Setelah dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi dan wakilnya Ahok langsung tancap gas membenahi sejumlah masalah ibu kota. Salah satunya menekan angka penggunaan kendaraan pribadi dengan sistem pembatasan ganjil genap.
Sistem ini pernah muncul di zaman kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo alias Foke. Tapi saat itu, Foke terlihat tak serius hingga akhirnya rencana itu sebatas wacana. Entah kenapa, saat itu Jokowi memilih melanjutkan rencananya yang terbilang sulit itu. Baik Jokowi dan Ahok beberapa waktu lalu terlihat keukeh untuk menjalankan program ini.
Sedikit demi sedikit konsep dibahas. Misalnya konsep pembatasan, jalan-jalan mana saja, sampai rencana pengadaan stiker.
Rencananya, mobil berpelat ganjil akan ditempel stiker warna hijau dan hanya boleh melintas di tanggal-tanggal ganjil. Sebaliknya, mobil berpelat genap akan ditempel stiker warna merah dan hanya boleh melintas di tanggal genap.
Sistem ini hanya berlaku di hari kerja. Tak cuma untuk kendaraan pelat B tapi juga berlaku untuk kendaraan luar kota yang berada di jalan. Soal siapa yang kebagian mengawasi pelat-pelat itu, masih terus digodok. Apakah polisi atau Dishub.
Pemprov pernah berniat mengujicoba sistem ini pada Juni nanti. Tapi karena masih banyak yang harus dipersiapkan, alhasil Jokowi dan Ahok memilih mengundurkan waktu pelaksanaan uji coba.
Sebulan setelah rencana itu mundur, Ahok kemudian mengadakan pertemuan dengan DPRD DKI. Saat itu, dewan menolak usulan sistem ganjil genap dan lebih mendukung pembatasan kendaraan dengan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP).
Nantinya ERP ini akan diberlakukan di ruas-ruas jalan yang memberlakukan 3 in 1. Menurut DPRD, sistem ganjil genap tanpa didukung angkutan umum yang tidak memadai maka tetap tidak efektif.
Rupanya usulan DPRD itu berhasil mengusik rencana awal Jokowi dan Ahok soal sistem ganjil genap. Setelah berpikir panjang, keduanya sadar sistem ganjil genap tidak mendatangkan nilai ekonomis buat pemprov. Keduanya juga menilai keuntungan hanya ada di salah satu pihak yakni kepolisian meski Jokowi dan Ahok tak menyebutkan secara gamblang.
Padahal saat ini, beberapa polres sudah membuka loket penukaran pelat. Tapi Ahok akhirnya berkilah, uji coba tetap akan dilakukan tapi untuk ke depannya sistem ini akan digantikan ERP.
"Ini kalau ngomong jujur, intinya memang yang paling ideal itu kan ERP. Tapi ya kita coba dulu kan yang genap ganjil itu. Kalau gagal kan ya kita batalin tidak masalah," kilah Ahok.
Belakangan usulan penerapan ERP makin mencuat. Bahkan Ahok mempersalahkan pihak kepolisian yang terlalu tergesa-gesa membuka loket penukaran. Padahal kajian seutuhnya soal sistem ganjil genap belum rampung.
"Ngapain ganjil genap lha wong ga dapat duit kok. Maunya ERP, dapat duit cegah mobil juga kan," kata Ahok.
"Kalau nerapin ganjil genap itu tidak ada untung ekonomisnya, itu hanya menguntungkan salah satu pihak. Ada juga, orang beli mobil lebih banyak," tambahnya.
Ahok menganggap penukaran nomor polisi ganjil-genap khusus mobil tersebut, mengacaukan kalkulasi jumlah kendaraan yang sebelumnya sudah dihitung. Alhasil kajian harus dilakukan kembali dari awal.
Rupanya celetukan Ahok ditolak mentah-mentah pihak kepolisian.
"Jangan salahkan polisi. Polisi adalah pelayanan masyarakat. Polisi melayani pemilik dua kendaraan untuk memilik salah satu nopolnya genap atau ganjil atau semua kendaraannya ganjil atau genap," kata Wakil Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya, AKBP Sambodo.
Hingga saat ini belum ada keputusan apakah sistem ganjil genap tetap dijalankan atau digantikan dengan ERP. Yang jelas, jika persoalan untung rugi yang dipikirkan kedua belah pihak, maka macet di Jakarta tak akan pernah selesai.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar