Warga Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan merasa kecewa karena dalam kunjungannya ke Kabupaten Nunukan, Presiden Joko Widodo tidak mengunjungi mereka. “Memang kami tidak dipandang perlu di perbatasan Indonesia,” kata Karel Sompoton, tokoh masyarakat asal Desa Sumantipal.
Dia menyayangkan, karena Joko Widodo justru tidak mempertimbangkan OBP Sigmen Sumantipal yang kondisinya sangat riskan.
“Outstanding Boundary Problem (OBP) di Sigmen Sungai Sumantipal dan Sungai Sinapad ini sudah dilakukan tujuh kali perundingan antara Republik Indonesia dan Malaysia. Baru-baru perundingan kemarin tanggal 26 November 2014 di Johor,” kata pria yang juga menjabat sebagai DPRD Kabupaten Nunukan ini.
Dia mengatakan, dari lima Sigmen OBP di Kalimantan, 3 sigmen berada di Kecamatan Lumbis Ogong. Luasan wilayah yang masih belum jelas batasnya itu mencapai 20 kali lipat Pulau Sebatik. Hal ini berarti potensi probabilitas lepas dari Republik Indonesia sangat tinggi. “Kami tidak mau hal itu terjadi. Kami mau tetap di NKRI. Coba lihat langsung bagaimana wajah suram perbatasan kita di Lumbis Ogong? Pasti tidak seindah Sebatik,” katanya.
Selama ini, kata dia, masyarakat sudah melaksanakan kewajibannya terhadap negara untuk menjaga dan memelihara perbatasan. Itupun mereka lakukan meskipun tidak mendapatkan dari Pemerintah. “Kami tetap setia. Sekarang tinggal negara yang hadir membangun, mengubah wajah perbatasan di Lumbis Ogong,” ujarnya.
Dia mengatakan, dengan alasan keterbatasan sarana dan prasarana serta tidak adanya tempat pesawat mendarat, pejabat di daerah ini mengajakPresiden ke Pulau Sebatik.
“Karena selain memperlihatkan keberhasilan mereka membangun perbatasan, mereka juga malas repot mengurus kedatangan Pak Presiden,” ujarnya.
Dia mengatakan, masih banyak perbatasan di Kabupaten Nunukan yang tidak terurus. Jangankan mengurus kawasan perbatasan, para pejabat dimaksud malas berkunjung ke kawasan tertinggal itu.
“Kecuali pada saat-saat kampanye,” ujarnya. “Saya keras kali ini. Cukup sudah kami di perbatasan ini dihibur-hibur dengan kiasan kata-kata beranda depan negara. Tapi apa kenyataan?” ujarnya. Dia menyampaikan kekecewaan tersebut, karena merasa ini merupakan bentuk pertanggungjawabannya sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan di perbatasan. Karel merasa diberikan peran untuk memikirkan pembangunan perbatasan demi kedaulatan Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
“Dan menginformasikan kepada Bapak Presiden keadaan yang sebenarnya. Pasti selama ini mereka lapor yang baik-baik saja dan terkesan menutupi persoalan Sumantipal dan Sinapad,” ujarnya.
Dia menilai masyarakat sudah banyak mengetahui persoalan ini. Sehingga hal ini tidak perlu ditutup-tutupi dan ditakutkan.
“Kami Lahir di perbatasan Indonesia, dididik di Indonesia. Kami seutuhnya Indonesia dan tunduk terhadap konstitusi Indonesia untuk selamanya. Itu bahasa Pak Jokowi loh sekarang populer di perbatasan,” katanya.
Senada dengan Karel, Kepala Desa Sumantipal, Juni juga mengungkapkan kekecewannya pada kunjungan Presiden kali ini ke Kabupaten Nunukan. Dia semula merasa senang mendapatkan kabar jika Presiden ke 7 Republik Indonesia ini datang blusukan di Kecamatan Lumbis Ogong atau Kecamatan Lumbis.
Sebelum rute kunjungan Presiden ke Kabupaten Nunukan dirilis melalui media massa, dia optimistis Presiden yang terkenal dengan blusukannya itu mau mengunjungi mereka.
“Di mana ada lapangan bola yang sering digunakan untuk helikopter mendarat. Jadi itu bisa digunakan untuk membawa Presiden,” ujarnya.
Namun harapan itu pupus setelah pihak protokoler memutuskan, Presiden hanya berkunjung ke Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik.
“Ternyata kami dianggap tak penting. Suatu saat negara ini pasti membutuhkan kami. Tak apalah,” katanya.
Meskipun tak bertemu dengan Presiden, pihaknya hanya berharap Pemerintah merealisasikan janjinya untuk membangun kawasan perbatasan negara di Kecamatan Lumbis Ogong. “Siapa tahu Bapak Presiden datang Ke Lumbis Ogong meresmikannya kelak. Karena jika sudah terbangun pasti di sana sudah ada tempat pesawat turun,” katanya. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar