Senin, 11 Agustus 2014

Tiga Blunder Jokowi

Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendeklarasikan terbentuknya Tim Transisi, setidaknya telah terjadi 3 kali blunder yang seharusnya tak perlu dilakukan oleh seorang sekaliber Jokowi.
  1. Sampai saat ini, Jokowi tak berani mengungkapkan asal muasal biaya atau dana dari tim ini. Melihat besarnya cakupan kerja, sekretariat yang mentereng dan kemungkinan banyaknya pelibatan orang perorang di dalamnya serta masa kerja yang lumayan panjang (skitar 2 bulan), sudah dapat diduga biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Tentu butuh biaya besar untuk melancarkan seluruh aktivitas tim transisi. Sayangnya, Jokowi, sekali ini terlihat tak mau transparan soal besaran dan sumber dananya. Tentu ketertutupan akan menimbulkan pertanyaan yang biasanya  akan berujung pada asumsi negatif. Oleh karenanya, baiknya Jokowi kembali mempelopori semangat transparansi tersebut, sekalipun misalnya itu terkait dengan dana internal.
  2. Aktivitas tim ini, terlihat, lebih banyak soal struktur atau mungkin personalia kabinet. Pembatasan yang tak tegas soal hak dan wewenang tim ini untuk masuk ke ranah kabinet, memang menimbulkan wajah seolah tim ini adalah tim bayangan kabinet. Baiknya Jokowi mulai secara aktif memfungsikan tim ini untuk kerja-kerja  yang semestinya. Yakni untuk berkoordinasi dengan  pemerintahan yang tengah berjalan dan inventarisasi persoalan-persoalan kebangsaan untuk dicarikan solusinya. Mungkin  lama wilayah ini seperti tak tergarap, maka makin dekat posisi tim ini ke urusan pembentukan kabinet.
  3. Pengangkatan AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi. Langkah ini blunder yang mencemaskan. Karena seolah memberi peluang pada aktor-aktor yang memiliki catatan kurang postif pada upaya yang tak boleh berhenti bagi penegakan dan penghormatan HAM. Masa depan Indonesia adalah masa depan di mana HAM selalu menjadi isu utama. Tokoh-tokoh yang tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan HAM sebaiknya ditinggalkan. Jokowi sejatinya memahami efek negatif dari sinisme publik atas tokoh-tokoh  yang di masa lalunya dikenal tidak terlalu peduli pada penegakan dan penghormatan HAM. Bukankah Jokowi mendapat simpati justru karena dinilai tidak memiliki catatan buruk soal HAM baik di masa lalu maupun sekarang?.
[tribun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar