Jumat, 31 Januari 2014

Pemilu 2014 dan Fenomena Jokowi

Memasuki tahun 2014 ini rakyat Indonesia mulai disibukkan dengan hajat politik yang akan berlangsung setidaknya tiga bulan ke depan. Hal yang membedakan dari pelaksanaan kepemiluan dengan lima tahun lalu adalah bahwa tahun 2014 ini menjadi titik krusial bagi negara dan rakyat untuk memastikan bahwa proses estafet kepemimpinan dapat berjalan dengan baik.
Kondisi tersebut menegaskan bahwa masa depan bangsa ini juga sangat tergantung bagaimana pelaksanaan pesta demokrasi berjalan. Sejauh ini terbangun komitmen yang kuat dan kesadaran, baik di elit politik maupun publik bahwa penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil serta bebas dari intervensi adalah sesuatu yang menjadi pengharapan bersama. Sebab hanya dari pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil serta bebas dari intervensi pihak manapun yang menginginkan pemenangan dengan segala caralah sesungguhnya estafet kepemimpinan yang baik dapat dilakukan.
Pilihan atas sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa ini juga mengandung konsekuensi bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 akan menjadi cermin bagi kualitas penyelenggaraan kepemiluan yang merujuk pada prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini menjadi acuan. Pelaksanaan Pemilu 2014 yang jujur dan adil juga menjadi bagian dari memperkuat demokrastisasi di Indonesia. praktik kecurangan dan praktik kekerasan sebagai bagian dari efek pelaksanaan Pemilu 2014 seyogyanya harus direduksi dan ditolak. Kualitas demokrasi yang baik akan tercermin dari sejauhmana komitmen penyelenggara Pemilu, partai politik dan calon, baik legislatif maupun figur calon presiden,  pemerintah dan juga publik sendiri. Selama empat pihak tersebut tidak memiliki komitmen yang kuat untuk mengawal pelaksanaan Pemilu 2014, maka pada pesta demokrasi tersebut akan menghasilkan wakil rakyat dan kepemimpinan politik yang tidak cukup baik.
Selain itu, publik juga dihadapkan pada munculnya fenomena figur politik yang jauh dari kesan ideal dan hanya menjual citra. Fenomena Jokowi misalnya menjadi acuan sejauh mana publik menginginkan figur yang mau bekerja dan melayani publik secara penuh. Publik tidak lagi menginginkan figur yang ideal sebagaimana pada pelaksanaan Pemilu 2009 lalu. Tak mengherankan apabila pada Pemilu 2014, publik terkesan bersikap kurang simpatik pada figur yang hanya menjual pesona tanpa mampu memberikan tawaran konkret. Jokowi, Gubernur DKI Jakarta menjadi rujukan bagi upaya untuk mengambil hati publik dengan 'blusukan' mengindikasikan bahwa publik menginginkan agar pemimpin dan wakil rakyatnya bekerja dan melayani.
Harapan tersebut tercermin dari makin menguatnya posisi mantan Wali Kota Solo tersebut pada sejumlah hasil survei yang mengungguli semua elit politik yang diprediksi akan maju ataupun yang telah dicalonkan oleh partainya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa figur kepemimpinan yang diinginkan publik sejauh ini tidak lagi menggambarkan figur ideal. Selama mau bekerja dan melayani publik, maka besar peluangnya untuk dipilih dan menjadi wakil rakyat pada penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang.

Tahun Penentuan
Berkaca pada hal tersebut diatas, dapat dipastikan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 adalah tahun penentuan bagi bangsa ini untuk dapat lebih mengepakkan sayap lebih tinggi lagi untuk membawa bangsa dan rakyatnya lebih sejahtera. Apabila penyelenggaraan Pemilu 2014 tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kepemiluan yang jujur, adil dan bebas intervensi, maka hampir dipastikan bangsa ini akan kembali berkubang pada permasalahan yang selama lebih dari 15 tahun mendera. Praktik korupsi dan penyelenggaraan negara yang tidak amanah menjadi bagian serius yang akan membawa bangsa ini pada kehancuran. Oleh sebab itu, harus diyakini bersama bahwa tahun 2014 adalah tahun penentuan bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk beranjak menuju tingkat yang lebih tinggi dan membawa kemakmuran bagi rakyat dan bangsa.
Ada tiga titik krusial yang menjadi penegas bahwa tahun 2014 ini merupakan tahun penentuan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, yakni pertama, pada tahun 2014 ini secara politik kenegaraan menjadi momentum yang menentukan bagi arah tujuan bangsa. Pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi momentum bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk menentukan pilihan mana yang dianggap layak dan mampu menjadi wakil rakyat dan presidennya. Pemilu 2014 juga dimaknai sebagai pembaruan kontrak politik antara rakyat dengan elit politik untuk lima tahun ke depan.
Hal yang membedakannya ada pada titik krusial penentuan arah tujuan bangsa ini, karena  momentum pergantian kepemimpinan nasional. Titik krusial yang kedua adalah bahwa di tahun 2014 ini pula diharapkan terjadi estafet kepemimpinan demokratik. Setelah 15 tahun paska Orde Baru, maka proses pergantian yang dilakukan secara demokratik dan periodik dapat dilakukan secara sistemik. Kualitas kepemimpinan yang dihasilkan akan sangat dipengaruhi oleh kualitas penyelenggaraan Pemilu 2014, karenanya memastikan penyelenggaraan Pemilu 2014 akan memberikan suatu kepastian bagi proses estafet kepemimpinan yang mampu menghadapi tantangan Abad 21 yang lebih kompleks.
Dan yang ketiga adalah mempertegas bahwa Pemilu 2014 adalah pesta bagi rakyat untuk memilih dan mencari wakil dan pemimpinannya yang berkualitas. Keterlibatan publik secara aktif dan sadar akan pentingnya menjaga agar pelaksanaan Pemilu 2014 dapat berlangsung lebih baik adalah dengan memastikan bahwa publik memosisikan dan menjadikan  Pemilu 2014 sebagai ajang untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas.
Mengacu pada hal tersebut, ada tiga prasyarat agar tahun penentuan bagi bangsa dan rakyat Indonesia tidak terinterupsi, yakni pertama, memastikan penyelenggaraan pemilu 2014 berlangsung aman. Pelaksanaan Pemilu 2014 yang aman akan menstimulasi keterlibatan dan tanggung jawab publik untuk secara penuh dan aktif mengikuti setiap tahapan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014. Rasa aman juga berarti memperluas cakupan pengambilan tanggung jawab dari publik akan pentingnya memastikan pelaksanaan Pemilu 2014 dapat berjalan dengan baik.
Kedua, menstimulasi pelaksanaan Pemilu 2014 yang jujur, adil dan tidak terintervensi pihak-pihak yang menginginkan menang dengan cara-cara yang tidak baik. pengalaman pelaksanaan Pemilu 1999, 2004 dan 2009 menggambarkan bagaimana upaya intervensi dan praktik-praktik kecurangan kerap dimanfaatkan untuk memenangkan calon dari berbagai level, baik legislatif maupun eksekutif. Hal tersebut juga termasuk langkah-langkah untuk menjauhkan TNI, Polri, dan juga BIN dari keinginan untuk mencampuri atau mengupayakan pemenangan untuk salah satu calon tertentu.
Dan prasyarat ketiga adalah memastikan keterlibatan publik yang bersifat massif. Keterlibatan publik baik dalam menyalurkan hak politiknya secara efektif, juga mengawasi proses dan rangkaian kepemiluan dalam berbagai tingkatan. Keterlibatan publik secara massif dan aktif di satu sisi juga akan meningkatkan kualitas Pemilu 2014 dalam menghasilkan wakil rakyat dan kepemimpinan nasional. di sisi lain, publik akan makin
menyadari akan pentingnya mengawal proses kepemiluan yang dilaksanakan di tahun penentuan ini.

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar