Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Gatot M Suwondo,
menyatakan anggaran tiga 'kartu sakti' Kartu Indonesia Sehat (KIS),
Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), tak
menggunakan anggaran Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan
BUMN.
"CSR itu lain lagi, ini kan program pemerintah," tutur Gatot ditemui di
acara Kompas100 CEO Forum di Hotel Four Seasons, Jakarta, Jumat
(7/11/2014).
Menurut Gatot, pembiayaan untuk ketiga kartu tersebut yakni berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yakni dari anggaran
Kementerian Sosial. "Itu dari APBN," ucapnya.
Hal ini pun senada dengan yang dikatakan Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawangsa, dana untuk kartu-kartu tersebut berasal dari DIPA
Kementerian Sosial.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebutkan penerbitan
ketiga kartu tersebut sama sekali tidak memakan anggaran negara,
melainkan dari dana tanggung jawab sosial sejumlah Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
"Itu kan sudah jalan, tapi itu kan bantuan dari berbagai pihak. Itu CSR
dari BUMN, tidak masuk APBN," katanya beberapa hari lalu.
Divonis DPR "Illegal"
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengkritisi
kartu sakti yang diluncurkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bambang
menyebut peluncuran Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar (KIP),
dan Kartu Keluarga Sejahtera melanggar disiplin anggaran.
Ini karena penerbitan "kartu sakti" Jokowi dilakukan tanpa
persetujuan DPR. "Undang-Undang anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(UU APBN) menetapkan bahwa konsekuensi biaya dari semua program dan
kegiatan pemerintah harus dikonsultasikan dan disetujui DPR," kata
Bamsoet, sapaan akrab Bambang, Jumat (7/11/2014).
Karena melanggar aturan, Bamsoet, menegaskan "kartu sakti" Jokowi
berstatus ilegal. Tidak peduli Jokowi beralasan pembiayaan "kartu sakti"
berasal dari dana CSR ataupun donasi lain yang bersumber dari BUMN.
"Tetap saja pelanggaran karena dilakukan tanpa landasan hukum yang
benar. Karena berstatus ilegal, pembagian Kartu Indonesia Sehat (KIS),
Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) bisa
menjadi bukti untuk mendakwa presiden dengan tuduhan melanggar disiplin
anggaran," tegasnya.
Bamsoet menambahkan, penerbitan dan pembagian tiga kartu yang
dilakukan oleh Jokowi sedianya berada dalam ranah program dan kegiatan
pemerintah dengan konsekuensi biaya yang tidak kecil. Ini perlu
dipertanyakan darimana Jokowi membiayai program-programnya itu.
"Harap diingat bahwa APBN 2015 tidak memasukan mata anggaran untuk
pembiayaan KIS, KIP dan KKS. Ekstrimnya, APBN tahun mendatang tidak
mengenal program KIS, KIP dan KKS itu. Sebab, DPR tak pernah diajak
berkonsultasi mengenai program-program yang terkandung dalam ketiga
kartu itu," tuturnya.
Lebih dari itu, Bamsoet mengkritik "kartu sakti" Jokowi ini memiliki
manfaat yang tidak jauh berbeda dengan program BPJS. Bedanya BPJS legal
sedangkan "kartu sakti" Jokowi ilegal jika dikaitkan dengan
Undang-undang APBN.
"Kalau ini yang terjadi, konsekuensi hukumnya sangat serius bagi Presiden," pungkas Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR ini.
Pendapat JK
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membantah
pernyataan yang menganggap
payung hukum Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP),
dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi belum jelas.
"Kalau ada anggaran sudah ada payung hukum.
Karena anggaran itu dalam bentuk APBN. APBN itu dalam bentuk UU. Tidak
ada masalah," kata JK di kantornya, Jumat (7/11/2014).
JK
mengatakan ketiga "kartu" sakti yang diluncurkan Jokowi sudah memiliki
dasar hukum, dimana anggaran masing-masing kartu sebenarnya sudah ada
lebih dulu. Seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), menurut JK, anggaran
KIS sudah ada di BPJS Kesehatan.
Begitu juga dengan Kartu
Indonesia Pintar (KIP) yang menggunakan anggaran pendidikan di
Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)
dibawah tanggung jawab Kementerian Sosial.
"Ini hanya sistem aja.
Jadi Undang-Undangnya ada disitu," ujar JK yang menyebut anggaran
pengadaan kartu "sakti" Jokowi sekitar Rp5 triliun.
Mantan ketua
umum Partai Golkar ini tidak membantah bila ketiga kartu "sakti" yang
diluncurkan Jokowi hanya mengganti nama dengan program yang telah ada
sebelumnya. Namun bedanya ketiga kartu ini segera didistribusikan untuk
kepentingan masyarakat.
"Nama kan boleh saja dan sistem
juga boleh dirubah. Apa yang menurut pandangan kita lebih baik. Lebih
cepat. Itulah sebabnya itu hanya sistem aja. Jadi tidak perlu UU. Karena
UU sudah ada," terang JK.
Sebelumnya Yusril mengatakan kebijakan
tiga kartu sakti Jokowi tidak dapat dipertanggungjwabkan. Karena
kebijakan tersebut berkaitan dengan negara atau sejumlah anggaran yang
harus dikeluarkan.
"Sampai saat ini belum jelas dasar hukum
dikeluarkannya kebijakan tiga jenis kartu tersebut," kata Yusril dalam
keterangan persnya.
Yusril mengibaratkan kebijakan tiga kartu
"sakti" Jokowi tak lebih dari keputusan dalam rumah tangga atau dalam
mengelola warung.
"Cara mengelola negara tidak sama dengan
mengelola rumah tangga atau warung, apa yang terlintas dalam pikiran
bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Kebijakan suatu negara harus
ada landasan hukumnya jadi tolong disiapkan dulu landasannya," papar
Yusril.
Oleh sebab itu, Yusril menyarankan Jokowi untuk berkoordinasi dengan DPR lebih dulu sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar