Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Jaksa Agung untuk mengeksekusi lima
narapidana akhir tahun ini, antara lain narapidana gembong narkoba.
Namun, rencana pemerintah ini mendapat pertentangan dari organisasi HAM
internasional, Amnesty Internasional.
Keterangan tertulis yang
diterima detikcom, Sabtu (6/12/2014), Amnesty menilai rencana pemerintah
untuk mengeksekusi lima terpidana, dua napi pidana umum dan tiga napi
kasus narkotika, ini tak menghormati hak asasi manusia.
"Pemerintah
harus secepatnya membatalkan rencana menjalankan eksekusi. Mengingat
Presiden Joko Widodo berkampanye dengan komitmen memperbaiki
penghormatan atas hak asasi manusia," kata Direktur Riset Amnesty
International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Rupert Abbott, dalam
keterangannya.
Bilamana eksekusi dilakukan, lanjut Amnesty, tentu
akan menjadi noda serius. Menurut Abbott, adalah suatu hal yang sah
saat pemerintahan Jokowi-JK berkeinginan untuk menangkal kejahatan
serius. "Namun ini cara yang salah dalam mencapainya, hukuman mati tidak
berhasil menjadi penghalang bagi kejahatan," ujarnya.
Dampak
dari pelaksanaan hukuman mati dikhawatirkan menghalangi upaya pemerintah
untuk melindungi warganegara Indonesia yang terancam hukuman mati di
luar negeri.
Selain itu, Amnesty juga mengkritik rencana pemerintah yang juga akan mengeksekusi 20 narapidana kasus narkoba di 2015 nanti.
"Sangat
mengganggu bila narapidana narkoba berada dalam risiko eksekusi.
Pelanggaran terkait narkoba tidak sesuai dengan standar yang diatur
dalam hukum internasional, yang membolehkan hukuman mati hanya untuk
'kejahatan paling serius'. Pihak berwenang seharusnya mengurangi ruang
lingkup hukuman mati sebagai sebuah langkah menuju penghapusan hukuman
mati," ungkap Rupert Abbott. [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar