Pada 1 Agustus 2013, antara pukul 13.15 dan 13.45, memang benar Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Maarif Institute (MI) di kawasan Tebet, Jakarta, menemui saya dan teman-teman MI. Tidak ada agenda khusus yang dirancang untuk pertemuan itu, sekalipun media suka berspekulasi tentang itu. Maklumlah Jokowi yang sekarang sedang berada di atas angin di balantara perpolitikan Indonesia, pasti dikejar ke manapun dia bergerak. Apa pun yang diucapkannya, pasti dikutip. Mantan Wali Kota Solo ini dalam Pemilukada DKI pada 20 Oktober 2012 telah memenangkan pertarungan bergensi itu secara fenomenal, padahal pencalonannya hanya didukung oleh PDI-P dibantu Gerindra.
Pertemuan di MI ini diatur oleh Fajar Riza Ul Haq, direkturnya, yang sebelumnya telah diterima Jokowi di kantor Gubernur DKI. Untuk apa bertemu? Tidak ada agenda politik penting yang ingin dibicarakan. Saya hanya ingin bertanya tentang DKI yang sarat masalah itu: macet, banjir, premanisme, dan kantong-kantong kemiskinan di kawasan kumuh. Dengan bahasa datar yang optimistis Jokowi telah menjelaskan semuanya itu. Inilah kalimatnya, “Untuk mengatasi masalah DKI, dana tersedia dan masalahnya jelas. Jadi bisa diselesaikan, sekalipun akan memakan waktu sekitar 10 tahun.”
Lalu saya tanyakan, apakah selama ini dana tidak ada dan masalahnya tidak jelas. Dijawab, “Kemauan untuk mengatasi masalah DKI yang tidak ada.” Tetapi untuk mengatasi banjir di ibu kota, wewenang utamanya ada pada pemerintah pusat, tidak hanya pada DKI. Dulu DKI yang dinilai tidak responsif, sekarang yang berlaku sebaliknya, pemerintah pusat yang tidak serius, kata Jokowi. Sebagai orang luar, kita tidak tahu, mana yang benar. Pada saat DKI telah membuka diri dengan lebar, semestinya pemerintah pusat cepat merundingkan untuk mengatasi masalah banjir yang akut ini dengan Jokowi. Bagi saya yang sekali-sekali tinggal di Jakarta merasakan betul betapa ganasnya banjir itu.
Karena sejak 2003 sudah menjadi anggota Akademi Jakarta (AJ) yang berkantor di sebuah ruangan kecil di Taman Ismail Marzuki (TIM), tentu masalah ini saya singgung juga. Jokowi malah mengatakan bahwa TIM akan direnovasi secara besar-besaran dan akan rampung tahun 2014. Tempat parkir akan dirancang di bawah tanah. Mendengar rencana ini, saya langsung mengatakan, “Pak Jokowi adalah Ali Sadikin kedua.”
Sebab, yang membangun TIM di abad yang lalu adalah Ali Sadikin saat menjabat gubernur DKI. Para penggantinya yang berdatangan kemudian tidak begitu hirau dengan nasib TIM, termasuk dalam memelihara Dokumen Sastra H.B. Jassin yang bernilai sangat tinggi itu. Jokowi tampaknya paham betul apa makna kehadiran TIM bagi DKI khususnya, dan bagi Indonesia pada umumnya.
Dengan renovasi TIM di tangan Jokowi, para seniman dan budayawan Ibu Kota tentu akan bergairah kembali menjadikan pusat kegiatan kebudayaan yang sudah sangat populer ini untuk meragakan segala kemampuan kreatif mereka. TIM harus diminati kembali oleh para seniman dan masyarakat luas. Mengucurkan APBD DKI secara wajar bukan sebuah pemborosan, tetapi untuk menunjukkan bahwa birokrasi itu memerlukan seni. Tanpa seni, birokrasi dan sistem kekuasaan apa pun akan sangat kering dan membosankan, seperti yang terjadi selama ini, tidak saja untuk DKI, tetapi berlaku secara merata di seluruh Tanah Air.
Akhirnya, kedatangan Jokowi ke MI tidak ada kaitannya dengan Pilpres 2014, sebagaimana yang diduga oleh sebagian media, seperti terbaca pada judul ini: “Ada Apa di Balik Pertemuan Jokowi dan Syafii Maarif?” Tetapi, segala gerak-gerik Jokowi untuk beberapa bulan yang akan datang pasti akan menyedot perhatian publik pada saat kesederhanaan dan keluguan para elite telah lama absen dalam kultur politik Indonesia.
Sumber :
republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar