Ketika ”musuhnya” yaitu Ibnu Makhluf meninggal, Ibnu Taimiyah (1263-1328) justru bersedih. Padahal, sang murid, Ibnu Qoyyim (1292-1350), begitu girang menyampaikan kabar kematian itu kepada Ibnu Taimiyah, sang guru. Sebab, selama ini, tokoh yang meninggal ini termasuk yang memfitnah dan menzalimi Ibnu Taimiyah.
Karena perbuatan ”musuhnya” ini, Ibnu Taimiyah mendekam di dalam penjara di Damaskus. Mendapati kegirangan muridnya menyampaikan kabar kematian itu, sang guru malah menghardik muridnya. Bagi Ibnu Taimiyah, kematian seorang ”musuh” bukanlah suatu kegembiraan.
Pemikir politik yang menulis buku as-Siyasah asy-Syar’iyyah itu malah berduka.
Pemimpin pasukan yang ikut berperang melawan agresi tentara Tartar itu pun melayat ke rumah duka, bertemu keluarga Ibnu Makhluf. Bahkan, di depan istri dan anak-anak ”musuhnya” itu, Ibnu Taimiyah mengatakan siap membantu keluarga itu. Tokoh besar itu kira-kira berucap begini, ”Sekarang ini saya seperti bapak bagi Anda sekalian. Jikalau kalian membutuhkan sesuatu, saya berusaha memenuhinya.”
Begitulah Ibnu Taimiyah. Walaupun hidupnya menderita akibat fitnah, Ibnu Taimiyah tidak pernah menyimpan dendam kepada orang yang menzaliminya. Jiwa besar Ibnu Taimiyah melampaui emosi, amarah, dengki, dan penyakit hati lainnya.
Ibnu Taimiyah menjadi contoh terbaik saat kita berada pada Idul Fitri 1435 Hijriah, yang hari ini (Sabtu, 2 Agustus 2014) adalah hari keenam bulan Syawal. Pesan Idul Fitri itu adalah memaafkan, membersihkan hati, dan membuang jauh-jauh dendam kesumat.
Tahun ini, pesan Idul Fitri begitu sarat makna. Bukan saja secara personal, tetapi juga terutama secara politik. Sebab, pemilu presiden (pilpres) yang digelar pada 9 Juli 2014, tepat pada Ramadhan tahun ini, telah membelah masyarakat secara diametral. Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, seperti menggambarkan dua kutub keterbelahan itu. Kampanye hitam, isu, fitnah, sepertinya tak menghormati lagi kemuliaan bulan Ramadhan. Sayangnya, pasca pilpres pun, ketika real count KPU sudah diumumkan, amarah dan emosi sepertinya tak lantas sirna.
Seperti sama-sama kita ketahui hasil rekapitulasi suara yang dilakukan KPU, pasangan Jokowi-JK meraih 70.997.833 suara (53,15 persen), sedangkan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen). Hasil real count KPU itu mirip dengan quick count delapan lembaga survei yang kredibel, seperti SMRC, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, Litbang Kompas, Poltracking Institute, CSIS-Cyrus, dan Populi Center, yang memenangkan pasangan Jokowi-JK. Hasil rekapitulasi KPU itu menjawab semua keraguan terhadap hasil hitung cepat tersebut.
Namun, ada empat lembaga survei yang menyebut pasangan Prabowo-Hatta unggul, yaitu Puskaptis, Jaringan Suara Indonesia, Lembaga Survei Nasional, dan Indonesia Research Centre. Belakangan pasca hasil KPU, ada lembaga survei yang mengakui kesalahan dalam survei mereka. Hasil KPU juga menjadi pembuktian bahwa kebenaran ilmu (metode survei) tidak perlu disangsikan. Hanya mereka yang mempunyai kepentingan tertentu yang menolak ilmu pengetahuan. Mereka yang waktu itu tidak percaya hasil quick count meminta agar menunggu hasil real count yang dilakukan KPU.
Meskipun demikian, seperti kita saksikan bersama-sama, saat hasil real count KPU dilakukan, 22 Juli 2014, juga tetap tidak dipercaya. Pilpres dinilai ada kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Kemenangan Jokowi-JK pun tertahan. Pada akhirnya, pasangan Prabowo-Hatta, yang sebelumnya menarik diri dari proses penghitungan suara yang dilakukan KPU, kemudian mendaftarkan gugatan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (25/7) pekan lalu. Tanggal 6 Agustus mendatang, MK akan menggelar sidang.
Harapannya, gugatan ke MK bukanlah dilandasi syahwat ingin berkuasa, tetapi lebih untuk menguji suatu kebenaran. Kekuasaan sebagai presiden atau pemimpin bangsa sejatinya adalah pelayan rakyat. Bukan ingin disanjung-sanjung, tetapi justru dia yang menggendong rakyatnya.
Tidak turuti hawa nafsu
Saya teringat surat-surat politik Ali bin Abi Thalib (599-661), khalifah keempat dari zaman Khulafaur Rasyidin. Surat tersebut ditujukan kepada Muhammad Ibnu Abu Bakar, yang baru saja diangkat sebagai Gubernur Mesir. Sepenggal surat Ali itu tertulis, ”Rendahkanlah diri Anda. Hadapilah umat (rakyat) dengan ramah. Temuilah mereka dengan wajah berseri-seri. Berlakulah adil di antara mereka dalam segala hal, … dan orang-orang miskin tidak menderita atau putus asa terhadap keadilan Anda…. Ketahuhilah Muhammad Ibnu Abu Bakar, bahwa aku telah memberi Anda kekuasaan untuk memerintah atas penduduk Mesir. Karenanya, Anda dituntut untuk tidak menuruti hawa nafsu….”
Kekuasaan bukanlah segala-galanya. Pemegang kuasa justru bertindak berdasarkan mandat yang diberikan rakyat, bukan kemauannya sendiri. Pakar politik Harold Lasswell (1902-1978) dan filsuf Abraham Kaplan (1918-1993) menyatakan, kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Dalam bahasa mereka, kekuasaan adalah bentuk partisipasi dalam membuat keputusan. Paksaan atau kekerasan bukanlah cara demokrasi.
Kita berharap presiden baru periode 2014-2019 benar-benar mau mengurus rakyat, menanggalkan kepentingan pribadi, kelompok, atau koalisi. Kita membutuhkan presiden yang bekerja tulus untuk membawa bangsa ini maju. Kita juga membutuhkan pemimpin yang tegas untuk membersihkan daki-daki kotor bangsa ini. Namun, ketegasan tidak ada kaitannya dengan bentuk fisik, apalagi dengan teriakan lantang, tangan mengepal, atau pidato berapi-api. Ketegasan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna, ”kejelasan, kepastian, keterangan yang jelas (pasti)”. Dan, MK menjadi pembuktian terhadap kebenaran akan presiden pilihan rakyat. Presiden yang menang tentunya tidak perlu jemawa. Pihak yang kalah juga mesti legawa. Ibnu Taimiyah telah memberikan contoh. [kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar