalah pendukung PKS, Golkar, PPP, dan PBB.
Prabowo mengira ia memiliki pendukung loyal yang akan rela melakukan apapun untuk membelanya. Ia membayangkan, begitu ia kalah, para pendukungnya akan bereaksi dengan penuh kemarahan. Ia membayangkan akan ada ribuan orang setiap hari memperjuangkan kemenangan dirinya. Ia membayangkan jutaan orang yang me-like FB Prabowo adalah jutaan orang yang akan membela dia mati-matian.
Itu cuma khayalan Prabowo. Yang masih bersedia bersusah-payah berjuang untuk dia adalah orang-orang bayaran. Bahkan yang berdemonstrasi di depan MK atau di depan KPU, atau hadir dalam upacara 17 Agustus di Cibinong adalah, kalau bukan loyalis Gerindra, adalah mereka yang dibayar.
Prabowo berkhayal bahwa ada banyak pendukungnya menunggu instruksi dari mulutnya langsung, pasca penghitungan suara. Karena itu dia merasa harus berpidato kepada rakyat yang diunggah di Youtube, dengan gaya seorang panglima memberi instruksi harian. Tak ada yang peduli.
Dia berkhayal bahwa dia sebenarnya tidak kalah. Dia berkhayal bahwa dia kalah karena dicurangi. Dan pelaku kecurangan tersebut adalah konspirasi KPU, Bawaslu, kubu Jokowi-JK, pemerintah daerah, aparat keamanan, lembaga riset, media massa, dan berbagai pihak yang tak ingin Prabowo menjadi presiden. Karena itu, dalam khayalannya, Prabowo harus melawan secara heroik, sampai titik darah penghabisan.
Dia berkhayal bahwa KPU berbohong dengan menampilkan hasil penghitungan suara yang penuh rekayasa. Prabowo percaya bahwa kubunya memiliki hasil penghitungan suara yang benar, yang akurat, yang menunjukkan bahwa pemenang sesungguhnya adalah Prabowo.
Tapi itu semua tidak ada. Itu sudah terungkap dengan sangat jelas di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Para kuasa hukum Prabowo terus berusaha meyakinkan publik bahwa mereka memiliki bukti-bukti yang menunjukkan mereka dicurangi. Tapi semua berhenti di kata-kata dan gaya.
Tim pendukung Prabowo bahkan sedemikian tak profesionalnya sehingga terpaksa menghadirkan para saksi yang berlaku seperti pemeran dagelan. Celakanya acara pengadilan MK itu disiarkan secara langsung oleh berbagai stasiun televisi. Bagian-bagian terpentingnya pun terus diulang-ulang. Publik bisa melihat dengan langsung betapa Prabowo tidak memiliki bukti kuat untuk menunjukkan bahwa konspirasi anti Prabowo itu ada. Publik bisa melihat ekspresi para hakim MK yang terkesan ‘putus asa’ melihat kualitas para saksi Prabowo.
Sebenarnya ada satu saat di mana Prabowo sempat bisa berhasil membangun imej dirinya sebagai korban kezaliman. Itu adalah masa ketika ia menyatakan akan mengundurkan diri dari proses pemilihan presiden.
Kalau saja, saat itu ia mundur dengan argumen bahwa ia tak mungkin melanjutkan sebuah proses penuh kecurangan yang dilakukan KPU, Prabowo mungkin akan dikenang sebagai seorang pejuang yang dizalimi. Kalau saja ketika itu, ia benar-benar mundur tanpa menunggu hasil rekapitulasi suara selesai, ia akan dikenang dengan sebagai pejuang berintegritas.
Kesalahan dia adalah membiarkan para pendukungnya mengoreksi pernyataannya sehingga akhirnya perjalanan Prabowo berlanjut ke proses persidangan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Namun, sikap kubu pendukungnya ini tentu bisa dipahami. Kalau saja perjalanan Prabowo berhenti di situ, ada banyak pihak yang tak akan kebagian rezeki atau berkurang jatah rezekinya.
Perjalanan di Mahkamah Konstitusi dan DKPP ini melibatkan dana sangat besar. Hampir tak mungkin para kuasa hukum itu tak melihat bahwa sebenarnya Prabowo memang kalah. Hampir tak mungkin para kuasa hukum tak tahu betapa lemahnya kasus-kasus yang mereka angkat di pengadilan MK dan DKPP.
Sikap yang lebih jujur sebenarnya sudah ditunjukkan oleh orang-orang seperti Mahfud MD, Hatta Rajasa atau Amien Rais. Orang-orang ini, dengan satu dan lain cara, sudah menunjukkan bahwa kemenangan Jokowi tak mungkin diubah. Mereka tahu Prabowo memang kalah.
Bahkan kalaupun mungkin mereka curiga ada kecurangan di sana-sini, mereka tahu bahwa pelanggaran yang ada tidak berskala sedemikian serius sehingga hasil pemilu akan dianulir. Mereka tahu tidak akan ada pemungutan suara ulang. Mereka tahu tidak akan ada penghitungan suara ulang. Mereka sudah berulangkali mengisyaratkan itu.
Namun, sayangnya suara mereka tidak cukup keras. Prabowo lebih mendengar mereka yang tahu bahwa semakin panjang perjalanan, semakin besar keuntungan finansial yang akan mereka peroleh.
Baik MK maupun DKPP belum mengambil keputusan final. Namun, hampir pasti tidak akan ada penghitungan suara ulang. Karena itu, pertunjukan upacara kemerdekaan tandingan di Cibinong itu terasa memprihatinkan.
Pada akhirnya, sulit untuk tidak iba pada Prabowo. [centroone]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar